0

1.3K 215 44
                                    

N. B.
Di sini Watson masih bisa ngomong, ya. Aku berniat buat dia bisu di series Jeremy aja. Kalau Aiden temanya musim panas, berarti kasus Hellen terjadi di musim gugur. Tapi aku ndak janji updatenya secepat Pembunuhan Mupsi.

***HAPPY READING***

"Tidak apa..."

Air mata Hellen berderai. Tangannya bersimbah darah. Tatapannya kosong. Menangis dalam diam.

"Aku baik-baik saja selama kamu tidak apa-apa. Jangan menangis. Kamu tidak sendiri, El... Aku akan selalu bersamamu. Aku takkan meninggalkanmu. Karena aku sudah berjanji untuk melindungi Juliet-ku."

Kenyataannya, kalimat-kalimat itu hanyalah kata penghibur agar Hellen tak bersedih. Pada akhirnya teman Hellen, sosok berharga bagi seorang Hellen Stern, meninggal hari itu juga. Dia tak bisa diselamatkan.

Tes, tes, tes!

Air mata bercampur air hujan membasahi muka Hellen yang menatap hampa foto pada batu nisan. Seorang anak cowok seumurannya, Rokko Romeron. Hellen masih mengingatnya dengan jelas, seolah baru terjadi kemarin. Pertemuan pertama mereka berdua. Rokko tersenyum cerah pada Hellen sambil berteriak 'Mulai sekarang, aku adalah Romeo-mu!'.

Hellen tertawa kosong. "Kenapa kamu pergi? Bukannya kamu ingin melindungiku? Bukannya kamu berjanji takkan meninggalkanku sendirian? Tetapi kenapa kamu melanggar ucapanmu sendiri?"

Hellen mendongak, tak mempedulikan ribuan jarum air menghantam wajahnya. Dia tidak tahu lagi harus apa. Bibirnya kelu. Pikirannya kosong. Matanya tak fokus. Bayang-bayang bersama Rokko Romeron berputar di ingatannya.

"Kamu masih di sini, Hellen."

Hellen menoleh, sedikit tersenyum. Tetapi, itu tidak terlihat senyum di wajah Hellen yang kosong. "Erika. Kamu tidak pulang?" tanyanya sebagai respon pendek.

"Seharusnya itu pertanyaanku. Pemakamannya sudah selesai empat jam lalu, El. Kamu sudah terlalu lama berdiri di sini. Nanti kamu sakit."

Hellen menggeleng. "Aku tidak apa, kamu duluan saja. Romeo pasti kesepian kalau aku pergi. Aku harus menemaninya."

Erika membuka mulut, namun dia urung. Erika pun memeluk Hellen yang bergeming, masih menatap lurus ke arah foto. "Jangan begini, El. Jangan kamu siksa tubuhmu. Itu takkan membuat Romeo kembali."

"Dia bilang dia akan terus bersamaku."

"Kita tidak tahu kapan maut datang, El. Kita baru anak-anak yang hanya percaya hal baik."

"Romeo bilang dia takkan meninggalkanku."

"Dia memang tidak ada di sini, El, tapi dia ada di hati kita. Di ingatan kita semua."

"Aku tidak bisa, Rika, aku tidak bisa apa-apa jika tidak ada dia. Romeo segala bagiku." Hellen tersenyum kosong. "Sekarang dia malah pergi. Dia jahat padaku."

"Kamu masih punya aku, El."

"Kamu pasti kedinginan, Rika. Pulanglah dulu. Aku  masih mau menemani Romeo."

Erika menggeleng. "Tidak, aku tidak mau meninggalkanmu. Kita pulang sama-sama."

"Aku tidak mau pulang. Aku mau di sini. Romeo bisa sedih jika aku pergi."

Erika menggenggam jemari Hellen. "El! Kumohon, jangan seperti ini. Aku tahu arti Romeo dalam hidupmu, tapi tolong, aku minta tolong padamu. Pulanglah. Kamu belum makan sejak tadi malam. Mama dan Papamu menyerah membujukmu lantas meminta bantuanku—"

"Sst!" Hellen meletakkan telunjuk ke bibir yang pucat, menepis pegangan Erika. "Jangan berisik, Rika. Nanti Romeo terbangun. Dia sedang tidur nyenyak," lanjutnya mengusap-usap batu nisan.

Ini gawat. Kalau terus begini, kesehatan psikisnya bisa berantakan. Erika tidak punya pilihan selain memberi ruang untuk Hellen. Dia pun melangkah pergi, dalam hati berdoa terbaik demi sahabatnya yang syok berat.

"Tak usah khawatir. Aku akan menemanimu sepanjang waktu. Tidurlah... Hmm?"

Hellen menatap ke depan. Matanya melihat warna kuning cerah terang di antara pepohonan. Hellen mengucek kedua mata, memicing sekali lagi, dan mematung.

Seseorang berdiri di samping pohon, memakai jas hujan berwarna kuning. Wajahnya tidak terlihat karena lebatnya hujan. Spontan saja Hellen memanggil, menggapai udara kosong. "Romeo? Kamukah itu? Kamu masih hidup?"

"Hei!" Suara orang lain hadir.

Seperkian detik Hellen menoleh, sosok berjubah kuning itu menghilang. Secepat itu? Tak mungkin.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya suara baru itu, perlahan mendekati Hellen. "Basah-basahan di tempat pemakaman, kamu tidak takut dikejutkan hantu? Sebentar lagi mau malam lho."

"Siapa kamu?"

Bocah seusia Hellen itu mengulurkan tangan. Tangan kirinya memayungi Hellen. "Namaku Jeremy Bari. Salam kenal."

Itu kejadian 12 tahun yang lalu.

[END] Hellen Stern - Penguntit MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang