Tidak terasa 1 bulan telah berlalu. Kedekatan Alam dan Caca semakin lengket. Melalui kegiatan-kegiatan sekolah selalu bersama, mengikuti Olimpiade matematika bersama, selama ini mereka tidak menjalin hubungan pacaran seperti kebanyakan anak muda di zaman sekarang ini.
Caca dan Alam hanya sebatas teman, tapi mereka sudah mengetahui perasaannya satu sama lain. Caca sebenarnya tidak masalah dengan status yang ia jalankan sekarang, yang terpenting dia bisa selalu bersama. Daripada menyandang status pacar, tapi hatinya bukan untuknya. Memiliki status yang jelas, tapi tidak dengan hubungan di dalamnya, hanya status!
Alam memang memutuskan untuk tidak berpacaran dulu sebelum halal. Bunda Alam juga kelihatannya sudah menyayangi Caca seperti anaknya sendiri, pasti beliau merestuinya, begitu juga sebaliknya. Papa Caca juga sudah merestui mereka berdua. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja untuk melanjutkan hubungan ke jenjang serius. Tapi ... sayangnya, Caca belum mengetahui siapa sebenarnya orang tua Alam.
Tiga hari yang lalu, Alam dan Caca baru saja mengikuti Olimpiade matematika, mereka dipilih untuk mewakili sekolahnya. Alhamdulillah, berkat kerja keras dan usahanya, Caca dan Alam berhasil merebut juara. Caca berhasil menyabet medali perak dengan kategori juara 2. Sedangkan Alam, ia berhasil menyabet medali perunggu sebagai kategori juara 3.
Caca dan Alam berhasil mengharumkan nama SMA nya. Memang tidak salah pilih, Bu Wakel memilih Caca dan Alam sebagai peserta Olimpiade matematika kali ini.
Mengetahui hal itu, Papa Caca sedikit kecewa. Mengapa anaknya itu tidak mendapat medali emas saja? Kenapa harus perak yang ia dapatkan?
Dasar manusia, tidak pernah puas!
Ambisi Papanya memang terlalu berlebihan. Kasihan Caca, otaknya terus dipaksa untuk berpikir keras.
Begitu juga dengan reaksi Bunda Alam saat mengetahui bahwa anaknya hanya mendapat medali perunggu, kenapa harus medali perunggu yang anaknya dapatkan? Setidaknya bisa mendapat perak itu akan lebih baik, seperti itulah yang ada di pikiran Bundanya.
Hemm, manusia oh manusia. Memang 'tak pernah puas.
Sebagai seorang anak memang sudah menjadi keharusan untuk menuruti perintah orangtuanya. Tapi, apakah ambisi orangtuanya yang berlebihan seperti ini juga harus ia turutin terus menerus?
Sebagai seorang anak boleh nggak si ngeluh capekk gitu? Punya hak untuk ngeluh?
"Aku beruntung dilahirkan dari keluarga seperti ini, aku beruntung memiliki Papa seperti dia, aku beruntung bisa mengenal sosok laki-laki seperti Alam, aku juga beruntung bisa mengenal sosok Ibu yang sangat menyayangiku, padahal bukan Ibu kandungku," batin Caca. Ia mengingat ke tiga orang yang sangat berjasa dalam hidupnya selain Mama kandungnya sendiri. Orang yang selama ini dekat dengannya, orang yang selama ini menemaninya.
Caca merasa sangat bersyukur bisa mengenal Alam, sosok laki-laki yang banyak diidam-idamkan para perempuan. Laki-laki yang selama ini selalu mensupport dirinya dalam menuruti semua ambisi Papanya. Laki-laki yang selalu menguatkannya saat dirinya merasa down.
Alam pun merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan gadis seperti Caca. Gadis menyebalkan yang pernah ia temui dalam hidupnya.
Caca dan Alam selama ini, mereka saling support satu sama lain. Alam adalah support system bagi Caca, dan Caca adalah support system bagi Alam.
Sepertinya memiliki support system itu akan terasa lebih menyenangkan daripada memiliki pacar yang membuatnya terkekang.
Hari ini, Alam mengajak Caca pergi bermain untuk menyegarkan pikirannya yang dari kemaren dipaksa untuk terus berfikir. Semacam healing setelah mengikuti Olimpiade matematika yang cukup menguras pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Support System [Open PO]
Teen Fiction"Kamu bisa nggak jadi support system aja?" Definisi support system, Besti? Cantika Mahreen Almahyra atau biasa disapa Caca, dan Alam Ar-Rafky Putra, dua orang siswa yang bisa menjadi support system satu sama lain. Keduanya sama-sama korban broken...