Jeon Jungkook bilang, dia hanya pernah berkencan sekali dengan seorang gadis saat kelas dua SMA. Bertahan selama empat bulan sebelum berpisah sebab si gadis menyukai kakak kelas yang lebih-lebih, katanya. Entah lebih kaya, lebih tampan, lebih berandal atau lebih berani. Bukan kenangan yang manis untuk diingat, memang. Namun saat kamu masih berada di tangga pubertas guna mencapai puncak, biasanya kamu cenderung membuat banyak kesalahan.
Jian meyakinkan Jungkook bahwa gadis tersebut sudah membuat satu keputusan keliru saat memilih orang lain daripada si Jeon sendiri. Sebab saat masih remaja, biasanya pria yang dicari seorang gadis bukanlah pria baik-baik yang akan menjagamu, namun pria berkedok baik-baik yang katanya akan menjagamu. Yang agak terasa lucu, Jungkook hanya tertawa dan membalas, "Pelajaran hidup," katanya. "Terkadang sekali pun kamu benar-benar jatuh dan terperosok ke dalam lubang yang dinamakan cinta, perasaan tersebut tak selalu mendapatkan balasan yang setimpal."
Ah, jawaban tersebut jadi mengingatkan Jian pada beberapa pemuda seperti lelaki di hadapannya saat sekolah dulu. Beberapa pernah mendekatinya, sebagian ditolak dan sebagian lagi memilih diam-diam memupuk benih perasaan di dalam dada. Jungkook barangkali memang sedikit agak kikuk, pemalu, namun mencoba banyak bicara dan sopan sekali. Jian berani bertaruh bahwa ciuman pertama pemuda ini pasti berlangsung gugup bukan kepalang—entah di tempat yang kebetulan lenggang atau di depan rumah kekasihnya dulu setelah menghabiskan waktu guna berkencan yang ditutup-tutupi dengan alasan tugas kelompok.
Tetapi itu sudah lama sekali. Agaknya sekarang, Tuan Jeon yang satu ini mengerti benar bahwa ada banyak tatapan mengarah padanya saat melangkah memasuki café. Ada banyak pasang mata yang menelisik ingin tahu siapa namanya, berapa nomor ponselnya dan ada seberapa banyak uang di dalam buku tabungannya. Jungkook tidak tergelitik. Ia hanya memandang lurus pada lawan bicara.
Tiap kali Jian menyahut, ia akan mendengarkan seksama, menghargai detil—sepenuhnya tahu bagaimana cara menghargai seseorang dan membuatnya merasa nyaman. Pemuda itu tidak melemparkan seribu satu jurus gombal kosong murahan. Dia tidak mencoba tidur dengannya. Dia tidak berusaha merayu atau melebih-lebihkan pujian. Sesuatu sederhana semacam itu terkadang terasa lebih berharga daripada sekotak permata yang berkilat-kilat. Well, tentu saja dengan catatan bahwa yang kamu cari termasuk sebuah ketulusan, bukan sekadar harta.
"Kalau kamu menikah denganku, kamu akan meninggalkan tempat ini, Ji," ujarnya pada kencan keempat di akhir bulan. Jungkook menemui gadis di hadapannya sekali dalam sepekan selama satu bulan belakangan. Menatap sepasang netra yang berkilat cerdas tersebut, ia melanjutkan, "Tidak ada lagi hiruk-pikuk kota, tidak ada lagi kopi di café, tidak ada lagi kantor. Jadi itulah mengapa aku berbicara denganmu terlebih dahulu. Aku tidak mau kamu memaksakan diri untuk mengikuti babak kehidupan yang hendak kita jalani berdua."
Jian mengaitkan jemarinya. Untuk sesaat tak menduga bahwa kalimat tersebut akan ia dengar untuk hari ini. Irisnya mematuk pada gelas berisi teh lemon blueberry di atas meja. Ia mendadak menerka-nerka apakah ibunya sudah mengetahui segalanya. Tetapi di sana, ia lantas membalas, "Apa kamu memintaku berhenti bekerja, Jung?"
"Apa kamu suka bekerja?"
Si gadis menyahut cepat, "Suka."
Jungkook mendadak tersenyum. Senyum hangat yang menyentuh kedua mata. Terdiam sejenak, sang pria lantas berkata kembali, "Kalau begitu aku tidak akan memintamu berhenti. Aku tidak akan memaksamu berhenti melakukan apa yang kamu suka. Itu keputusan yang harus kamu buat untuk dirimu sendiri. Sebab bagiku, pernikahan bukanlah tali kekang yang akan kuikat pada lehermu."
Jian tahu Jungkook merupakan pria baik-baik. Ibunya tidak berbohong sama sekali. namun tetap saja, itu merupakan jawaban yang tak ia duga, jujur saja. Jian termangu, memiringkan kepala sejenak sebelum Jungkook menyambung kembali kalimatnya yang belum usai, "Kamu bisa memilih. Aku ingin memastikan bahwa kamu memiliki pilihan. Tetapi aku pun memiliki keharusan." Si Jeon mengulum senyum, menatap hangat. "Aku tidak bisa tinggal di kota ini bersamamu dan meninggalkan desaku."
Ah, tentu saja. Tentu saja harus begitu. Sama seperti dirinya, Jungkook juga memiliki kehidupan yang tak bisa ditampik begitu saja. Jungkook juga memiliki tanggung jawab sebelum bertemu dengannya. Toh sejak awal, mereka memang berasal dari dua sisi yang berbeda. Semuanya tidak mungkin semulus permukaan kertas yang baru saja dikeluarkan dari dalam etalase toko buku. Jika Jian ingin menghabiskan waktunya dengan Jeon Jungkook, dia harus siap berkorban. Jika Jungkook ingin menghabiskan waktunya dengan Song Jian, dia juga harus siap membawa serta bertanggung jawab dengan penuh.
Berbicara dengan pria bermata rusa ini terkadang terasa seperti meneguk jus apel dalam kadar tak menentu. Jika menelan sedikit, rasanya kurang. Jika menelan terlalu banyak, kerongkongan jadi sakit. Jian tidak tahu apa yang menyusup masuk ke dalam kepalanya saat ia mendadak berkata, "Jungkook?"
"Ya?"
"Boleh aku menanyakan sesuatu?"
Jungkook mendadak tersenyum seolah tengah menahan tawa. "Kamu sudah bertanya siapa mantan kekasihku saat SMA, Jian. Kamu sudah bertanya ukuran sepatuku, apa makanan favoritku atau bahkan kebiasaan tidurku. Kamu bisa membuat biografi mengenai diriku kalau kamu mau."
Jian mengerucutkan bibir. "Aku tadinya mau bertanya sesuatu yang lebih serius. Tapi kalau kamu tidak mau ditanyai, ya sudah."
Si Jeon tersenyum-senyum geli. "Merajuk, ya?"
"Kalau iya, bagaimana?"
"Ya tidak apa-apa. Nanti kutunggu sampai kamu selesai merajuk."
Si gadis semerta-merta ikut menahan tawa. Jungkook memasang wajah kelewat serius sampai-sampai itu nyaris terdengar serius. "Sekalipun aku merajuk sampai lusa?"
"Ya, sudah. Kamu tidak boleh pulang. Nanti malam tidur di café ini berdua. Kamu tidur di atas meja, aku tidur di kursi." Jungkook terkekeh lucu. "Agenda mengenai Song Jian yang kembali ke rumah dengan menahan jengkel itu tidak boleh ada dalam kencannya bersama Jeon Jungkook."
Jian sontak mendengus, meloloskan satu tawa pelan sedetik kemudian. Jungkook dan selera humornya itu aneh dan lucu dalam satu waktu. Gadis itu tak tahu—dia barangkali tak pernah tahu bahwa pemuda di hadapannya tengah memperhatikan dengan lekat, mematri memori mengenai gadis bermata tajam yang tiap kali tertawa, pipinya pasti memerah layaknya buah apel ranum. Barulah setelah menguasai diri sendiri, memandang sang lawan bicara, Jian baru memberanikan diri guna kembali bertanya, "Kamu sendiri bagaimana?"
Jungkook memiringkan kepala sesaat. "Aku sendiri—kenapa?"
"Kalau aku memutuskan untuk mengikutimu, apa kamu akan bahagia?" Si gadis menatap lurus—benar-benar lurus hingga untuk beberapa sepersekon di sana, Jungkook berpikir ia akan tenggelam dan lenyap ke dalam sepasang netra di hadapannya. Tak memberi jeda panjang, gadis tersebut lantas menukas kembali, "Apa kamu menginginkanku?"
Jungkook membeku. Ia tidak segera membuka mulut serta membalas. Bahunya menegang. Sepasang netranya berdenyar gelisah. Ia barangkali sudah mempersiapkan diri untuk melemparkan pertanyaan, tetapi tak benar-benar mempersiapkan diri untuk dilempar lagi dengan sebuah balasan. Jian jadi mendadak resah. Padahal sebanyak empat kali dalam kencan mereka, ia tak pernah merasa sedemikian rupa.
Butuh beberapa sekon bagi Jungkook untuk membuka mulut kembali. Pandangannya berubah-ubah—gelisah, cemas, gugup. Namun itu jelas bisa dipahami. Dengan telinga memerah dan wajah yang menahan malu, Jian mengerti benar bahwa Jungkook berusaha mengutarakan kata-katanya saat membalas, "Sebanyak kamu menginginkanku, maka aku juga menginginkan kamu untuk menjadi teman hidupku." Ia diam sesaat, melanjutkan, "Aku punya banyak kekurangan, Ji. Namun kendati begitu, aku akan membuktikan padamu bahwa sampai kita merenta nanti, aku akan selalu berusaha membuatmu bahagia."
Jian bisa merasakan hatinya menghangat. Itu jawaban yang ia mau. Itu jawaban realistis yang tak dibubuhi serbuk gula secara berlebihan. Sederhana dan yakin. Sederhana dan pasti. Merasakan jemarinya bergetar saat meraih cangkir teh, si gadis membalas tatkala tersenyum tipis, "Kamu sadar tidak, sih, kalau kamu pandai bicara?"
Jungkook terkekeh. Rasa takut perlahan luruh dari ekspresinya saat ia menyahut, "Mungkin karena kamu keterlaluan cantik, jadi aku mendadak banyak membual."
Jian terdiam sejenak. Kedua mata dipertemukan, senyum dilemparkan sebelum tertawa dan mengikis jarak selangkah lebih dekat. Sejak berlangsungnya pertemuan pertama mereka, itu adalah pertama kalinya Jeon Jungkook menyebutnya cantik. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Somersault
Fiksi PenggemarSebenarnya, Song Jian mengerti bahwa pernikahannya dengan Jeon Jungkook takkan berjalan normal, apalagi terasa semanis dan sehangat yang semua orang pikirkan. Tetapi dunia yang perempuan tersebut genggam memiliki dinding yang tak bisa dihancurkan se...