27

18 16 1
                                    

Alam dan Caca semakin hari semakin dekat. Sama seperti kedekatan Mas doi dengan si mantan yang sepertinya akan balikan, CLBK.

Apalagi setelah insiden di cafe malam itu, saat Alam menyatakan perasaannya terhadap Caca.

Hari ini tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Seperti biasa, suasana kelas X MIPA 3 yang selalu rame. Ada saja ulah yang mereka perbuat.

Kebetulan saat ini adalah jam kosong, jadi tidak heran jika kelas ini sangat ramai.

"Ca, dipanggil wali kelas, sama Alam juga disuruh ke kantor sekarang," ujar ketua kelasnya.

"Sana gih buruan temuin di kantor."

"Kira-kira ada apa ya?" tanya Caca bingung.

"Ga tau lah, temuin aja dulu." Ketua kelas itu kembali ke tempat duduknya.

"Hemm." Caca membuang nafasnya kasar.

Kemudian ia berjalan menghampiri Alam yang duduk di bangku paling depan.

"Alammm, tadi ketua kelas bilang ke aku, kita dipanggil wali kelas katanya."

"Ngapain?" tanya Alam masih fokus dengan ponselnya.

"Entah." Caca mengedikkan bahunya.

"Udah ayok, udah ditunggu di kantor," ajak Caca. Sesekali sambil merapihkan rambut panjangnya yang terurai.

Dengan terpaksa Alam berdiri dari duduknya, dan menghentikan aktivitas main ponselnya. Ia berjalan keluar kelas bersama perempuan yang mengajaknya.

"Eh, Caaa. Lo mau kemana?" teriak Kayla melihat temannya pergi dengan seorang cowok.

Caca menengok ke sumber suara itu. "Kepo lu," ketus Caca.

"Dih." Kayla berdecih.

Alam menyejajarkan langkahnya, meski langkah Alam lebih panjang dari Caca karena tinggi Alam yang selisih jauh.

"Kira-kira Bu Wakel ngapain manggil kita berdua ya? Perasaan kita gak buat salah apa-apa," ucap Alam membuka pembicaraan.

Caca menghentikan langkahnya dan menatap Alam. "Gak tau lah," jawab Caca dengan nada cueknya.

Alam berdecak kesal mendengar jawaban dari Caca. "Hih!"

"Aku lagi males ngomong sama kamu, nanti akhir-akhirnya adu mulut, capek!" ujar Caca tegas.

"Hemm," dehem Alam.

"Tapi aku tetep sayang kok sama kamu hahah," batin Caca.

"Ya Allah Caca, gitu amat kamu. Tapi gapapa aku tetep sayang kok," batin Alam juga.

Jarak dari kelas menuju kantor tidaklah jauh, hanya butuh waktu beberapa menit saja untuk sampai di sana.

Alam mengetok pintu, masa iya ceweknya yang ngetok pintu.

Setelah diizinkan masuk, Alam dan Caca masuk bersamaan.

"Permisi Bu, katanya Ibu manggil saya sama Cantika ya?" ucap Alam ia tidak menyebut Caca tapi Cantika, karena nama asli Caca memang Cantika.

"Iya, silakan duduk, Nak," perintah Bu Wakel itu.

"Langsung saja ya, jadi Ibu manggil kalian karena Ibu ngerasa kalo kalian itu pantas dan mampu mengikuti olimpiade matematika kali ini. Kalian berdua sepertinya cocok untuk mewakili sekolah kita," ucap Bu Wakel menjelaskan tujuannya memanggil mereka.

Mendengar perkataan Bu Wakel, Alam dan Caca berpikir sejenak. Masa iya, mereka ditunjuk untuk mewakili sekolah, padahal 'kan banyak murid lain yang mungkin saja lebih pintar dari mereka berdua.

"Tapi  Bu —," ucapan Alam terpotong.

"Baik Bu, insyaallah saya siap." Jawaban Caca memotong ucapan Alam seketika.

Alam bergeming mendengarnya, ia tidak melanjutkan ucapannya.

"Alhamdulillah kalo begitu," sahut Ibu Wakel.

"Iya, Bu. Saya insyaallah juga siap." Alam sedikit ragu menjawabnya.

"Untuk info selanjutnya, nanti Ibu kabari lagi ya. Karena olimpiade juga masih lama," jelas Bu Wakel.

"Ya sudah, kalian bisa kembali ke kelas."

"Baik Bu, kami izin pamit," ucap Alam dengan ramah.

Mereka berdua berjalan dengan santun melewati beberapa guru yang berada dalam kantor.

Setelah di luat kantor Alam bertanya, "kenapa kamu langsung jawab siap gitu?"

"Ini kesempatan yang ga boleh disia-siakan, kayak ga tau aja aku kan koleksi sertifikat."

Alam tertawa. "Ya Allah Caca, sertifikat aja dijadiin koleksi wkwk."

"Hemm, gak usah ketawa! Aku sebenernya juga males ikut lomba mulu, udah bosen. Tapi kamu ga tau aja seberapa ambisnya Papaku," ucap Caca menarik nafasnya gusar.

"Hemm, begitu ya? Sama kok, aku juga," sahut Alam.

"Apanya yang sama?" tanya Caca.

"Sama, aku juga kayak koleksi sertifikat gitu di rumah. Banyak banget, gara-gara nurutin Bunda, Bunda juga ambis kayak Papamu. Maunya aku harus dapet juara kalo lomba, jadi ya gitu deh," jelas Alam.

Mereka berdua memiliki banyak kesamaan. Jodoh mungkin? Entah, masih menjadi rahasia Tuhan.

Mereka berdua berjalan sejajar sambil bincang-bincang seru tanpa adanya perdebatan seperti biasanya.

Kayla sudah stay di depan pintu kelas. "Hayoloh habis ngapain pergi berdua?"

"Apa sih lo, Kay? Lebay tauu," sahut Caca.

Alam hanya tertawa kecil melihat tingkah Kayla itu.

"Kalian udah jadin ya?" tanya Kayla lagi.

"Gak!" ketus Caca.

"Lam, Alam. Lo udah jadian 'kan sama Caca?" Karena Caca tidak mengaku, Kayla pun berinisiatif untuk bertanya langsung pada Alam.

"Enggak kok," jawab Alam.

Caca menertawakan Kayla, bisa-bisanya ia punya teman yang modelan gini. Udah kepoan, cerewet, kalo tanya sesuatu di ukir sampe ke dalam-dalamnya. Beuh, riweuh sekali punya temen seperti dia. Tapi Caca sangat bersyukur kok, ia sangat bangga punya temen yang perhatian gini.

"Masaa?" Kayla merasa dibohongi oleh mereka berdua.

Alam tidak mengacuhkannya berlagak sok cuek, padahal memang cuek si. Ia berjalan masuk ke dalam kelas. Begitu juga dengan Caca, tapi saat Caca masuk, Kayla mencekal tangannya.

"Jawab dulu!! Gak percaya gue kalo lo gak pacaran sama Alam." Kayla tidak melepaskan cekalannya.

"Sakit Kaylaa, udah ah gue mau masuk!" tandas Caca, ia berusaha melepaskan tangan Kayla yang mencekal tangannya kuat.

"Apalagi sih KAYLAA, 'kan Alam juga udah bilang, kalo kita itu gak pacaran! GAK PACARAN TITIK!" ucap Caca memperjelas.

"Gak usah ngegas juga kali!" Kayla pun melepas cekalannya, membiarkan Caca masuk.

"Huft, akhirnya gue bisa bebas dari Kayla hihi," lirih Caca tersenyum.

Ia tersenyum mengingat saat Alam menyatakan perasaannya. Malam itu benar-benar mengesankan. Meski tidak ada romantis-romantisnya, tapi itu sudah cukup untuk Alam yang notabennya cowok cuek. Untuk mengatakan itu saja, mungkin butuh usaha keras bagi Alam. Butuh keberanian yang ekstra.

Suasana kelas ini masih sama, jam kosong belum berakhir. Entah, kemana guru yang seharusnya mengajar saat ini. Tidak ada tugas atau pesan apa dari guru itu, tapi bagi anak-anak ini adalah surga duniawi. Menikmati jam kosong tanpa adanya titipan tugas atau perintah belajar sendiri dari gurunya itu.

Caca memilih untuk melanjutkan membaca novelnya. Ia sesekali memandangi Alam, karena Caca duduk di belakang Alam, hanya dibatasi berapa bangku saja. Alam duduk di bangku paling depan, sedangkan Caca duduk di bangku urutan nomor 3.

Memandang Alam yang fokus bermain ponselnya, entah sedang berkutat dengan aplikasi apa dia. Suara berisik nan ricuh di kelas mungkin tidak terdengar oleh telinga Alam.

Support System [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang