26

411 154 13
                                    

"Pak Kepala Sekolah, saya pikir tindakan Anda tidak rasional. Kalau boleh tahu, apa alasan Anda memasukkan King ke klub detektif? Apakah ini karena insiden di Serene? Jangan bilang Anda mulai tertekan oleh popularitas mereka berempat."

"Bukankah kamu lebih tahu jawabannya, Apol?"

"Saya tidak ingin membicarakan hal yang bersifat privasi." Apol mengepalkan tangan. "Pokoknya saya menolak ide Anda. King tidak seharusnya berada di sini. Anda menyalahgunakan wewenang."

"Kenapa tiba-tiba ingin melindungi klub detektif, hm? Kamu sangat membenci kehadiran klub itu bahkan sebelum Anlow meresmikannya, 'kan? Ah~ aku lupa kalau kamu ini pribadi yang munafik."

"Setidaknya saya bukan Anda. Menjadikan anak sendiri sebagai umpan seperti itu."

"Apol! Tidakkah kamu merasa melewati batas?"

Apol mendongak memandangi foto keluarga yang tertempel di dinding ruangan kepsek, terkekeh sarkas. "Mau main tebak-tebakan? Kurasa istri Anda akan marah kalau Anda semena-mena begini."

"Kamu hanya mengatakan konsep objektif."

Apol beranjak bangun. "Saya rasa percakapan kita selesai sampai di sini, Pak. Di pertemuan berikutnya, saya harap Anda memulangkan King. Anda hanya akan menyiksanya."

"Sayang sekali, Apol, aku tak dapat melakukan itu. King harus menjadi anggota klub detektif. Kamu tidak usah ikut campur dalam permasalahan keluargaku."

Setibanya di luar, rasanya Apol ingin meninju sesuatu. Wajahnya merah menahan marah. Tangannya mengepal memegang semua rasa kesal. "Sialan. Apa yang dipikirkan tua brengsek itu?"

"Tapi kamu mengontrol emosimu dengan baik, Apol. Jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya." Seseorang berkata. Tahu-tahu dia muncul di depan Apol sambil menatap lantai bawah—tepatnya ke arah klub detektif Madoka yang tengah diskusi di lorong koridor. "Mereka buntu."

Apol meletakkan ponsel ke telinga. "Sudah kubilang jangan ajak aku bicara kalau aku lagi di luar ruangan. Ada banyak kamera pengawas."

"Apa kamu takut orang-orang tahu?"

"Kupikir kita sudah membicarakan ini. Apa kamu mau mengakhiri kesepakatan?"

"Menurutmu bagaimana?"

"Lihatlah, kamu mengalihkan pembicaraan." Apol mengembuskan napas panjang, mengurut pangkal hidung untuk bisa kembali netral barang sedikit. "Jadi, apa maksudmu?"

"Tentang Penguntit Monokrom. Aku tahu kalau kamu benci misteri, namun aku juga tahu kamu menyukainya. Rasa benci dan suka yang bersamaan."

"... Aku rasa Watson Dan yang akan mengungkap kebenarannya." Apol menjawab sekenanya.

Dengan siapa Apol berbicara?

-

"Bisakah kamu berhenti tersenyum? Kamu terlihat seperti orang kasmaran." Jeremy berkata jengkel. Dia menatap King yang seperti nempel permanen dengan senyuman dari sudut pandangnya.

"Bagaimana aku tidak tersenyum? Kudengar kalian ketat dan selektif dalam keanggotaan, sampai sekarang belum membuka pendaftaran member baru. Lalu aku diterima dengan mudah. Siswa-siswi lain pasti iri."

"Masuk lewat orang dalam malah bangga, cih. Bisa-bisanya aku melihat tindak nepotisme di usia remaja."

Rambut Watson sudah keriting karena diacak-acak mulu. Ini hari kedua dia begadang setelah pulang dari Serene, menonton semua rekaman klub selama di bawah pimpinan Anlow.

Di beberapa tanggal pada hari Selasa, Jumat, dan Minggu, Erika selalu meminta izin tidak masuk sekolah. Tidak memberitahu siapa pun untuk alasannya. Bukankah aneh? Itu 'kan hari-hari dimana Penguntit Monokrom beraksi.

[END] Hellen Stern - Penguntit MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang