Story by: Polaris183
Dia tinggalkan saya tanpa sepatah kata pisah. Kepergiannya yang tiba-tiba membuat bahu saya kian merunduk tertimpa beban duka. Hujan rintik petang itu seakan turut menangisi kepergiannya. Mengantar jiwa rusak kekasih hati saya menuju peristirahatan terakhirnya.
Air mata saya kembali meluruh begitu senyum tengilnya terbayang di pelupuk mata. Lelaki jangkung di usia akhir dua puluhan yang menarik hati pada pandangan pertama. Segala kenangan tentangnya terputar dengan mosi lambat penuhi lorong-lorong pikir yang membuat saya tersenyum getir, sebab belum-belum, saya sudah merindu sebegininya.
Pandangan saya kian memburam begitu peti mati sudah sempurna tertutup tanah, ditaburi bunga aneka rupa, ditangisi orang-orang yang mengaku keluarga. Payung yang setia menaungi kepala saya jatuh begitu saja sebab jemari yang gemetar tak sanggup menahan luka.
Surat yang ditinggalkannya saya remas hingga nyaris hancur tak terbaca. Begitu pula batang lili putih yang terbercaki merah yang kini sudah patah tak keruan bentuknya. Itu, adalah dua benda yang tertinggal dalam genggamannya di penghujung senja, ketika mata saya temukan dia yang sudah terbujur kaku tak bernyawa.
Mencintainya memanglah tak pernah mudah. Sejak awal pertemuan kami jauh dari kata indah. Salah satu jembatan di tengah kota yang menjadi saksinya. Kaki tremor saya tak jadi melangkah malam itu. Bukan menjejak jalan, melainkan menjejak udara kosong yang akan membawa saya nikmati gelegak luapan air di bawah sana.
"Aah ... aku tak akan lompat kalau jadi kau," celetuknya kala itu, yang berhasil membuat saya kembali jejak baja selebar lima puluh senti yang menjadi pembatas jembatan. Tengah malam, di awal bulan Desember yang sedang dingin-dinginnya. Membuat saya urungkan niat menuju nirwana.
Dia duduk santai beberapa meter di samping kiri saya. Asyik mengupas kuaci sambil sesekali sesap sekaleng minuman bersoda. Saya benar-benar tak sadar akan hadirnya. Entah sebab pikiran sudah terlalu gelap ingin akhiri riwayat, atau dia yang memang baru datang, saya tak tahu. Namun, dilihat dari kulit biji bunga matahari yang sudah menumpuk di depannya, jelas tak semenit-dua menit dia duduk di sana. Diam saja, memperhatikan saya yang dengan tubuh gemetar setengah basah dihujani gerimis akhir tahun bolak-balik hela napas panjang sembari yakinkan diri sebelum melompat.
"A-anda ... siapa? Sejak kapan di s-s-sana?!" Saya bertanya terbata sembari menunjuk-nunjuk lancang.
Dia cuma balas terkekeh ringan, menjawab sambil tunjuk diri dan pasang ekspresi jenaka. Seakan saya baru saja sajikan lawakan sereceh koin di hadapannya. "Aku? Aku di sini sejak tadi. Kau saja yang tak sadar!"
Saya kutuk diri. Untuk apa pula saya peduli pada orang asing yang jelas-jelas diam saja melihat orang mau bunuh diri. Bukan berharap diselamatkan pula, tetapi ya ... kesal saja lah, intinya.
Kembali saya tarik napas panjang, angin kencang yang berembus bersama rintik gerimis meriapkan rambut panjang saya yang setengah basah itu. Dada saya berdenyut ngilu mengingat kejadian dua hari lalu yang terasa pilu. Altar indah berhias mawar merah menjadi saksi hancurnya saya, yang ditinggal begitu saja sebelum sempat ucap sumpah nikah. Sandaran saya selama tiga tahun ini memilih pergi dengan lain hati, meninggalkan saya yang benar-benar merasa terbodohi.
Kembali saya huyungkan tubuh ke depan, nyaris loncat kalau saja lagi-lagi suara pria berambut cepak itu tak menginterupsi. "Apa enaknya mati tenggelam? Sesak, tak kunjung mati pula. Tak menjamin juga kau langsung masuk neraka."
Perkataannya bikin hati saya yang tadinya terpenuhi sesak karena sedih, terbakar amarah mendengar perkataan yang seperti asal lempar. Kurang ajar betul lelaki tak jelas ini.
Baiklah, saya menyerah. Memilih turun dari langkan baja itu guna hampiri dia yang teduh memandang saya. Senyumnya terpatri apik, berhias lelehan merah minuman bersoda yang disesapnya kian nikmat.
"Niat sekali mau lompat? Kenapa? Putus cinta? Hilang kerja? Dimarahi orang tua?"
Saya memandangnya lamat-lamat. Tak menjawab satu pun tanyanya. Dia naikkan sebelah alis, kukuh pada pendiriannya untuk bertanya. Dan lagi, saya dibuat menyerah begitu saja. Menghela napas. Lantas menjawab, "Putus cinta. Ditinggal di waktu nikah."
"HAHAHAHA, SAMA!"
***
Angan saya menyurut begitu bahu ditepuk. Wanita paruh baya beraut teduh mengusap ringan pundak saya. Ada senyum yang dipaksakan di bibir merah gelapnya. "Ikhlaskan kepergian anak saya. Maaf kalau dia tinggalkan luka untuk kamu. Ini semua salah kami yang terlalu keras padanya."Saya cuma menatap si wanita dengan benci yang tak lagi ditahan. Sebab saya tahu, orang sekuat kekasih hati saya pun, akan ada masanya melemah karena terus menerus ditimpa beban kehidupan, dengan tekanan yang lanjut menghantam dari orang yang seharusnya memberi dukungan. Seperti bunga lili putih yang mati-matian pertahankan indah bentuknya sebelum layu dan mengering, lantas jatuh membumi sebagaimana dia, saya, dan Anda yang pada akhirnya pasti akan mati. Entah apa pun caranya.
Saya mencintainya, dan mungkin saya harus pikirkan lagi gelegak air untuk berjumpa dengan dia yang kini nyaman terkubur tanah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower Series Project
Short StorySegala kisah terkait bunga yang diabadikan ke dalam tulisan🌹 Cerita oleh Family CPBS.