18

435 159 24
                                    

"Dengan segala hormat, Nyonya Stern, perbuatan Anda ini tidak bijak. Aku bisa membantu Anda mengungkap kebenaran. Jadi tolong lepaskan aku."

Cynthia tidak peduli, menyuruh anak buahnya mengencangkan ikatan pada kedua tangan Watson supaya dia tidak mudah kabur. Tahu lah, Sherlock Pemurung itu payah dalam olahraga. Tak perlu waktu banyak menangkap Watson.

"Ayolah, Nyonya Stern, saya tahu Anda melakukan ini demi kebaikan saya—"

"Oh, ternyata kamu tahu? Kalau begitu kenapa tidak diam dan tutup mulutmu," sanggah Cynthia dingin. Beliau amat berbeda dari yang pertama kali Watson jumpai. "Aku tidak bisa melibatkan anak-anak di permasalahan orang dewasa. Kamu pintar, bukan? Kamu jelas mengerti maksudku."

"Tetapi tidak dengan menyekapku, Nyonya. Anda bisa celaka. Biarkan aku membantu."

"Keputusanku sudah bulat, Watson. Kamu tidak usah ikut campur. Kamu tak paham siapa yang kamu lawan. Ini permasalahan keluargaku, biar aku yang menyelesaikannya." Cynthia bersiap memanggil Aiden, mengarahkan kameranya kepada Watson—supaya mereka berpikir Watson diculik.

Watson berdecak. Ibu-Anak punya sifat keras kepala. Dibilang biar dia bantu, ditolak mulu.

"Permisi, Nyonya. Lancang jika Anda mengira aku tidak tahu apa-apa. Secara, kami ke Kota Serene berkat permintaan klien kami mencarikan temannya yang hilang, Romeo Grandham. Kemudian tak tahu-menahu terseret ke skandal keluarga Anda. Apakah kami bersalah? Kami hanya mengerjakan tugas kami sebagai seorang detektif. Kalau Anda menghalang jalanku, itu berarti Anda juga menghalangi putri Anda."

Chyntia tergelak. "Kamu pandai dalam berbicara, Watson. Aku salut padamu. Genius, brilian, tapi kepintaranmu mengutukmu."

"Aku tidak akan menyangkalnya, Nyonya Stern. Aku sering kali menyesali 'kepintaran' yang diturunkan padaku ini. Ironis memang, aku membencinya namun selalu bergantung padanya."

Chyntia melipat tangan ke dada. "Aku ingin bertanya sesuatu padamu, apa yang kamu lakukan di sini? Aku tak percaya kamu jauh-jauh dari rumah sakit untuk datang ke sekolah lama suamiku."

"Aku menyelidiki latar belakang kalian berdua.  Aku tahu perbuatanku kurang ajar namun harus kulakukan. Stern mengatakan padaku bahwa Nyonya Mazenle satu sekolah dengan Tuan Stern dan sempat berpacaran. Sementara Anda di sekolah yang berbeda dari mereka berdua. Aku berkesimpulan ada kemungkinan ..."

"CUKUP, WATSON!" suara Cynthia meninggi.

Watson diam. Apa kalimat-kalimatnya barusan sensitif bagi Chyntia?

"Jangan bicara lagi." Cynthia mengeluarkan sapu tangan, mencampurkan sesuatu ke atasnya. Kegelisahan mulai mendatangi Watson. "Sekarang waktunya kamu tidur. Aku ingin melanjutkan pekerjaanku. Permainan detektif-detektifmu berakhir di sini."

"Pikirkan baik-baik Nyonya Stern. Aku hanya mencoba membantu, bukan menghambat ataupun menghentikan Anda. Stern dan Bari adalah incaran pelaku saat ini. Aku tidak mau enak-enakan tidur selama pembunuh Rokko Romeron masih berkeliaran di luar sana. Aku mau menolong teman-temanku. Anda tak bisa melarangku." Watson mencoba sekali lagi menyakinkan Chyntia.

"Aku bisa mengurusnya. Kamu tak usah khawatir. Aiden, Hellen, dan Jeremy akan datang ke sini begitu kamu pingsan. Aku kenal sifat mereka."

Bukan itu yang Watson inginkan. Dia tidak mau jadi beban seperti di kasus Mupsi. Dijadikan sandera bukan pengalaman yang enak. Watson menggigit bibir, tak ada pilihan lain.

"...."

Cynthia terbelalak, batal membius Watson. Bola matanya berbinar-binar, syok mendengar gumaman Watson. "Ba-bagaimana bisa kamu mengetahuinya?"

"Aku hanya menyimpulkan."

"Tidak mungkin!"

"Mungkin saja. Aku fans Holmes."

-

"Apa yang kamu katakan, Hellen ...? Apa maksudmu Om Saul sudah meninggal 14 hari lalu?" Jeremy menggeleng tidak percaya.

Hellen mengangguk serius. Ketika dia memeriksa kondisi jenazah, semua kulitnya sudah mengeras. Hellen tak dapat merasakan daging dari kulit tubuh korban, seolah yang dia sentuh adalah batu. Rambut jenazah pun tak jauh kalah keras. Hellen sempat menyentuh kelopak mata korban, juga keras. Tak dapat dibuka.

"Aku rasa beliau sudah lama dibekukan di lemari es oleh pelaku. Semoga saja aku tidak salah perkiraan waktu kematian." Hellen mengelus dagu, mengingat-ingat kondisi jenazah. "Tidak ada tanda-tanda luka fisik, berarti Om Saul tewas diracun seperti Romero Ronald."

Aiden bingung. Kalau diracun, kenapa mereka tidak menemukan jejak apa pun?

Hellen berpikir sejenak, menjentikkan jari. "Ingat ketika sampai di Serene? Seseorang menyerang Jeremy dengan panah suntik. Aku yakin pelaku memakai metode yang sama pada Om Saul. Sayangnya Tante Mazen tidak mengizinkan autopsi."

"Sebenarnya beliau mencurigakan lho. Dia seorang pemanah, kan? Mengingat semua serangan yang dilancarkan ke Jeremy berupa jarak jauh, mana tahu beliau lah pelakunya."

"Heh!" Hellen melotot. "Tidak baik asal menuduh orang, Aiden. Maksudmu beliau lah yang membunuh suaminya sendiri 'gitu?"

"Masuk akal kan, Hellen? Mungkin saja Om Saul dulunya jahat sama anaknya sampai membuat Rokko meninggal. Tante Zenle tidak terima memutuskan balas dendam."

"Aiden," tegur Jeremy mendesah. "Hellen bilang Rokko bukan bunuh diri melainkan dibunuh. Masa kamu ingin bilang Om Saul membunuh Rokko?"

Benar juga. Aiden melupakan poin itu.

"Lagian aku tidak terlalu tahu tentang keluarga Rokko, apakah mereka dekat atau tidak. Kami memang teman masa kecil, namun Rokko privasi soal keluarganya." Hellen hanya mengingat kalimat terakhir Rokko. Dia seakan hendak menyebutkan nama seseorang.

"Oh, iya." Jeremy menepuk tangan, mendapat ide cemerlang di kepala. Dia menatap Hellen. "Ayahmu bilang Tante Zenle pindah tanpa mengabari beliau. Jangan-jangan tuh tante juga korban dari hasutan 'melupakan Romeo'."

"Tidak mungkin. Tante Zenle itu kaya raya." Hellen menggeleng.

"Lalu apa alasannya pindah?"

"Aku tidak tahu. Beliau pindah pasca kematian Rokko. Mungkin memulai lembaran baru?"

"Hellen, biar kukasih satu saran. Berdasarkan pengalamanku menangani kasus kakakku, pembunuhan Mupsi, akan lebih baik kamu tidak membela tersangka meskipun tersangka orang dekatmu. Kamu bisa menutupi kebenaran."

"Pokoknya Tante Mazen tidak ada hubungannya dengan penculikan para Romeo." Hellen bersikeras. "Kenapa kalian jadi mencurigainya sih? Beliau tidak ada motif melakukan penculikan dan pembunuhan."

Aiden dan Jeremy mengangkat tangan. Tidak mau menyudutkan. Nanti Hellen ngamuk. Yang mereka curigai adalah ibu teman tersayangnya.

Sunyi beberapa detik.

"Ngapain sekarang?" Aiden memecah hening. "Kita stuck di sini. Inspektur Deon sudah menunggu dari tadi."

"Menelepon Watson? Sejujurnya kita lima jam di TKP tanpa menghubungi Watson. Aku tak tanggung jawab lho kalau dia marah." Jeremy angkat tangan kedua kalinya.

Sementara Aiden dan Jeremy menelepon Watson, Hellen mundur dua langkah.

"Dengarkan aku, El... Kamu harus melapor pada polisi... Dia gila. Dia akan memburu banyak Romeo di luar sana... Terutama—"

Sebenarnya siapa yang Rokko maksud? Bagaimana Rokko bisa tahu pelaku akan memburu kumpulan sipil bernama "Romeo"? Apa yang dia lihat di persembunyian pelaku?

Satu pesan berdenting ke ponsel Hellen. "Ah, ini dari Watson. Kalian berdua, kemari."

Aiden dan Jeremy menghampiri seperti anak ayam. Mereka bertiga serempak terbelalak.

Jika kamu tidak mau temanmu mati, pergilah ke sekolah Ayahmu. Aku menunggumu di panggung klub drama.

Hellen tahu pesan itu ditujukan padanya.



[END] Hellen Stern - Penguntit MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang