26

23 15 2
                                    

Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam, Caca baru saja pulang. Padahal, besok pagi ia harus bangun pagi-pagi karena berangkat sekolah.

Ia berjalan masuk sambil tersenyum mengingat kejadian tadi di cafe itu. Ia 'tak menyangka, Alam juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya.

Setelah sekian lama, ia menjomblo akhirnya ia menemukan kembali orang yang diharapkannya. Bukan, tapi mereka tidak pacaran, itu berarti Caca masih menyandang gelar jomblo. Sekian purna ia memutuskan untuk sendiri, dan fokus dengan sekolahnya, ia dipertemukan dengan orang yang satu tujuan. Satu tujuan, satu hati.

Kehidupan Caca dulu semasa pacaran sangat berbeda dengan kehidupan Caca saat ini yang menyandarkan status jomblo. Dulu, ia sering bergonta-ganti pacar, dan lama kelamaan Caca merasa bosan menjalin hubungan, apalagi jika pernah mengalami patah hati berkepanjangan. Akhirnya Caca memilih jomblo, meskipun begitu, masih banyak cowok-cowok yang ngejar-ngejar Caca. Tapi, Caca menolaknya mentah-mentah alasan dirinya males pacaran. Caca memang belum pernah mencintai pacarnya tulus, ia hanya berusaha mencintai pacarnya, tapi setelah berhasil mencintainya, Caca malah ditinggalkan.

Sudah, Caca sudah merasa capek dengan fase ini. Ketika ia 'tak menyukai pacarnya, ia berusaha menyukainya, setelah itu malah sang pacar berpindah ke lain hati.

Hubungan Caca memang belum pernah ada yang berhasil, ia selalu gagal dalam hal ini. Sulit sekali baginya menemukan orang yang sama-sama suka, kalo nggak bertepuk sebelah tangan ya pasti hanya modal belas kasihan saja cowok itu berhasil menjadi pacar Caca.

Sekarang? Ia akhirnya bisa bertemu dengan cowok yang sama-sama memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Apakah itu nyata? Atau hanya ilusi semata.

Caca berjalan menyusuri tangga menuju kamarnya. Sepi, rumah yang ia tempati saat ini seperti 'tak berpenghuni. Papahnya tentu belum pulang karena masih ada lemburan. Hanya ada Bibi yang selalu menemaninya, sekaligus menjaga rumahnya.

Bibi melihat Nona besarnya senyum-senyum. "Ada apa Neng Caca dari tadi senyum-senyum sendiri?" Bibi seolah-olah bertanya tidak tau, padahal Bibi sudah mengira bahwa majikan mudanya itu pasti sedang kasmaran.

"Heii Bibi." Caca baru menyadari kehadiran Bibi saat ia bertanya, berarti dari tadi Bibinya menyaksikan ia yang senyum sendiri macam orang 'tak waras.

"Nggak tau ah, Caca maluu Bi." Caca berlari cepat menuju kamarnya.

Bibi hanya tertawa. "Ada-ada aja si Neng."

Pintu kamarnya langsung ia tutup rapat-rapat. Memastikan tidak ada orang lagi yang mengganggunya untuk menghalu cowok bernama Alam Ar-Rafky Putra itu. Cowok yang berhasil meluluhkan hatinya, cowok yang disukai Caca tulus.

"Aaaa," teriak Caca. Matanya ia tutup dengan kedua tangannya.

"Gue gak nyangka, tadi Alam beneran ngucapin gitu, aaa seneng bangettt."

Caca menepuk-nepuk pipinya 'tak percaya. "Ini gue gak lagi mimpi 'kan? Ahh sepertinya ini beneran, nyatanya pipi gue merasakan sakit."

Caca jingkrak-jingkrak di atas kasurnya. Sangking senengnya, meski ia 'tak pacaran tapi setidaknya ia tau perasan Alam untuknya.

"Alam I Love You!" ujar Caca.

Aneh memang, kenapa tidak bilang seperti itu saat ada Alam? Lah, ini di kamarnya tidak ada Alam, dia tidak bisa mendengar ucapannya tadi.

Untung saja Papahnya malam ini tidak pulang cepet. Jadi, ia bebas begadang sampai jam sebelas.

Caca melamun sebentar, menatap benda-benda di kamarnya yang berjejer. Benda-benda yang dulu dikasih oleh mantan-mantannya. Ia memang masih menyimpannya, sebagai kenangan katanya. Caca tidak pernah membenci mantannya, maka dari itu, ia masih setia menjaga pemberian dari mantan kekasihnya dulu.

Lamunan itu berhasil buyar saat terdengar suara notif telefon dari handphone miliknya.

Ia mencari-cari sumber bunyi itu, ia mencari handphone-nya yang entah terselip dimana. Tapi suara itu 'tak jauh darinya.

Ternyata ada dibawah selimut, handphonenya tertutup selimut. Ia tadi meletakkan handphonenya sembarangan karena sangking senangnya.

Caca pun mengangkat panggilan telefon itu.

"Waalaikumsalam." Caca menjawab salam dari si penelfon itu.

Caca ingin berteriak saat ini juga, tapi ia ingat waktu. Apa jadinya jika ia berteriak malam-malam.

Nada bicara Caca menjadi tegang, ia sudah tidak bisa seperti biasanya yang ketus. Setelah mengetahui perasaannya satu sama lain. Mereka jadi terlihat canggung.

"Kamu udah sampai rumah? Aman 'kan?" tanya orang itu di sebrang sana.

Karena ia tadi meminta untuk mengantarnya saja, tapi Caca menolaknya. Iya, orang yang menelfonnya itu adalah Alam.

"Aman kok, kamu sendiri juga aman-aman saja 'kan?" tanya Caca balik.

"Alhamdulillah," jawabnya.

"Udah, gih kamu tidur. Bobo yang nyenyak cantik."

"Eh," ucap Caca merasa kikuk dipuji seperti itu. Apalagi dipuji oleh orang yang dia suka.

"Bobo, Dek. Besok sekolah, nanti ngantuk," perintah Alam.

"Dak dek," ketus Caca.

"Lah, apa dong? Kan bener lebih tua aku sedikit." Alam membela diri.

"Iya udah iya deh, biar seneng," balas Caca.

"Udah sana bobo, matikan telfonnya," perintah Alam lagi.

Ia ingin Caca yang memutuskan telfonnya.

"Heh, kamu lah yang matiin duluan telfonnya. 'Kan yang telfon duluan kamu." Caca kekeh 'tak mau mematikan sambungan telfonnya.

"Kamu! Cepet matiin, buruan bobo. Udah malem!" tegas Alam.

"Lah, maksa?"

Mereka mulai kembali beradu mulut seperti biasanya, lama-lama mereka tidak canggung dan seperti biasanya saat sebelum Alam mengutarakan perasaannya yang membuat Caca jadi lebih sedikit berbeda.

Caca memilih untuk merebahkan tubuhnya di kasur. Sambungan telfonnya belum terputus. Mereka hanya diam 'tak bersuara.

Saat ini Caca sebenarnya sangat ngantuk, karena tidak biasanya ia begadang sampai jam segini.

Tapi dia tetap memaksakan untuk membuka matanya, baru kali ini ia merasakan bisa teflon dengan Alam. Sebelum-sebelumnya mereka hanya lewat pesan WhatsApp saja.

Hening.

Caca yang tidak bisa menahan rasa kantuknya, ia akhirnya tertidur dalam keadaan telfon yang masih aktif.

"Ini orang tidur apa ya? Hening, nggak ada suara ocehan dia lagi," pikir Alam. Ia seolah sedang bertelfon dengan makhluk gaib saja.

"Kacaaa," panggil Alam memulai dengan panggilan kesayangannya.

1 detik ... 2 detik ....

Tetap hening, tidak ada jawaban dari Caca.

"Caa," panggil Alam lagi.

"Yuhuu."

"Caca."

Sudah lah, sepertinya ini anak udah tertidur. Alam memutuskan untuk tidur, daripada menunggu jawaban dari anak ini yang entah kapan akan menjawabnya.

Alam menaruh handphonenya di meja dekat ranjangnya.  Kemudian ia merebahkan tubuhnya pelan.

Dengan keadaan masih bertelfonan, Alam berniat untuk tidur dan idak mematikan sambungan telfon tadi.

Alam berusaha memejamkan matanya, tapi nihil. Ia tetap belum bisa tertidur, masih kepikiran dengan Caca.

Jujur saja, malam ini adalah malam yang berkesan bagi Alam. Malam dimana ia berhasil menyampaikan perasaannya, setelah ia pendam mati-matian.

Support System [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang