BAB 5 : Kehidupan Baru

2K 147 62
                                    

Ø Mungkin ada beberapa typo

Ø Bahasa Baku dan Non-Baku

Ø EYD masih belum sempurna

Ø Cerita bertemakan LGBT/sesama jenis/boys love/boyXboy/gay/YAOI/MPREG

Ø Dewasa 21+

Ø Adegan seks eksplisit

Jika tidak suka dengan genre cerita yang saya buat, saya tidak memaksa untuk membaca.



Selamat Membaca dan Selamat Menikmati!

***



Satu minggu berlalu.

Kami menjalankan aktivitas kami seperti biasa. Elvan yang selalu membersihkan kamar kos dan memasak saat aku mandi, sarapan bersama, dan Elvan yang mencium keningku sebelum berangkat kerja. Dan aku nggak tahu sejak kapan aku mulai menyukainya. Yang jelas, sekarang itu adalah salah satu kesukaanku, dicium Elvan di kening.

Namun ada satu yang mengganjal di benakku. Setiap kali aku bertanya kepada Elvan di mana alamat kantornya, dia selalu mengelak dan nggak pernah menjawabnya. Aku kan hanya ingin menjadi suami yang baik untuk Elvan dengan cara membawakan bekal makan siang untuknya. Biar terlihat romantis, sama seperti di film-film romantis yang sering ibu tonton.

Tadi pagi aku kembali bertanya kepada Elvan alamat kantornya, dan dia masih bersikukuh nggak ingin memberitahuku. Padahal aku ini suaminya, lho! Bukan rentenir yang ingin memalak dia di kantor, tetapi kenapa susah banget buatku untuk mendapatkan alamat kantornya?

"Wajahmu kenapa, Sat?" tanya Wanda, kini kami sedang nongkrong di perpustakaan. "Kok wajahmu terlihat senang banget hari ini."

"Iya, nih," timpal Jay yang duduk di sebelah Wanda. "Berbeda sama minggu lalu. Seminggu yang lalu justru matamu yang bengkak, syukur bukan yang di bawahmu itu yang bengkak."

Jay tertawa bahagia melihatku merana gara-gara kejadian minggu kemarin di mana aku berangkat ke kampus dengan mata bengkak. Nasibku memang menyedihkan, mempunyai teman yang suka sekali dengan penderitaan temannya.

Aku memang nggak cerita apapun kepada ketiga sahabatku itu soal aku yang menangis setelah pulang dari rumah Elvan waktu itu. Selama dua hari aku mengeluarkan air mata setiap mengingat ucapan ayah Elvan. Kukira mataku nggak akan bengkak setelah Elvan mengompres kedua mataku saat malam harinya dan juga di pagi hari sebelum berangkat ke kampus. Sebenarnya sampai sekarang pun mataku masih sering berkaca-kaca—walau tidak sampai menangis—setiap teringat ucapan ayah Elvan.

Aku diam, nggak menjawab ucapan Wanda dan Jay. Saat ini aku sedang malas untuk buka suara. Takutnya mereka berdua akan menertawakanku jika aku membuka suara.

"Kamu nggak mau bagi-bagi kebahagiaan gitu?" kali ini Lintang yang bertanya. Aku hanya menggelengkan kepala. Lagi pula apa juga yang mau dibagi? Nggak ada yang spesial juga kok.

Mereka terus mendesakku untuk bercerita di balik kebahagiaanku hari ini. Dan jangan lupakan, mereka juga terkadang masih menuntut penjelasan kepadaku tentang apa yang kualami seminggu yang lalu, yang menyebabkan mataku bengkak.

Aku bukannya nggak ingin bercerita kepada mereka semua tentang kejadian seminggu yang lalu. Aku hanya belum siap. Namun jika soal aku yang tampak bahagia hari ini sepertinya nggak perlu diceritakan, deh. Lagi pula ini hanya masalah sepele. Masalah di mana akhirnya aku mendapatkan petunjuk di mana Elvan bekerja. Aku hanya menunggu waktu yang tepat saja untuk bisa datang ke kantor Elvan.

Aku kembali menghela napas pelan. "Nggak ada apa-apa, kok! Memang kalian nggak suka ya melihat aku senang? Apa kalian lebih suka melihat aku sedih terus?" Aku berucap sambil pura-pura merajuk.

Bersamamu [Selesai | BL | MPREG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang