Apol menonton semua kehebohan yang terjadi di halaman sekolah. "Sepertinya sudah mencapai puncak. Aku kasihan mereka hujan-hujanan."
"Kalau kamu kasihan, kenapa tidak turut membantu?" sindir seseorang.
"Aku pikir aku sudah cukup membantu." Apol terkekeh, menoleh ke orang yang menyindir. "Kamu berkata seperti itu karena masih mengkhawatirkan Hellen, apa aku salah?"
"Apol, kamu tak pernah berubah." Orang lain menegur, bersedekap malas.
"Memangnya apa yang kamu harapkan dariku? Apa kita dekat? Kurasa tidak. Kamu hanya kebetulan mengetahui rahasiaku." Apol tersenyum culas, kembali memperhatikan halaman. "Jangan buat aku mengulangi perkataanku. Watson Dan telah melakukan perbuatan benar. Ini tidak salah."
Apol menatap langit nan menangis. "Hanya orang bodoh yang tidak gila kehilangan cinta pertamanya."
-
Tunggu sebentar. Jeremy berhenti berlari. Entah kenapa dia pernah melihat gerakan orang yang mereka kejar. Di mana dia pernah melihatnya? Saat sekolah dasar? Ah, benar. Waktu ujian praktek olahraga.
"Jer? Apa yang kamu lakukan?"
"Aku kenal orang ini, Aiden. Kamu diam di sana." Jeremy melanjutkan larinya, memotong rute yang dilalui orang itu. Terkejut, sosok itu pun memutar langkah. Jeremy mengepalkan tangan. Sesuai dugaan! Jeremy yang melakukan gerakan tipuan itu berhasil meraih lengannya.
Tanpa berpikir dua kali, Jeremy langsung menyingkap tudung mantel yang menyembunyikan wajah si Penguntit. Tapi kemudian, dia dibuat terkesiap kaget saat melihat siapa orang di balik tudung tersebut.
"E-Erika?!" pekik Jeremy, matanya membulat syok.
Nguing! Nguing!
Suara sirine? Aiden menoleh. Satu mobil ambulans memasuki lapangan. Tunggu, itu bukan pusat 911, melainkan ambulans rumah sakit jiwa. Apa yang dilakukan pusat kejiwaan di Madoka? Siapa yang memanggil mereka? Siapa yang hendak mereka bawa? Begitu banyak deretan pertanyaan di kepala Aiden, namun dia tahan demi mendengar seruan Jeremy di depan.
Saat ini Aiden kedinginan karena disiram air hujan, namun mendadak tubuhnya laksana mati rasa melihat pemandangan di hadapan. Ada yang lebih dingin dibanding ratusan jarum menusuk pori-pori. "... Erika?"
Benar. Di balik jubah mantel kuning, terdapat sosok Erika Lanneiola. Sahabat kecil Hellen dan Jeremy, partner Grim, dan anggota pertama klub detektif Madoka. Dialah Penguntit Monokrom.
"Aku bisa menjelaskan semuanya. Kalian tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ini rahasia di antara aku, El, dan Rokko. Kalian salah paham."
"Salah paham? Setelah yang kamu lakukan pada Hellen, kamu bilang salah paham? KAMU PIKIR APA YANG SUDAH KAMU PERBUAT, HAH? Kenapa .... Kenapa, Rik? Kenapa kamu tega melakukan ini pada temanmu sendiri? Apa kamu tak pernah menganggap Hellen sebagai sahabatmu?" Suara Jeremy memelan, terdengar serak dan senduk.
"Tidak!" Erika menggenggam kedua tangan Jeremy, berlutut. "Ini tidak seperti yang kamu lihat, Jeri. Jangan memandang dari luar. Ini sangat kompleks. Aku melakukannya demi El. Kamu tidak tahu maksud sebenarnya dari Penguntit Monokrom."
"Kamu menakuti Hellen 12 tahun, Rik. Apanya yang untuk Hellen? Kamu ingin membunuhnya, iya? KENAPA KAMU MENYAKITI HELLEN SEBEGININYA? Apa salahnya sampai kamu ...." Jeremy mengusap wajah. Entahlah dia sedang menangis atau menyeka air hujan yang mengganggu pipi.
Erika beranjak bangun, tersenyum. "Aku takkan menyalahkanmu kalau kamu mau memilih untuk tidak percaya padaku. Aku bisa memakluminya. Di mata kalian, aku memang terlihat seperti penguntit jahat. Namun aku yakin, pasti ada yang tahu tujuan asliku melakukan ini semua."

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Hellen Stern - Penguntit Monokrom
Mystery / ThrillerPertama kali penguntit monokrom muncul di kehidupan Hellen saat pemakaman teman masa kecilnya, Rokko Romeron. Orang misterius itu selalu memakai jaket hujan berwarna kuning, menghantui Hellen bertahun-tahun. Hellen tidak bisa digentayangi seperti i...