"Jian? Bangun, ya?" Suara tersebut menjeda sejenak, jelas terdengar ragu sebelum mengguncangkan kembali seraya berkata, "Hei, kita sudah berhenti di pom bensin. Katanya mau pipis?"
Tepat setelah Jungkook selesai berbicara, butir hujan mendadak jatuh mengetuk jendela—terdengar semakin pekat dan penuh sementara mesin kendaraan dimatikan. Temperatur udara seolah baru saja merosot turun.
Pom bensin yang lenggang membiarkan bukit-bukit salju di taman kecil ditumpuk dan membeku. Hujan dan musim dingin agaknya nyaris tak pernah menjadi teman baik, jadi Jungkook menarik napas dan kembali mencoba mengguncang tubuh lawan bicara kembali untuk yang kesekian kali. Ia juga tengah mencooba mengontrol diri untuk tidak mencubit gemas pipi merah jambu atau puncak hidung gadis di hadapannya tersebut.
Song Jian pasti akan menelan rasa malu—oh, percayalah. Tetapi di sana, menggeliat dari tidurnya, si gadis yang masih digulung rasa kantuk hebat hanya mendesah perlahan, menyahut serak, "Iya, Ma." Kedua netranya masih tetap terkatup rapat, mengeratkan mantel biru laut yang membalut tubuh sebelum menggeleng sekali. "Lima menit lagi, ya? Alarmnya belum berbunyi, kok."
Mama?
Jeon Jungkook sontak menahan napas, memalingkan wajah, dan menahan tawa mati-matian sampai perut terasa nyeri. Memandang wajah yang terlelap di jok di sisi pengemudi tersebut, Jungkook menemukan ekspresi Jian berkerut sejenak, barangkali kedinginan, sebagian lagi sebal sebab diinterupsi.
Gadis yang satu ini jelas tidak akan terbangun dengan mudah—apalagi mengingat semalam mereka berbincang lebih lama dan keduanya sama-sama memutuskan untuk berangkat dari hotel pukul enam pagi agar tak sampai di rumah terlalu siang. Namun kini, menemukan lawan bicaranya tertelungkup kantuk, sepercik ide kecil mendadak melesat memasuki kepala.
Jian sendiri melenguh perlahan. Dalam kesadaran yang bergerak perlahan, ia seolah mampu mendengar sebuah suara—semanis madu, begitu hangat, lalu mengirimkannya wajah seorang Jeon Jungkook yang lantas berbisik begitu panas dan dekat di telinganya, "Sayang? Bangun."
Sial.
Tahu rasanya bagaimana? Rasanya seperti baru saja diguyur setangki air dingin, dihantam gada masif yang dibuat dari bongkahan es batu, lalu sebelum kau siap merespons, jantungmu sudah dicabut dari tempatnya untuk dilemparkan dari puncak tebing. Jian membuka mata secepat yang ia bisa, menemukan dirinya berada di dalam mobil dan bukan rumah, memori sontak menyeruak masuk. Padahal semalam sudah mengalami hal sama, mengapa otaknya masih belum belajar dari apa yang sudah dilewati? Sepenuhnya terpelanting ke dalam dunia nyata, Jian memalingkan wajah hanya untuk menemukan sang calon suami tengah tersenyum-senyum menahan tawa. "Jadi pipis, tidak?"
"Pipis?"
Jungkook sontak tertawa geli. "Iya, pipis dulu sana. Tadi kamu berbicara ingin pipis saat tertidur," ujarnya.
"Aku?"
"Iya, dong. Jendela mobil 'kan tidak bisa bicara, Ji."
Jian mengedipkan kedua netra, dengan cepat kembali ke dalam realita dan terkesiap memerah sementara Jungkook melanjutkan, "Mumpung bahan bakar mobilnya juga perlu diisi ulang. Sebentar, kuambilkan payung dari dalam bagasi. Jangan hujan-hujan, nanti kamu jatuh sakit."
Sebelum si gadis sempat mengatakan apa-apa, Jungkook sudah melepaskan sabuk pengaman, membuka pintu dan melangkah menuju bagasi guna mengambil payung. Pria tersebut barangkali hendak tertawa, barangkali juga menikmati warna merah yang merangkak sempurna pada wajah si gadis. Haha, sial. Jian yang mendesah letih. Mampus saja lah kau, Song Jian. Kenapa tingkahmu memalukan sekali, sih? Tenggelamkan diri ke dalam inti Bumi sana!
Mendecakkan lidah, meringis pelan merasakan panggilan alamnya kembali mendesak (yang sial, malah membuat ia jadi semakin sulit menampik fakta mengenai ocehan tidur yang sudah terjadi), Jian melepaskan sabuk pengaman dan bergidik perlahan merasakan cuaca menghantam kulit wajah. Jungkook yang sudah menutup pintu bagasi, menyodorkan payung sembari ikut meremang menahan dingin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Somersault
FanfictionSebenarnya, Song Jian mengerti bahwa pernikahannya dengan Jeon Jungkook takkan berjalan normal, apalagi terasa semanis dan sehangat yang semua orang pikirkan. Tetapi dunia yang perempuan tersebut genggam memiliki dinding yang tak bisa dihancurkan se...