Jika kamu mendengar tiga kali lonceng berdenting,
yang sayup-sayup datang bersama retak ranting,
Ketahuilah bahwa ia sedang mendengarkan
sejumput harapan duka yang hendak dikabulkan.***
Seoul yang berisik. 11 September. 5 jam menuju sebuah pemberitahuan usang.
Aroma kopi di kantor, suara jemari di atas keyboard, dengung lebah dari keluh-kesah para orang dewasa—barangkali sebelum setiap lapis kesadaran manusia sempat menyadari, mereka sudah terlanjur menjadi satu bagian krusial dalam kehidupan. Rutinitas hari ini berlangsung sama saja. Terbangun dari tempat tidur, menerka-nerka alasan apa yang membuat Tuhan masih membuatnya bernapas, lalu menyeret diri pergi mencari uang sebab tidak ada yang mau merana kelaparan ditumpukan tagihan di akhir bulan.
Setelah semua kesibukan mereda, menguap dan hanya meninggalkan penat serta pening di kepala, semua orang berakhir menatap jalanan di balik jendela kendaraan—sebagian lagi garis kuning, menunggu datangnya peron yang sesak dan padat. Salju di luar jendela mulai melayang turun kembali saat napasku tercekik sebab berdesakan. Kukira ini juga yang disebut dengan kehidupan.
Menjadi orang dewasa itu sebagian besar terasa pahit, dingin dan sepi. Rasanya seperti seseorang baru saja menyeduhkan secangkir kopi untukmu, tanpa gula, tanpa krim, lalu disodorkan berharap-harap kau mampu menghabiskannya. Mengingat dirimu sudah dianggap menjadi satu sosok yang sanggup mengerti bahwa ini waktunya melepaskan angan-angan balita, kau memutuskan untuk meneguknya sampai habis. Ada banyak orang dewasa seperti itu. Sepertiku, sepertimu, seperti berjuta-juta manusia di luar sana.
Aku menghela napas tatkala sedikit demi sedikit penumpang kereta menyingkir dari posisinya. Satu demi satu stasiun terlewati. Tetap tidak ada kursi kosong, jadi kedua kakiku tetap berdiri di sisi pintu—menatap keheningan, malam yang merangkak naik dan pantulan kuyu wajah sendiri. Satu setengah jam setelah menempuh jarak, kantor ditinggalkan dan rumah berada di dalam kedua pandangan. Mama berada di rumah ditemani satu gelas kopi, beberapa lembar surat tagihan dan mendongak ketika suaraku mencapai telinganya. Tersenyum hangat, menatap lembut, suara Mama terdengar membujuk. Ini keempat kalinya dalam sepekan dan aku nyaris percaya kalau perempuan yang satu ini bisa melampaui iklan pop-up di internet tatkala berujar, "Sudah memutuskan, Ji?"
Pembicaraan ini hampir habis tempo, tetapi Mama jelas belum menyerah sebab kalimat terakhir yang kukatakan adalah bahwa aku akan memikirkannya. Nyaris satu pekan sudah berlalu sejak hari itu dan sekarang jawaban sedang dituntut.
Menarik napas, meletakkan tas di atas counter dapur, dan melangkah membuka lemari pendingin untuk menyambar satu kotak jus apel, pelipisku mendadak berdenyut. Badanku lengket, kepalaku sakit. Bahkan belum sampai jawaban dilemparkan, Mama sudah mengeluarkan selembar foto dari buku tagihan, menyodorkannya padaku yang mendaratkan diri di kursi di hadapannya—berkata begitu yakin, "Ini, coba lihat dulu fotonya." Ia setengah memaksa. "Jeon Jungkook itu pria baik. Mama yakin ia akan menjadi pendamping hidup yang baik pula untukmu, Sayang."
Aku tak membenci ide pernikahan ini. Aku tak membenci wajah manis yang tersenyum di lembar foto. Aku tidak berkencan dengan siapa pun sejak lima tahun terakhir, jadi hanya karena kami dipertemukan melalui benang takdir yang dihubungkan, kenapa aku harus membenci pria ini? Mama sudah menunjukkan potret tersebut berulang kali hingga aku sampai bisa melihatnya tatkala menutup mata. Terlebih lagi dalam kasus ini, aku merasa aku sudah melihat hampir semua sisi.
Kedua orangtuaku menikah tanpa restu. Mengagungkan cinta sebab mereka bilang, apa gunanya menikah jika tak saling cinta. Mereka akhirnya berpisah setelah saling memaki hingga tetangga datang melerai sebab ayah hendak mengamuk luar biasa (detail menyusul). Namun kenangan tersebut masih menyisakan getir tak terkira yang merongrong di dalam dada. Sementara di sisi lain, Park Boram—rekan kerjaku di kantor—dan suaminya yang menikah karena rancangan kedua orangtua. Hidup keduanya kini baik-baik saja, keuangan stabil, memiliki dua orang putri lucu-lucu yang menyukai sereal jagung. Kakek dan nenek penjual hotteok *) di stasiun juga menikah karena mereka percaya telah diciptakan untuk saling menjaga satu sama lain, mengantongi restu dan berkah yang diberikan secara percuma. Keduanya merenta bersama-sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Somersault
FanfictionSebenarnya, Song Jian mengerti bahwa pernikahannya dengan Jeon Jungkook takkan berjalan normal, apalagi terasa semanis dan sehangat yang semua orang pikirkan. Tetapi dunia yang perempuan tersebut genggam memiliki dinding yang tak bisa dihancurkan se...