08. Enigma

570 84 3
                                    

"Manusia selalu memiliki beberapa lapis kepribadian, Jian. Tak ada yang sepenuhnya putih dan tak ada yang sepenuhnya hitam. Untuk mengenal seseorang dengan sangat baik, kau jelas akan membutuhkan waktu yang sangat lama," ujar ibunya perlahan—suaranya seolah tersendat, kosong, nyaris menyerupai botol-botol obat di atas meja ruang tengah. "Itulah mengapa, jangan mudah percaya dan jangan membiarkan dirimu terperdaya. Kalau memang tidak bisa bersama, segera berenang menjauh sebelum terlambat."

Semudah itu?

Hera menarik napas, menatap putrinya tercekat. "Jangan pernah menyelami hati seseorang hanya untuk tenggelam."

"Jian?"

Sedikit terkesiap sebelum buru-buru mengalihkan pandangan pada Jungkook yang masih berdiri di hadapannya dengan tatapan sulit, Jian berhasil mengendalikan diri. Senyum yang mendadak terulas pada ekspresi si gadis hampir terasa selayaknya magnet. Cepat, instingtif, dan tidak menyentuh hati. Jantungnya seperti menempel pada tulang rusuk, ditekan kuat, dan Jian menahan napas. Tetapi masih di sana, perlahan menghampirinya seolah baru saja menyaksikan hantu melintas di depan mata, Jungkook terlihat gelisah setengah mati.

"Aku sempat tertidur, lalu terbangun lagi," tutur si gadis perlahan. Mendongak, memandang sepasang netra rusa yang balas menunduk menatapnya, Jian tetap tersenyum saat bertanya hangat. "Aromamu berbeda, Jung. Parfum apa yang kamu gunakan?"

Jungkook bungkam, bibirnya dilipat rapat. Tatapan pria tersebut menukik lurus, terasa sedingin malam yang perlahan merangkak meninggalkan desa. Jungkook jelas tidak menyahut dengan cepat, seolah ia tengah menata ekspresi, nada bicara, serta setiap detil kalimat yang hendak dikatakan. Baru beberapa sekon setelah Jian menaikkan satu alis, Jungkook baru bergerak mengusap tengkuk perlahan. "Parfum milik Kak Lilith," sahutnya. Hampir terkesan seperti baru saja dibidik dengan lima moncong pistol, si Jeon menambahkan gesit, "Sample, lebih tepatnya. Kak Lilith memintaku dan Kak Jimin mencoba aromanya setelah menambahkan daun lavender pada head notes *). Aku baru saja kembali dari bangunan tengah."

Selarut ini? Jian mengalihkan pertanyaan, "Bisnis parfum?"

Jungkook semerta-merta tersenyum tipis. "Iya, baru dimulai sejak satu setengah tahun yang lalu," sahutnya. Pria tersebut lantas membiarkan Jian berjalan lambat melewatinya, mengikuti si gadis menuju balkon dan memandang kolam ikan yang berkecipak mengisi hening menjelang pukul dua pagi. Ia melanjutkan agak cemas, "Kamu tidak mau kembali tidur saja, Ji? Nanti kalau terkena demam karena terlalu lelah, bagaimana?"

"Iya, nanti saja. Belum mengantuk."

"Aku pernah dengar katanya kalau kamu dicium seseorang, nanti bisa cepat tidur."

"Masa?"

"Buktinya tadi siang kucium di kening, kamu jadi sempat terlelap, bukan? Sekarang coba kalau ciumnya di bibir."

Jian menghela napas tak percaya. "Kalau bicara teori ngawur lagi, aku pukul, lho."

Tersenyum tipis, Jeon Jungkook menahan tawa. Ia lantas menopangkan tubuhnya pada pagar balkon, mengalihkan tatapannya saat Jian membuka suara lagi, "Saat masih di Seoul, biasanya aku kerap terjaga sampai pagi karena menuntaskan pekerjaan," si gadis diam sesaat, hampir melewati batas. "Jadi kamu jangan terlalu cemas. Tubuhku sudah sering dihajar deadline, tidak akan mudah jatuh sakit."

"Kamu bekerja keras sekali, Ji."

"Kalau bukan aku yang bekerja keras demi hidupku sendiri, lantas siapa lagi?"

Ada sekelumit pahit yang melintas dalam ekspresi si pria tatkala Jian melirik Jungkook. Perasaan pasang-surut di dalam benak gadis itu sontak berkecamuk sesaat. Sesuatu di dalam kepala terus berbisik bahwa ada yang tak benar, sesuatu yang sedang disembunyikan mati-matian, dan semua persepsi tersebut sukses membuat perut bergolak. Mengeratkan cardigan yang membalut tubuh, ia hanya terdiam mendongak memandangi lentera balkon serta kolam ikan. "Mengenai bisnis parfum itu ... kamu berinvestasi juga?"

SomersaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang