"Sejak dulu sekali, aku selalu membandingkan betapa keluarga Kakak menyerupai Huis Clos *)." — adalah kalimat yang mendadak menghantam; sepenuhnya tanpa aba-aba, tanpa peringatan. "Ada banyak hal yang terjadi, konversasi rahasia, juga masa lalu kelam di balik pintu yang terkatup. Rasanya hampir seperti tak ada jalan keluar."
Mungkin alasan terbesar mengapa Yoongi membenci malam yang dibalut hening adalah mereka yang selalu mampu membuat kebisingan di dalam kepala berubah menjadi-jadi. Ia bahkan belum sempat membabat habis bayang sayu ekspresi Song Jian yang mengukir tempat khusus di dalam ingatan—sukses memberi si pria satu kegelisahan absolut yang merongrong hati. Tetapi pada detik selanjutnya, Yoongi mendadak berhenti melangkah.
Tubuh si pria lantas membeku di bawah suhu yang semakin menurun bersama lesakan kenangan. Pria tersebut seperti baru saja diremukkan. Memorinya pecah. Netra sabitnya melebar. Ia menemukan seseorang tahu-tahu sudah berdiri di sisi samping pintu pagar rumah, bersidekap, dibalut mantel abu-abu, tak berubah selayaknya apa yang Yoongi patri di dalam laci memori.
Lalu tatkala menyadari presensinya, sang lawan mendadak menegakkan tubuh, menatap lurus. "Kak Yoongi," katanya. Namjoon tak melemparkan seulas senyum yang menyentuh kedua mata, ekspresinya kaku, rahangnya mengeras. "Mengapa selarut ini baru kembali ke rumah?"
Itu benar-benar Kim Namjoon.
Yoongi sudah hidup cukup lama untuk mengendus kejanggalan. Mungkin itu juga yang membuatnya membidik sasaran dengan tepat mengenai alasan sebenarnya mengapa Jian membantu mengantarkan undangan yang tak sengaja tertinggal. Menguapkan satu hela napas dengan kerongkongan tercekat, pria tersebut melecutkan kalimat getir yang mengudara, "Kau kembali lagi."
Namjoon tersenyum tipis. Yoongi yang ia ingat masih berwarna abu-abu kelabu. Memandang pria di hadapannya yang kemudian kembali melanjutkan langkah, ia menyahut ringan, "Kalau seandainya bisa, aku juga sebenarnya tidak ingin kembali."
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Melihat Kakak?"
"Hentikan omong kosongnya dan bicara dengan benar, Kim."
Kini, ada ekspresi yang mendadak tersemat. Kepul uap dingin merangsek keluar bersama kekeh lirih dari kedua belah bibir Namjoon. "Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan di sini," sahutnya. Ia mengepalkan tangan di dalam saku mantel. "Apalagi aku juga mendapatkan undangan pernikahan Jeon Jungkook. Ada beberapa kabar yang ingin aku sampaikan pada Kakak."
"Kabar?"
Seolah baru saja diludahi tepat di wajahnya, Yoongi memandang Namjoon dengan tatapan sulit. Ia tidak salah terka. Ada yang tak beres di sini. Kedatangan pria ini saja sudah mengguncang kewarasan, sekarang apalagi yang mesti ia hadapi? Tetapi wajah pria tersebut jelas mengukir banyak emosi pada beberapa sekon. Itu barangkali rasa muak, ketakutan, entah apakah ada perasaan lain yang berkubang menjadi satu. Melirik pintu rumahnya yang masih terkatup, Yoongi hampir meloloskan suara retak, "Apa kau baru saja bertemu dengan—"
"Kak Seulhee?" Namjoon menghela napas, mengangguk pada detik selanjutnya. "Tentu saja. Istri Kakak masih saja terlihat menawan seperti yang kuingat. Miya juga nampaknya baru saja tidur, sayang sekali aku tidak bisa menemuinya sekalian. Padahal terakhir kali melihatnya ... mm, dia masih kecil sekali, ya? Berapa bulan?"
"Bagaimana kau bisa mendapatkan undangan pernikahan?"
"Kak Yoongi tidak bertanya bagaimana kabarku?"
"Aku tidak mau tahu."
"Jahat sekali, sih." Namjoon terkekeh perlahan. "Kak, berbicaralah dengan baik."
Yoongi menggertakkan rahang tak suka. "Kim Namjoon," sengitnya. "Berhentilah berbicara seolah tali tengah membelit lehermu. Apa yang kau inginkan dariku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Somersault
FanfictionSebenarnya, Song Jian mengerti bahwa pernikahannya dengan Jeon Jungkook takkan berjalan normal, apalagi terasa semanis dan sehangat yang semua orang pikirkan. Tetapi dunia yang perempuan tersebut genggam memiliki dinding yang tak bisa dihancurkan se...