Sebab apa Sendy pagi ini mengajak anaknya untuk sarapan bareng, tidak tau-tau nya ia sempat sarapan di rumah.
"Ca, sini sarapan dulu sama Papa."
Caca baru saja keluar dari kamarnya dan berjalan melalui tangga untuk menuju meja makannya.
Caca langsung bergeming melihat Papanya yang menunggunya di meja makan. "Hah? Papa tumben masih di rumah? Biasanya aja udah pergi dari subuh, malah Caca gak pernah liat Papa di meja makan kalo pagi-pagi, apalagi setelah Papa pisah sama Mama, gak pernah tuh liat Papa di rumah," ungkap Caca. Tatapannya sendu menyebut Mamanya.
"Hemm." Balasan singkat dari Papanya. Ia bingung mau menjawabnya apa, memang benar apa yang anaknya katakan. Setelah Sendy bercerai, ia menjadi jarang di rumah, berangkat petang, pulang petang.
Rasanya baru kali ini Sendy sarapan di rumah berdua bersama anak perempuannya setelah keluarganya terpisahkan.
Caca ikut duduk di sebelah Papanya, tempat duduk yang biasa dipakai Mamanya saat mereka belum berpisah seperti sekarang ini.
Caca sangat merindukan suasana seperti ini, suasana hangat dalam keluarganya. Pagi-pagi selalu ada Mama nya yang menyambut dan menyiapkan sarapan. Suasana hangat saat makan bersama-sama, ada Papa, Mama, Caca, dan adiknya.
Suasana yang sekarang mustahil rasanya untuk terjadi kembali. Aahh, sudah lah, rasanya tidak mungkin suasana dulu akan terulang lagi.
Caca mencoba berpikir realistis, Papanya saja masih melanjutkan hubungannya dengan wanita jalang itu, pastinya Mama nggak bakalan mau memaafkan Papa.
Orang ketiga memang meresahkan, ya. Tapi, mau gimana lagi? Orang ketiga sudah datang, itu artinya tinggal siapakan saja tanggal perpisahan.
Hening. Tidak ada suara di antara mereka berdua. Semenjak perpecahan kelurganya, Caca menjadi pribadi yang pendiam di rumah. Ia memilih diam daripada harus ngobrol-ngobrol atau sekedar bertanya dengan Papanya.
Akhirnya Sendy membuka pembicaraan. "Ca,?" panggil Sendy.
Ia menatapnya lekat. "Gimana sekolah kamu, Nak? Aman-aman saja?" tanya Sendy. Lagi-lagi ia menanyakan hal sekolah, yang pastinya berhubungan dengan prestasi Caca di sekolah, apakah ada perkembangan atau malah menurun.
Kenapa topik pembicaraan Papanya itu tidak pernah ganti, tidak bosan kah wahai Ayah? Sebagai anak saja sudah bosan membicarakan hal itu.
Mengapa ambisi anda tinggi? Kenapa tidak anda saja yang bersekolah. Mungkin jika anda yang berada di posisi anaknya, anda akan menjadi siswa yang sangat-sangat berprestasi.
Tidak perlu orangtuanya menyuruhnya untuk menjadi siswa pintar, pasti anda sudah pintar. Sampai-sampai orang bingung mau memujinya seperti apa, bingung karena prestasinya yang sangat luar biasa itu. Bingung pujian apa yang harus dilontarkannya, pujian yang pantas dan cocok untuknya.
"Hemm." Nafsu makan Caca menjadi berkurang.
Ia menyingkirkan piringnya yang terisi roti dengan diolesi selai kesukaannya. Tapi, dia sudah tidak ada nafsu untuk melanjutkan sarapannya.
"Biasa aja," jawab Caca malas.
Orang tua yang satu ini memang tidak peka atau bagaimana, ia tidak bisa melihat anaknya yang tiba-tiba murung saat ditanya tentang sekolah.
Tidak ada topik yang lebih bagus untuk dibahas? Ini masih pagi, tapi kenapa anda suka menurunkan mood orang sepagi ini? Capekk!
Caca meminum susunya. Ia tidak menggubris pertanyaan Papanya.
"Caca di sekolah nggak ada lomba-lomba olimpiade gitu?" tanya Sendy, ia beralih bertanya tentang perlombaan. Pasalnya Caca belum pernah menunjukkan sertifikat lomba yang ia ikuti selama masuk SMA.
"Hemm," dehem Caca. "Ada sih Pah, olimpiade matematika, itu masih 1 bulanan lagi kayaknya."
