Menghindar

951 65 12
                                    

"Seharusnya kamu tegaskan sejak awal pada Pierre jika kamu hanya akan menjalin hubungan serius dengan laki-laki yang seiman denganmu! Jangan memberikan harapan pada laki-laki yang imannya berbeda!" ujar Raden Chamim selepas Pierre memutuskan untuk pamit undur diri. Rukmini diam. Gadis itu hanya menundukkan kepalanya sembari menahan tangisnya.

"Pak.. Sudah.. Mimin sudah paham, " ucap Ibu sembari memeluk tubuh mungil Rukmini. Gadis itu hanya diam seraya menahan tangisnya. Dadanya begitu sesak, terlebih mengingat tatapan terakhir Pierre yang begitu nanar namun sendu menatap Rukmini sebelum pemuda blesteran itu meninggalkan rumah kediaman keluarga Chamim.

"Sabar, Min. Bapak sama Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Kamu masih muda, masih banyak lelaki yang baik diluar sana, Min, " ucap Ibu. Rukmini diam. Ia kemudian memilih masuk kedalam kamar pribadinya. Merebahkan tubuhnya yang begitu lemah keatas ranjang. Tanpa sadar, airmatanyapun tumpah. Gadis manis itu menangis dalam diamnya.

Setelah kejadian itu, Pierre seperti hilang ditelan bumi. Tidak pernah ikut Mayor Sukirno bertandan kerumah keluarga Chamim bersama dengan perwira Yonzipur lainnya. Bahkan sesekali Rukmini berjalan selepas pulang sekolah, melewati asrama dan markas Yonzipur, namun ia tetap tidak bertemu dengan Pierre.

"Kamu datang ya nanti malam ke ulangtahunku, Min, " ucap Laras seraya memberikan secarik undangan perayaan ulangtahunnya yang ke tujuh belas. Laras tersenyum begitu manis, gadis itu memang terpaut usia satu tahun dengan Rukmini, namun mereka masuk pada satu angkatan sekolah yang sama.

"Aku undang banyak orang, Min. Teman teman sekolah kita dan perwira Yonzipur, " Lanjutnya. Rukmini mendongak menatap Larasati seraya mengernyitkan dahinya.

"Perwira Yonzipur?"

Larasati mengangguk. Rukmini hanya diam dan tersenyum tipis, tidak menanggapi Larasati lebih.

Sementara itu ditempat lain selepas Pierre memimpin pletonnya berlatih menembak dan pelatihan pembuatan dan penjinakan bom, Soeseno tiba-tiba menghampiri pemuda gagah itu dan duduk tepat di samping Pierre yang sedang duduk bersantai melepas lelah.

"Apa ini?" tanya Pierre saat melihat Soeseno mengulurkan secarik kertas berupa undangan ulangtahun.

"Laras?" lanjutnya. Soeseno menganggukkan kepalanya.

"Ayo teko, bareng karo aku. " (Ayo datsng. Bersama dengan aku)  ucap Soeseno. Pierre membaca sepintas sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya.

"Kowe waelah. Aku ora. " (Kamu sajalah, aku tidak.) jawab Pierre lemah. Soeseno mengernyitkan dahinya, jarang sekali melihat Pierre tidak bersemangat seperti hari ini.

"Kowe kenopo, le? Ono masalah opo? Mbok crito o karo aku, le, " (Kamu kenapa, le? Ada masalah apa? Mari ceritakan padaku) ujar Soeseno. Pierre diam sejenak. Ia membeku sejenak menatap Soeseno sebelum akhirnya menghembuskan nafas kasar.

"Aku sedang mencoba memantapkan hatiku. "

"Untuk?"

"Rukmini."

Soeseno terdiam ditempatnya. Menatap nanar Pierre yang nampak berpikir keras seraya bersedekap dan menyandarkan kepalanya di pilar bangunan markas Yonzipur.

"Memangnya belum mantap?"

Pierre menoleh dan kembali menatap Soeseno penuh arti.

"Pak Chamim melarangku mendekati Mimin karena kau tahu, kami berbeda agama. Keluarga Chamim menginginkan putrinya menjalin hubungam serius dengan pemuda yang beragama sama dengan mereka. Sementara aku berbeda," ucap Pierre. Ia kembali menghembuskan nafas kasar.

PATRIOT DARI BUMI PANORAMA √ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang