.
.
.Hari menjelang sore kala Jemita memutuskan untuk keluar dari kamar. Menilik ke sekitar ia mencari keberadaan sang suami, dalam hati bertanya apakah Vano tetap berdiam diri dan tak meninggalkan kediaman mereka ataukah pria itu telah menghilang entah kemana. Karena jujur perkataan Jemita tadi cukup kasar untuk bisa menyakiti perasaan suaminya.
Ia bernapas lega saat menemukan Vano tengah berbaring di sofa tempat mereka bersitegang beberapa saat yang lalu. Meski tertidur gurat lelah jelas terlihat di sana.
Jemita mendekat, lalu duduk bersimpuh sambil mengamati si pria berbalut kaus oblong dan celana pendek di atas lutut─pakaian favorit Vano. Penyejuk udara yang bersuhu terlalu rendah menghantarkan hawa dingin menusuk, membuat Jemita tergerak mengatur ulang suhunya pun turut serta menyelimuti Vano. Ia tak sampai hati membiarkan wira itu kedinginan dan berakhir masuk angin.
Elusan lembut pada surai legam nan pendek itu diberikan, kemudian turun ke pelipis dan berakhir dengan usapan di pipi si pria. Gerakan spontan penuh rasa menyesal atas perilaku kurang menyenangkan sepagian tadi.
"Maaf, aku bersikap kekanakan. Setelah ini kamu bisa balik marah-marah, tapi jangan terlalu lama karena aku tak sesabar kamu. Selamat tidur... Mas suami," bisik Jemita lirih dekat telinga Vano.
Tak berhenti di situ, si wanita mendaratkan kecupan singkat di sudut bibir prianya. Hanya sekilas tak sampai lima detik.
Setelahnya Jemita beranjak pergi enggan menggangu waktu tidur Vano. Cekalan di pergelangan tangan menahan langkah kedua Jemita, saat berbalik ia dihadapkan dengan Vano yang memberinya senyum tipis tanpa eye smile khas milik si pria.
Perlakuan dan ekspresi itu sedikit banyak membuat Jemita was-was.
"Ayo duduk, kita perlu bicara."
Sebuah anggukan menjadi balas ajakan yang baru terlontar. Fakta bahwa Vano telah lebih dulu terbangun saat ia merasakan elusan di kepala, membuatnya dapat dengan jelas mendengar ungkapan jujur Jemita.
"Menyambung pembahasan kita tadi, memang benar aku menginginkan seorang anak. Bukan untuk menggeser posisi Aji ataupun sebagai penerus perusahaan yang sah di masa depan. Hal itu berada jauh dari alasanku yang sebenarnya, bahkan tak sedikitpun aku berpikir demikian.
Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan saat dua garis muncul di test pack milikmu, bersusah payah memenuhi keinginan anehmu saat mengidam, rasa khawatir ketika menunggumu di luar ruang bersalin, perasaan haru pertama kali mendekap bayi kita, dan mendengar kata pertama yang ia ucap dengan bibir mungilnya nanti."
Ditatapnya Jemita sepenuh hati, mencoba membagi hasrat menggebu kepada sang istri. "Aku egois, Je. I already knew. But I want it so bad, I really am."
Wanita mana yang tak bergetar kala ditatap dengan manik berkaca-kaca dan ungkapan perasaan yang mungkin telah disimpan rapat? Jemita bukan salah satu diantaranya.
Linangan air mata membasahi pipi wira cantik itu, tak menyangka akan mendapatkan limpahan cinta dan kasih yang begitu besar dari sang suami. Dirinya merasa bersalah.
"Maaf... Aku yang egois, selama ini selalu aku yang menunda. Maaf... Bukannya aku tak mau, aku hanya belum siap, aku ragu, aku terlalu takut...
Aku takut...
Aku takut punya bayi, No. Gimana kalau nanti aku tak bisa jadi orang tua yang baik? Apalagi sekarang ada Aji, apa aku bisa adil ke mereka? Merawat bayi tentu banyak kesulitan daripada remaja seusia Aji. Aku bingung..."
Helaan napas Jemita menyiratkan kefrustasian, sebagai anak tunggal jelas ia tak mengerti tentang ikatan saudara kandung dan segala pahit manisnya. Yang ia takuti jika di masa depan salah satu anaknya merasa tersisihkan atau malah dinomorduakan. Baginya hal semacam itu tak patut terjadi.
"Je, look at me. Ada aku di sini, sejak awal ini bukan tentang kamu tapi kita. Ketakutanmu wajar dan setiap orang pasti pernah melaluinya, jangan meminta maaf itu bukan kesalahan. Tak ada yang instan semua berproses, begitu juga dengan mendidik anak. Menjadi orang tua memang berat jadi ayo lewati ini bersama, belajar dari setiap kesalahan yang ada berusaha lebih baik agar nanti ketakutanmu itu tak terwujud," jelas Vano panjang lebar. "Ada sanggahan?"
Jemita menggeleng.
"Permintaanku terlalu berat ya?" tanya Vano memastikan.
Lagi, si cantik menggeleng.
"Jadi kamu setuju?"
Senyum Vano muncul ketika anggukan ia dapat sebagai jawaban, rasa lega pun langsung menghampiri hatinya. "Tak ingin sebuah pelukan?"
Vano merentangkan tangan kemudian dibalas dengan pelukan erat dari Jemita. Bahkan wanita itu kini sudah mendudukkan diri di pangkuan Vano, kepalanya tepat berada di perpotongan leher sang suami menikmati rasa aman dan nyaman yang telah lama dijanjikan.
"Thank you," ujar Jemita lirih.
"Anything for you, sweetheart."
Jemita terpaku lalu mengurai pelukan. Dipukulnya bahu Vano main-main wujud respon kalimat manis yang terucap. "Ewh! Cheesy."
"Tapi kamu suka kan? Buktinya pipimu merah," goda Vano.
"Heh!!"
Sentakan kasar diterima Vano saat dengan paksa Jemita melepaskan diri dari pangkuannya. Ia menggelengkan kepala menghadapi tingkah merajuk Jemita, terlalu menggemaskan.
Di lain sisi Jemita yang mencoba menghindar sedang berusaha menyembunyikan rona kemerahan di pipinya, tak mau lebih lama tertangkap basah jika salah tingkah.
Kalimat manis memang kelemahan setiap wanita. Telah terbukti dan terverifikasi oleh Jemita, korban kekerdusan suaminya.
.
.
.
Léon notes :
Hola! It's double up!
Kuharap ini cukup untuk menebus rasa bersalahku yang tiba-tiba menghilang. Aku sangat terharu dengan perhatian dari kalian juga limpahan semangatnya. Thank you so much.
Jika kalian merasa lelah, berhenti sejenak. Luangkan waktu untuk diri sendiri dan lakukan apapun yang membuat kalian bahagia. Cause you guys deserve it.
Selamat liburan bagi kalian yang sedang menempuh pendidikan, dan untuk kalian yang sudah bekerja tak ada salahnya menyisipkan agenda liburan di akhir pekan.
Once again thank you
Kiss and hug <3
KAMU SEDANG MEMBACA
Astray || nomin ft jisung
FanfictionMenjauh dari gemerlap cahaya perkotaan menjadi impian Jemita setelah lama terjebak dalam lingkaran rutinitas yang mencekik. Lalu bagaimana jika kesempatan itu mendatanginya secara tiba-tiba? Berteman pemuda belasan tahun, Jemita memulai sebuah petua...