"Anak Papa ikut 'kan?" tanya Sendy.
"Ikut Pah, tadi di sekolahan Caca dipanggil Bu Wakel katanya Caca suruh maikilin SMA Caca untuk ikut olimpiade kali ini," kata Caca.
"Wah, bagus dong. Semangat anak Papa, pokoknya harus dapet juara oke? Kalo dapet juara 1 nanti apa aja yang Caca mau, bakalan Papa turutin deh. Caca pengen apa? Motor baru? Papa bisa beliin. Handphone baru, iPhone? Papa juga bisa beliin. Laptop baru? Atau apa? Sebut saja, yang terpenting anak Papa ini dapet juara oke."
Mendengar antusias Papanya, Caca tidak heran. Untung saja, Caca tadi di sekolahan meng-iyakan ucapannya untuk ikut olimpiade matematika ini.
"Itu juga ikut loh, Pah. Cowok yang dulu pernah kecelakaan sama Caca, Alam, Pah," sambung Caca. Saat mengingat nama Alam, wajah Caca berubah menjadi ceria.
"Wahh, itu anak pasti pinter juga ya?" Sendy sangat antusias menanggapinya.
"Ya begitu lah, pinter."
"Tapi pokoknya anak Papa ga boleh kalah dari dia oke?" ucap Sendy sedikit memaksa.
"Hem." Lagi-lagi Caca hanya menjawab dengan deheman.
Sendy belum juga selesai menyantap sarapannya. Sedangkan Caca, ia sudah tidak ada nafsu sedikitpun untuk melanjutkan sarapannya. Ia duduk tenang mendengarkan segala ucapan dan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Papanya.
"Ca, itu siapa namanya? Alam, iya Alam. Papa lupa mulu, itu satu kelas sama kamu?"
"Iya, Pa," jawab Caca.
"Papa sreg sama orangnya, kalo misal kalian saling suka-."
Caca tiba-tiba tersedak saat meneguk susunya dalam gelas.
"Ati-ati dong, Sayang."
Sendy melanjutkan pembicaraannya.
"Kalo misal kalian saling suka, misal ya ini, misal. Papa setuju-setuju aja sih, kelihatannya dia ajak yang baik, terus pinter, kayaknya pantas buat kamu. Setara juga denganmu, Ca," kata Sendy.
Maksud setara disini itu, setara derajatnya. Sama-sama murid pintar, berprestasi, dan pasti berasal dari keturunan orang terpandang, orang kaya.
Caca menggelengkan kepalanya. "Ya Allah Papa, 'kan kami mau fokus sama sekolah, Caca 'kan dulu pas SMP ga boleh pacaran dulu sama Papa, dulu aja waktu Caca pacaran, Caca gak pernah berani bilang sama Papa hehe," ucap Caca berkata jujur.
Sendy tidak terkejut mendengar pengakuan Caca yang dulu semasa SMP, ia berpacaran diam-diam.
"Tapikan sekarang anak Papa ini udah gede, udah bisa jaga diri, udah bisa bagi waktu," timpal Sendy.
Sepertinya ia sangat mendukung hubungan Caca dengan Alam.
"Entah kenapa, Papa merasa cocok dengan laki-laki itu, sekali-kali kamu ajak dia main ke sini dong, Ca," pinta Sendy.
"Lah, ngapain juga Caca harus repot-repot ajak Alam buat main disini."
"Ya Papa mau mengenalnya lebih dekat aja," tutur Sendy membuat Caca terkejut.
Apa makna dari kalimat 'mengenalnya lebih dekat'?
Dalam hati, Caca sangat senang mendengarnya. Sepertinya, jika memang jodoh, Caca dan Alam pasti dengan mudah mendapat restu dari orang tuanya.
"Udah ah, Caca mau berangkat sekolah. Papa mau berangkat ke kantor jam berapa?"
Caca beranjak dari duduknya dan pamitan dengan Papanya. Ia menyalami dan mencium punggung tangan milik Papanya.
"Papa juga mau berangkat ini," ucapnya.
"Ati-ati ya, Sayang. Baik-baik di sekolah, jangan lupa rajin belajar! Biar jadi anak pintar oke?"
"Okey Papa, siapp." Caca melambaikan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Support System [Open PO]
Teen Fiction"Kamu bisa nggak jadi support system aja?" Definisi support system, Besti? Cantika Mahreen Almahyra atau biasa disapa Caca, dan Alam Ar-Rafky Putra, dua orang siswa yang bisa menjadi support system satu sama lain. Keduanya sama-sama korban broken...