5

442 175 18
                                    

"Tolong maklumi Hellen."

Watson berhenti memandangi kota, menoleh murung ke samping. Anak ini sepertinya sukar merubah raut wajah lesunya. "Bari, ya? Kukira kamu sudah tidur."

Keduanya hening sejenak. Mendengarkan saksama suara bising kendaraan di jalan raya. Mereka berempat harus mengisi penuh tenaga masing-masing. Pekerjaan besar menunggu esok hari. Belum lagi tekanan yang akan mereka hadapi, terutama untuk Watson.

"Jadi, apa maksudmu barusan?" Watson akhirnya memutus lengang.

"Sesuai isinya, tolong maklumi Hellen. Dia tidak bermaksud membentakmu."

"Aku tidak paham. Bisakah kamu jelaskan spesifik?"

Jeremy mengembuskan napas panjang, menopang dagu di pinggiran balkon apartemen. "Dulu Hellen mempunyai teman bernama Rokko Romeron yang tewas karena suatu hal."

"Rokko Romeron..."

"Panggilannya Romeo. Dia adalah teman, sahabat, sekaligus cinta pertama Hellen. Makanya Hellen sangat terpukul atas kematian Romeo. Butuh tiga bulan lamanya menyembuhkan Hellen dari syoknya."

"Kamu ingin mengatakan bahwa kehadiranmu sangat berarti bagi Stern." Watson berkacak pinggang. Agaknya Si Jeremy adalah obatnya Hellen.

"Aku heran. Soal beginian kamu peka, kenapa soal perasaan tidak? Aku curiga, jangan-jangan kamu sengaja bodoh." Jeremy memicing. Soalnya aneh, dia merasa Watson tidak sepenuhnya polos.

Watson diam, menatap datar transportasi yang hilir mudik. Bayangan temannya, Jam Horrori, terlintas di ingatan. Tangannya terkepal.

Waduh, kacau. Percakapannya sensitif.

Jeremy berdeham. "Ja-jadi begitulah kira-kira. Yah, intinya kamu jangan ngambek sama Hellen."

"Apa yang terjadi dengan Romeo, maksudku, apa kamu tahu penyebab dia tewas?" Watson memutuskan mengganti topik obrolan. Tidak baik malam-malam membicarakan hal sendu.

"Hellen bilang dia dibunuh, tetapi tidak ada yang percaya dan asal mengonfirmasi Romeron meninggal bunuh diri dengan meminum sianida."

"Sianida?" Dahi Watson terlipat. "Memangnya dia sudah diautopsi?"

Jeremy menggeleng. "Keluarganya tidak mampu. Para polisi yang menduga takkan mendapat uang jasa memilih menutup kasusnya begitu saja tanpa investigasi lanjutan."

"Laki-laki yang malang."

"Lalu penguntit itu datang," sambung Jeremy. Ceritanya masih belum selesai. "Seseorang yang sebaya dengan Hellen, selalu memakai jas hujan berwarna kuning dan menghantui Hellen sampai saat ini."

"Sebaya dengan Stern... Apa kamu melihatnya?"

"Tidak, aku tak pernah melihatnya. Penguntit Monokrom hanya muncul di pandangan Hellen. Makanya, alih-alih meminta bantuan, tidak ada yang mempercayai keluhan Hellen. Kurasa penguntit itu ingin membuat Hellen terlihat seperti pasien sakit jiwa."

Menarik. Bahkan lebih unik dari kasus Mupsi. Entah kenapa Watson merasa dirinya sangat bersemangat. Jarang Watson menemukan kasus penguntit separah ini. Instingnya seolah tersentak gembira.

Jeremy mengernyit melihat tangan kiri Watson gemetaran menutupi mulutnya. "Ada apa denganmu?"

"Ah, tidak." Tangan kirinya masih gemetaran seakan tremor. Ekspresinya datar. "Aku hanya senang."

Jeremy syok yang malah terlihat konyol. Senang karena sebuah kasus? Astaga, Watson seleranya bukan main. Apa dia sehat?!

-

[END] Hellen Stern - Penguntit MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang