.
.
."Serahkan kunci mobilmu atau kuhabisi sekarang. Jangan coba-coba untuk melawan kau tau jalanan sangat sepi tak akan ada orang yang mendengar teriakanmu," ujar pria penodong pisau.
Si pria semakin mendekat pun juga mata pisau yang kini terarah pada abdomen kiri Jemita, bahkan jaraknya hanya sekitar dua senti dari pakaian yang tengah ia kenakan.
Jemita terdiam─berpikir. Pria di sampingnya tengah menodongkan pisau jika melawan sudah jelas dirinya akan dihabisi melihat tampang pelaku yang dengan mantap dan tanpa rasa takut membunuh sesama. Sadar diri jika ia tak menguasai bela diri apapun pasrah adalah jalan terakhir, setidaknya harta bisa dicari sedang nyawa?
"Baik akan saya berikan tapi saya mohon biarkan saya pergi, tolong," tatapan memelas Jemita berikan. Ia berharap belas kasihan masih dimiliki pelaku.
Namun harapannya terpatahkan, sesaat setelah dengan sukarela ia memberikan kunci mobilnya si pelaku masih enggan menjauhkan bilah pisau yang digenggamnya.
Si pria berdecak, "Bodoh sekali, kau pikir bisa lolos begitu saja? Kau telah melihat wajah kami bukan tak mungkin kau juga akan menjebloskan kami ke penjara."
"Begitu naif kamu masih muda, kaya, dan terlihat pintar. Tapi takut mati sungguh ironis. Hahahaha" tawa si wanita asing mencoba menyahuti.
Jemita semakin panik, kilas balik kehidupannya memenuhi otak seakan bersiap untuk meregang nyawa. Sampai suara motor yang berjalan mendekat terdengar samar, sebuah harapan.
Kedua pelaku pun menyadari jika seorang lain mungkin menjadi saksi kejahatan mereka, dengan segera si pria melayangkan pisaunya ke arah Jemita dengan gerakan ancang-ancang yang begitu kentara. Menyadari sebuah celah yang ada refleks Jemita menendang pergelangan tangan pelaku hingga pisau di genggamannya terlempar jauh.
"Nice shoot" teriaknya.
Tak ingin kehilangan kesempatan pasutri pelaku begal bergerak memasuki mobil dan membawanya kabur beserta barang bawaan milik Jemita yang tertinggal di dalamnya.
Syok dan keringat dingin mendominasi perasaan si manis. Dirinya hampir meregang nyawa dengan cara yang begitu mengerikan, tak lain tak bukan dibunuh. Suara langkah kaki yang mendekat tidak diacuhkannya, sedang sibuk memikirkan nasib mengenaskan tadi.
Tepukan di bahu menyadarkan lamunan, "Tante kenapa?" tanya pemuda tinggi dengan hoodie hitam dan masker yang menutupi wajahnya.
Seakan tersadar Jemita menatap lekat sosok yang secara tak langsung telah menolongnya, pemuda itu terlihat masih belia mungkin masih sekolah batinnya. Mengatur napas kemudian ia mulai menceritakan kejadian naas yang telah menimpanya setidaknya meminta bantuan bukan sebuah kesalahan bukan? Dan juga si pemuda nampak tulus ingin menolong.
Aji, nama yang diucapkannya saat Jemita mengajak berkenalan. Remaja tujuh belas tahun itu hendak pulang ke rumah selepas menjaga warung kopi, entahlah mungkin ingin menambah uang jajan─pikir Jemita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astray || nomin ft jisung
FanfictionMenjauh dari gemerlap cahaya perkotaan menjadi impian Jemita setelah lama terjebak dalam lingkaran rutinitas yang mencekik. Lalu bagaimana jika kesempatan itu mendatanginya secara tiba-tiba? Berteman pemuda belasan tahun, Jemita memulai sebuah petua...