BAB 16 : Tanah Kelahiran

1.4K 77 42
                                    

Ø Mungkin ada beberapa typo

Ø Bahasa Baku dan Non-Baku

Ø EYD masih belum sempurna

Ø Cerita bertemakan LGBT/sesama jenis/boys love/boyXboy/gay/YAOI/MPREG

Ø Dewasa 21+

Ø Adegan seks eksplisit


Jika tidak suka dengan genre cerita yang saya buat, saya tidak memaksa untuk membaca.



Selamat Membaca dan Selamat Menikmati!


***



Aku menghirup udara segar Indonesia dengan rakus setelah keluar dari pesawat. Sebenarnya sih, udara di mana-mana itu sama saja, baik di Indonesia ataupun di London. Namun karena sudah sepuluh tahun nggak menginjakkan kaki di tanah kelahiran, jadi rasanya berbeda. Jujur aku masih nggak percaya bahwa saat ini kami sudah berada di Indonesia.

Aku menggandeng tangan Abhi dan berjalan mengikuti Elvan yang berjalan di depanku sambil menggendong Vandy yang masih tertidur walau sudah dibangunkan barkali-kali. Kayla dan Bi Astri mengikuti langkah kami di samping kiri dan kananku.

Usai melewati pemeriksaan imigrasi, kami segera keluar dari bandara. Elvan menyerahkan Vandy kepadaku sebelum masuk ke dalam taksi bersama Bi Astri dan Abhi. Sementara aku satu taksi bersama Kayla dan Vandy. Sebenarnya sih, aku inginnya satu taksi dengan Elvan, tetapi tentu saja itu nggak mungkin terjadi. Sebab jika sampai ketahuan masyarakat luas bahwa kami ini pasangan gay, bisa-bisa nggak ada orang yang mau mengantar kami ke rumah ayah dan ibu.

Taksi yang kutumpangi mengikuti taksi yang berada di depan kami di mana di dalamnya ada Elvan, Abhi, dan Bi Astri.

Sepuluh tahun aku meninggalkan Indonesia, sudah banyak perubahan yang terjadi. Terutama dalam bidang infrastruktur dan pembangunan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Aku bahkan hampir nggak bisa mengenalinya.

Tiga jam perjalanan kami menggunakan taksi, akhirnya taksi berhenti di sebuah gedung bertingkat yang cukup tinggi.

Aku megernyitkan kening, heran. Aku yakin ini bukan rumah ayah dan ibu. Walau sepuluh tahun sudah berlalu, tetapi aku masih ingat dengan desain rumahku sendiri. Sebab aku tinggal di rumah itu selama dua puluh dua tahun. Dan aku yakin bahwa ayah dan ibu nggak akan mengubah rumah kami hingga bisa bertingkat-tingkat seperti ini.

"Ini rumah siapa, Mas?" aku berucap lirih di samping Elvan yang baru saja membayar uang taksiku.

"Ini apartemen kita. Kita akan tinggal di sini untuk sementara waktu selama kita belum membeli rumah baru."

Ucapan Elvan sukses membuatku menatapnya dengan keheranan. "Kapan kamu membeli apartemen, Mas? Kok aku nggak tahu?"

"Aku membelinya saat aku lulus kuliah dulu. Ayo kita masuk!" Elvan berjalan sambil menyeret koper di tangan kanannya.

"Kamu serius, Mas?" tanyaku nggak percaya. Kukira Elvan baru saja membelinya karena kami ingin menetap di Indonesia. Ternyata dugaanku salah. Aku jadi malu karena sudah ge-er duluan.

"Iya. Untuk apa aku berbohong sama kamu. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanyakan saja sama Bi Astri."

Elvan menekan tombol lift.

Jujur aku benci dengan yang namanya lift. Setiap kali naik lift, kepalaku selalu saja pusing. Aku tahu jika aku ini kampungan, tetapi mau bagaimana lagi, memang seperti itulah diriku. Namanya juga lahir dan besar di desa, jadi walaupun sudah tinggal di kota cukup lama tetap saja pembawaanku yang desa ini nggak bisa hilang.

Bersamamu [Selesai | BL | MPREG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang