Si bedebah itu, dia mempermainkan titik butaku? Watson mengatupkan rahang yang mengeras. Baru juga dimulai, penyelidikan Klub Detektif Madoka sudah bermasalah. Entah obat apa yang ada di dalam suntik, Jeremy tersandar lemas. Napasnya perlahan memburu.
"JEREMY! Kamu baik-baik saja?!"
Akhirnya Watson tersadar kembali ke dunia nyata. Benar, abaikan dulu si penembak. Ada keadaan darurat di sini.
"Aku tidak apa... Jangan khawatir..." lirih Jeremy serak. Banjir keringat begitu, dia bilang baik?
Watson tidak tahu suntik itu berisi racun atau tidak. Pokoknya dia harus memberi Jeremy pertolongan pertama sebelum 'obat'-nya bekerja mengganggu sistem persarafan.
Watson menggulung lengan baju Jeremy, beralih mengeluarkan sapu tangannya dari tas, mengikat kencang bahu Jeremy, menghentikan sejenak peredaran darahnya.
"Aiden, beri aku pisau atau gunting atau apalah yang tajam."
Tanpa banyak tanya Aiden menyodorkan apa yang dibutuhkan Watson.
Watson menarik napas panjang. "Bari, ini akan sakit. Aku tidak punya obat anestesi. Tahan, ya."
"Heh..." Jeremy terkekeh di sela-sela ringisan, memperbaiki posisi duduk. Anak itu masih bisa nyombong. "Kamu pikir aku siapa? Luka sekecil itu tidak akan membuatku—ARGH!"
Jeremy memekik begitu Watson menyayat kulitnya, bagian yang ditusuk jarum. Cukup satu senti, Watson pun menghisap dan meludahi darah yang mengalir. Terus mengulanginya.
Aiden melotot, tahu apa yang sedang Watson lakukan. "DAN! BAGAIMANA KALAU RACUNNYA JUGA MENGENAIMU?!"
"Tenanglah, Aiden. Aku takkan menelannya." Kali ini Watson mengeluarkan sebuah botol vial dan suntik. Dia mengisinya dengan cairan di dalam botol tersebut, menjentik ujung suntik kemudian mengangguk.
To the point adalah salah satu ciri seorang Watson. Dia tidak memberi aba-aba untuk Jeremy agar bersiap-siap dulu dan langsung menyuntikkan obat penawar itu.
Sudah waktunya menjahit. "Ini lebih sakit daripada yang barusan, Bari."
Berkali-kali Jeremy menjerit dibuatnya. Dari pekikan rendah sampai pekikan tinggi menjadi rangkaian nada.
Aiden tahu suasananya tidak bagus dan bakal terlihat kurang ajar, tapi dia tidak bisa menahan diri tidak tertawa. Mana muka Jeremy kayak mengejan.
"Selesai." Watson merekatkan plester luka. Ketika dia ingin menggandeng tasnya, satu botol vial terjatuh ke tanah. Watson memungut botol itu, mengusap kepala. "Ah, ternyata aku bawa anestesi rupanya..."
Grep! Jeremy menggoyang-goyangkan tubuh Watson. "Jahat! Kamu benar-benar orang jahat! Itu sangat menyakitkan, kamu tahu?!"
"Mana aku tahu. Botolnya tersimpan di saku tas..." Watson dan Jeremy berhenti mengoceh, menatap Hellen yang melangkah mundur.
"Ini semua salahku. Kalau aku terus bersama kalian, kalian bisa celaka. Maafkan aku. Biar aku yang mengurus masalah ini."
"Tunggu, Hellen! Kamu mau ke mana?!"
Bruk! Hellen terduduk, memandang gemetar ke depan. "Kenapa kamu ada di sini...?"
Apanya? Watson bingung, mengikuti arah pandang Hellen.
"KAMU!" gerung Hellen patah-patah bangun. Ekspresinya sangar. "Sebenarnya apa maumu mengikutiku selama ini, hah?! Apa gunanya kamu melakukan itu?! Berhenti menghantui hidupku, penguntit sialan!"
"Hellen, tidak ada apa-apa di sana." Oke, Aiden sangat kebingungan saat ini. Kepada siapa Hellen mengamuk?
"KAMU TIDAK MELIHATNYA, AIDEN? SI PENGUNTIT BRENGSEK ITU BERDIRI DI SAMPING POHON! Tolong kumohon, singkirkan dia... Aku tidak mau lagi melihatnya..."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Hellen Stern - Penguntit Monokrom
Tajemnica / ThrillerPertama kali penguntit monokrom muncul di kehidupan Hellen saat pemakaman teman masa kecilnya, Rokko Romeron. Orang misterius itu selalu memakai jaket hujan berwarna kuning, menghantui Hellen bertahun-tahun. Hellen tidak bisa digentayangi seperti i...