"Lho? Ke mana semua orang?"
Tidak ada yang tersisa di TKP selain police line. Mobil-mobil petugas, forensik, dan reporter tak terparkir lagi di sana. Aiden menggaruk kepala bingung. Kasus kan belum selesai, bukankah terlalu cepat para polisi meninggalkan TKP?
Hellen mencoba memanggil Deon, namun polisi pemarah itu tidak menjawab. Mungkin ponselnya lowbatt atau berada jauh dari si empunya.
Jeremy memperhatikan sekeliling. Apa yang akan mereka lakukan sekarang? Melapor pada Watson? Pasti ada yang terjadi sampai semua petugas bergegas pergi. Watson sendiri bilang segera hubungi dia kalau ada yang aneh.
"Lihat." Hellen menunjuk seseorang yang memperbaiki letak traffic cone di trotoar dengan malas. "Kita bertanya padanya saja."
Tanpa berpikir dua kali, mereka melangkah ke tempat pemuda tersebut. "Permisi, apa Anda tahu ke mana semua petugas kepolisian yang berkumpul di sini?" tanya Aiden sembari menunjuk TKP.
Dia menatap cuek mereka bertiga, menjawab ogah-ogahan. "Tadi mereka ada di situ, lalu kini sudah tidak ada. Bukan urusanku sih."
Apa-apaan cowok ini? Menyebalkan sumpah. Demikian ekspresi Aiden.
"Kapan mereka pergi?"
"Entahlah. Sekitar sepuluh menit lalu? Lima menit? Seperempat jam? Seabad?" Dia menatap jam tangan, menghitung lewat jari, lalu berdecak. "Ck! Aku tidak mengerti hitungan di Bumi."
Oke, tampaknya dia bukan cowok normal. Mereka lebih baik pergi saja.
Plak! Seseorang datang dan menjitak kepala cowok pendek itu. Dia mengaduh, melotot ke penjitak. "Halca! Kamu pikir apa yang kamu lakukan?! Itu sakit!"
"Mereka bertanya baik-baik, jawab baik-baik pula." Orang yang baru datang itu geleng-geleng kepala, beralih menatap Aiden. "Maafkan temanku. Dia memang tak sopan," katanya memberikan tatapan sinis. "Para polisi yang kalian cari pergi ke tempat bernama Derarin. Katanya terjadi pembunuhan."
"Pembunuhan?"
Dia mengelus dagu. "Kalau tidak salah dengar, suami seorang wartawan eksekutif dari Twinshield News ditemukan tewas di rumahnya."
Deg! Aiden dan Jeremy terbelalak.
"APA?!" Hellen berseru tak percaya. Mereka terheran-heran kenapa semua insiden terjadi serempak. "S-suami Tante Zenle ...? Maksudnya Om Saul? Ini tidak bisa dibiarkan. Aiden, Jeremy, kita ke sana sekarang!"
"Tunggu, Hellen!" Aiden mengekori. Kecuali Jeremy, menyempatkan diri berterima kasih.
Hening dua detik.
Dua remaja itu saling tatap. "Kenapa mereka biasa-biasa saja mendengar pembunuhan? Jangan-jangan mereka mafia lagi. Kita bicara dengan penjahat! Ayo kembali ke kota kita, Hal. Di sini tidak aman."
"Astaga, Luca, kamu tuh kebanyakan nonton."
-
"INI TIDAK MUNGKIN TERJADI! Saul... Saul... Jangan tinggalkan aku... Siapa yang tega melakukan ini padamu...? Kumohon bangunlah..."
Teriakan putus asa Mazen menyambut kedatangan Aiden, Hellen, dan Jeremy. Mereka bersitatap cemas, langsung masuk ke TKP, tertegun. Tubuh jenazah terlihat memutih.
"Bagaimana keadaan Watson?" tanya Deon.
"Dia bersama—aww!" Aiden melotot, menoleh sebal. Jeremy menginjak kakinya. "Hei, itu sakit tahu. Apa masalahmu, heh?"
"Watson belum siuman, Inspektur. Dia gegar otak ringan." Jeremy menekankan kalimatnya sambil menatap Aiden. Gadis Penata Rambut itu terkesiap, mengulum bibir. Aish! Bisa-bisanya dia lupa pesan Watson.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Hellen Stern - Penguntit Monokrom
Misterio / SuspensoPertama kali penguntit monokrom muncul di kehidupan Hellen saat pemakaman teman masa kecilnya, Rokko Romeron. Orang misterius itu selalu memakai jaket hujan berwarna kuning, menghantui Hellen bertahun-tahun. Hellen tidak bisa digentayangi seperti i...