Tak Semuanya Sama

17 10 1
                                    

Story by: Ainnurayunanda

"Ry, kamu beruntung banget ya bisa cantik. Banyak orang yang menyukaimu, sedangkan aku tidak. Boro-boro orang lain, keluargaku sendiri juga malu punya anggota keluarga sepertiku. Cuma kamu doang ya mau menerimaku dengan tulus, Ry." Berlin duduk menunduk di atas kursi panjang itu.

Aku menghampirinya dan ikut duduk di samping Berlin dengan tangan kananku yang merangkul pundaknya. Aku tidak pernah melihat Berlin serapuh dan sesedih ini, bahkan hanya karena masalah sepele seperti ini. Aku rasa ada masalah serius yang telah menimpanya berkaitan dengan hal kecantikan atau mungkin fisik.

"Kamu kenapa, Berlin?" tanyaku dengan sedikit lembut. Dia menangis dengan kedua tangannya yang menutupi mukanya.

"A-aku eng-gak berguna banget, ya? A-aku malu-malu-in terus ya jadi te-temanmu? AKU INI APA RYY?"

Aku mencoba memahami sedikit demi sedikit yang dilontarkan Berlin di tengah isak-isak tangisnya.

"Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti."

"Iya, kamu lebih sempurna ketimbang aku. Kamu lebih cantik, kamu lebih kalem jadi cewek, kamu lebih kurus Ry. Sedangkan aku? Aku jelek, tomboy, dan gendut seperti ini. Banyak banget yang gak suka denganku, dan aku tau Ry. Tapi aku juga nggak mau seperti ini, aku juga pengen seperti kamu dan cewek yang lainnya."

"Aku nggak pernah liat sahabat Riry ngomong seperti ini. Berlin yang Riry kenal tidak akan menangis cuma gara-gara masalah ini, bahkan kalau dipikir-pikir ini bukan masalah yang serius. Biasanya sahabat Riry itu orangnya cuek dan nggak suka banding-bandingin orang." Aku mencoba menyadarkan Berlin bahwa masalah ini tidak perlu diseriusin.

"KAMU NGGAK PERNAH JADI AKU, RY. MAKANYA KAMU NGGAK TAU RASANYA JADI AKU YANG SELALU DIBANDING-BANDINGKAN DENGAN ORANG LAIN. BAHKAN TIDAK JARANG DIJADIIN BAHAN CANDAAN ORANG HANYA KARENA AKU INI JELEK, GENDUT. AKU CAPEK RY GINI TERUS."

"Tenang Lin, tenang. Aku tau kok perasaanmu sekarang."

"APA? GIMANA? KAMU NGGAK AKAN TAU, KARENA KAMU BUKAN A-"

"Karena aku bukan kamu! Iya? Itu 'kan yang akan kamu katakan, bahkan sehari ini sudah sepuluh kali lho kamu ngomong seperti itu, memang apa salahku?"

Berlin diam kemudian menatapku dengan wajah sendu.

"Aku mengerti, sangat mengerti persaanmu. Karena aku sahabatmu dari dulu, jangan lupakan itu Berlin!"

Berlin menyandarkan kepalanya di bahuku, dengan salah satu tangannya kupegang untuk menguatkannya.

"Aku tau Lin ... aku tau. Pasti kamu habis di ejek lagi 'kan sama mereka?" Berlin mengangguk.

"Rekan kerjamu itu?"

"Bukan hanya itu. Sekarang keluargaku juga, bahkan ibuku sendiri nyuruh aku diet agar tidak malu-maluin. Aku nggak pernah berfikir gitu Ry. Kamu tau 'kan kalau aku nggak suka diatur-atur. Aku awalnya nyaman dengan diriku yang seperti ini, tapi setelah mendengar ucapan ibu seperti itu aku sakit hati Ry ... sakit hati. Aku merasa cuma jadi beban dia, karena aku selalu malu-maluin Ry. Aku nggak cantik dan aku gendut."

"Kenapa nggak coba saran ibumu? Kalau dipikir-pikir itu ada baiknya juga, Lin."

"KAMU BERPIHAK KE MEREKA JUGA? SECARA TIDAK LANGSUNG KAMU JUGA MALU MEMPUNYAI SAHABAT SEPERTIKU, RY? AKU NGGAK PERNAH BERFIKIR SEPERTI ITU. AKU KECEWA DENGANMU RY!" Berlin beranjak pergi dariku. Aku mencoba menggapai tangannya dan menariknya sebelum dia benar-benar pergi.

"Lin, tunggu! Dengarkan aku dulu! Okey! Kamu gak harus diet kok, gak harus diet! Okey? Jangan pergi dulu, aku gak malu punya sahabat sepertimu."

"Why?"

"Kamu unik, makanya aku suka dan nggak malu punya sahabat sepertimu." Berlin bingung dan dia tidak jadi pergi. Dia duduk lagi di sebelahku.

Untung, dia tidak marah lagi, batinku.

"Kok unik sih? Unik karena aku gendut ya, jadi kamu ngira aku kayak badut gitu?" tanya Berlin.

"Bukan, tapi kayak bunga Rafflesia Arnoldii." Aku tersenyum.

"Maksud kamu bunga bangkai? Aku bau gitu? Aku jelek? Aku gak menarik?" Dia cemberut.

Aku sebenarnya menahan ketawa saat ini, karena melihat perubahan tingkah lakunya yang semula arrogant menjadi seperti anak kecil yang merengek setelah mengatainya seperti bunga bangkai.

"Hei, bukan itu maksudku. Coba kamu lihat dari sudut pandang lain! Bunga Rafflesia Arnoldii itu nggak melulu jelek, tapi menurutku itu bunga yang unik, dan sangat berharga. Seperti dirimu."

"Maksudnya?"

"Gini ya aku jelasin, dari bentuknya aja bunga itu sangat besar, bahkan merupakan bunga terbesar di dunia, berbeda dengan bunga-bunga yang lainnya, itu juga termasuk unik. Bunga Rafflesia Arnoldii tidak cantik seperti bunga-bunga yang lainnya, bahkan dia mengerluarkan bau busuk. Selain itu bunga Rafflesia Arnoldii merupakan tumbuhan parasit. Bunga Rafflesia Arnoldii dikatakan bunga yang unik karena hanya berupa bunga mekar tanpa daun, batang, dan akar. Unik 'kan?" Berlin mengangguk.

"Bukan hanya karena keunikannya tersebut, ternyata bunga itu merupakan bunga yang langka dan banyak dicari oleh orang-orang. Karena langka, akhirnya bunga itu dilindungi. Kamu tau 'kan kalau sesuatu yang dilindungi itu pasti sangat penting dan berharga? Nah, kamu juga seperti itu, kamu sangat berharga. Iya sih bunga Rafflesia Arnoldii memang bau busuk, tapi dia berharga. Kamu juga, walaupun kamu gendut, tapi kamu sangat berharga. Coba liat dari sudut pandang yang lain, jangan lihat dari kekuranganmu saja, kamu 'kan pintar. Jadi kamu bisa manfaatin kepintaranmu itu untuk melawan semua yang telah mengejekmu, dan buktikan kalau kamu bisa lebih baik daripada dia. Okey?"

Berlin tersenyum dan mengangguk.

"Okey, aku janji tidak akan gini lagi. Kamu memang sahabat terbaikku, Ry. Makasih ya untuk semuanya." Berlin memelukku.

"Ingat! Insecure boleh, tapi jangan berlebihan."

"Ashiaaap Ry."

"By the way, bunga bangkai yang kamu maksud itu memang cuma Rafflesia Arnoldii saja ya? Bukannya banyak jenisnya, ada Rafflesia Patma, dan lain-lain?" tanya Berlin.

Tuhkan, malah dia ngejebakku. Mana kutahu kalau ada jenis-jenisnya. Yang aku tau ya cuma itu doang.

"Ya aku tau, tapi aku ngambilnya yang namanya Rafflesia Arnoldii karena lebih enak aja ngomongnya. Toh, sama-sama bunga bangkainya," alibiku.

"Oh gitu, okey dah kalau gitu." Berlin mengangguk.

Untunglah dia percaya, hehe.

***

Flower Series ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang