"Mang, pesen seblak level 5 tanpa sayur satu, baksonya satu, sama es jeruk dua, ya." Alam memanggil Mang Udin dan memesan makanan.
"Siapp, Den."
Mereka berdua duduk berhadapan, sembari menunggu pesanan datang mereka memainkan ponselnya. Hening suasananya.
Mereka berdua sudah seperti orang pacaran yang sedang berkencan dan makan di sebuah restoran. Bedanya ini di kantin, bukan restoran dan tidak ada momen-momen mesra seperti kebanyakan orang pacaran.
Sekitar 10 menit lamanya mereka menunggu pesanan, akhirnya datanglah Mang Udin dengan nampan di tangannya. Di atas nampan itu terdapat semangkok bakso dan seblak level 5 yang tidak dilengkapi dengan hijau-hijauan.
Caca memang anti dengan sayuran, dia tidak doyan yang namanya hijau-hijauan. Potongan seledri dan daun bawang saja dia tidak suka, jadi jika Caca memakan martabak telor yang dalemnya ada hijau-hijaunya, Caca harus repot-repot dulu untuk memisahkannya.
"Lo kenapa nggak suka sayur?" tanya Alam sambil menggeser mangkuk yang berisi seblak.
"Gak suka aja gitu," jawab Caca.
"Hem," balas Alam.
"Gue mau tanya deh," ucap Alam serius.
Mendengar itu Caca pikiran Caca menjadi kemana-mana. Mau tanya apakah Alam. Pasalnya ia dan Alam belum lama kenal.
"Tanya apa?" ucap Caca.
Alam masih fokus menuangkan kecap di mangkuknya. Sedangkan Caca serius menunggu jawaban dari Alam.
"Tegang banget lo, gue cuma mau nanya. Kok bisa ya cewek-cewek suka seblak?"
"Lo kira gue bakal tanya apaan?" Alam tertawa melihat ekspresi Caca yang serius.
Anjir, nih anak gue kira mau tanya apaan. Batin Caca.
"Biasa aja tuh, ya mana gue tau. Karena seblak enakkkkkk," jawab Caca.
Kemudian mereka berdua fokus melahap makanannya masing-masing. Tidak ada suara di antara mereka, hanya ada suara mangkuk yang berperang dengan sendok dan garpunya.
Seblak di mangkuk Caca sudah habis, begitu juga dengan bakso yang ada di mangkuk Alam.
Tiba-tiba Alam menyeruput es jeruk milik Caca, karena es jeruknya dia sudah habis.
"Es jeruk gueee!" teriak Caca.
Padahal sedotan itu bekas Caca, tapi Alam tidak merasa jijik sedikitpun.
Caca melotot memandang Alam yang wajahnya tidak ada rasa bersalah karena telah menghabiskan minuman Caca.
"Mang Udinn, es jeruk satu lagi dong," pinta Caca memanggil Mang Udin untuk membuatkan es jeruk lagi.
"Siappp," balas Mang Udin.
Caca kembali memainkan ponselnya. Ini masih jam pelajaran tapi mereka tetap bersantai.
Untung saja tidak ada yang melihat mereka berdua kecuali penjaga kantin. Seperti anak-anak OSIS ataupun guru-guru. Bayangkan saja jika ada guru yang melihat, auto diseret ke BK.
Saat tangan Caca mengambil es jeruk yang baru saja diletakkan oleh Mang Udin di meja tiba-tiba tangan Caca dan Alam secara tidak sengaja bertemu.
Alam yang sama-sama ingin mengambil es jeruk itu juga, karena dirinya masih kurang dengan es jeruk milik Caca yang sudah dihabiskannya.
"Bisa gak sih lo jangan ganggu gue! Lo tadi udah ngehabisin es gue, sekarang gue udah pesen lagi, lo juga mau habisin?" bentak Caca emosi.
Namun, reaksi Alam tetap biasa aja. Tidak merasa dirinya memiliki salah walau hanya secuil pun.
Mereka berdua akhirnya minum bareng satu gelas. Caca yang meminumnya duluan, habis itu dilanjut Alam meminum bekasnya Caca.
"Lo gak jijik apa minum bekas gue? 'Kan lo bisa pesen lagi." Caca yang ingin minum lagi pun tidak jadi karena itu bekasnya Alam.
"Ga," jawabnya singkat.
Meskipun Alam dingin, tapi Caca masih bisa mengajaknya untuk ngobrol.
"Bukannya lo anak pinter ya, anak ambis, tapi kok bisa si lo bolos jam pelajaran?" Caca akhirnya membuka pembicaraan.
"Lo tau gue bisa dibilang pinter sama anak-anak lain?" ucap Alam.
Dari sorot mata alam terlihat Alam yang ingin mengungkapkan isi hatinya yang sudah lama ia dipendam sendirian. Ia tidak tau harus cerita kepada siapa. Mungkin orang-orang melihatnya hidup Alam baik-baik saja. Udah pinter, anak orang kaya, fisiknya yang bisa dikatakan sempurna, mungkin orang-orang di luaran sana berpikiran jika Alam selalu hidup bahagia. Tidak ada kata sengsara dalam kamus hidupnya. Tidak, hidup Alam tidak seperti apa yang dibayangkan orang-orang.
Caca terus mengamati Alam yang tertunduk lesu setelah pertanyaan yang Caca lontarkan kepadanya tadi. Caca merasa ada yang salah kah dengan pertanyaannya tadi?
"Lam, jika pertanyaan gue tadi salah, mungkin pertanyaan gue menyinggung perasaan lo, gue minta maaf ya." Caca menatap Alam penuh harap.
"Lo gak salah, Ca."
"Gue sebenernya nggak pinter-pinter amat kayak yang mereka-mereka kira. Gue hanya ngejalanin apa yang nyokap gue perintah. Gue jadi gini karena keinginan Bunda gue, gue tuh pengen ngerasain kayak kalian-kalian yang bisa hidup bebas tanpa tekanan. Gue pengen bisa bolos kayak kalian, gue pengen jadi males-malesan sebentar saja, gue capek terus dituntut untuk menjadi orang paling pinter. Gue itu manusia, gue bukan robot. Gue sebagai anak punya hak untuk menentukan masa depan gue, gue gak suka diatur-atur gini. Gue capek, Ca. Capekkk."
Alam berbicara panjang lebar menceritakan semuanya apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Caca pun terkejut karena jarang banget mendengar Alam mau berbicara seperti ini, karena sebelumnya Alam sangat irit untuk bicara.
"Hemm," Caca berdehem.
Caca menepuk pundak Alam. "Ingat Lam, lo gak sendirian kayak gini, banyak juga di luaran sana anak-anak yang sama kayak lo, sama-sama tertekan. Bukan anaknya yang ambis, tapi orangtuanya yang penuh ambisus. Apapun keadaannya lo harus terus jalanin hidup lo. Turuti saja apa mau nyokap lo, nyokap lo hanya pengen liat anaknya jadi orang sukses. Bukan jadi orang berandalan yang hidupnya berantakan," ucap Caca.
"Deg! Barusan gue kasih nasihat ke diri gue sendiri. Ternyata gue tidak sendiri, ternyata Alam juga mengalami hal yang sama seperti gue, gue juga tertekan, Lam. Mungkin inikah penyebab sikapmu menjadi seperti ini, Alam? Oke, gue sekarang paham kok." Batin Caca mengerti.
Perasaan Alam saat ini sedikit lega setelah mendengar ucapan Caca tadi. Ia menjadi lebih bersyukur.
"Udah selesai 'kan makannya?" Alam berjalan ke Mang Udin dan mau membayar makanannya.
Caca menatap punggung Alam, dan air matanya ingin menetes begitu saja mengingat pengakuan Alam tadi.
Setelah Alam selesai membayar makanannya ia kembali mengampiri Caca. Dengan polosnya Caca memberikan uang selembar RP. 50.000 an pada Alam.
"Gak usah, gue traktir," ucap Alam.
"Ya, sudah." Caca menarik uluran tangannya yang menyodorkan uang pada Alam.
Kemudian Caca memasukan uang itu pada kantong sakunya lagi.
Alam melangkahkan kakinya. Caca yang sudah mengerti dengan sikap Alam tersebut ia pun berjalan mengikutinya di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Support System [Open PO]
Teen Fiction"Kamu bisa nggak jadi support system aja?" Definisi support system, Besti? Cantika Mahreen Almahyra atau biasa disapa Caca, dan Alam Ar-Rafky Putra, dua orang siswa yang bisa menjadi support system satu sama lain. Keduanya sama-sama korban broken...