Bumi 05

2.7K 900 39
                                    

Menikah.
Statusku sudah berganti.
Sebenarnya, semua ini terjadi begitu saja. Tidak pernah terbayang akan menikah secepat ini dan juga dengan wanita yang baru saja aku kenal.
Tapi mungkin memang ini jalanku. Jadi aku berusaha untuk menerima semuanya dengan ikhlas.

"Lo beneran nggak nyesel?"
Pertanyaan Aji membuatku mengangkat kepala. Baru saja aku selesai membenarkan kancing lengan kemejaku, setelah tadi terlepas karena aku cuci muka sebentar di kamar mandi.

"Nyesel buat?"

Aji mengernyitkan kening mendengar pertanyaanku.

"Lo tuh yang nyesel Ji, nikahnya kesalip ama Bumi. Mana lo udah koar-koar mau nikah bulan ini."

Celetukan irwan membuat Aji yang tadinya fokus denganku langsung beralih ke temanku satu itu. Kami memang sedang berkumpul di sini. Di pernikahanku dengan Kinan. Tadi anak-anak geng naik gunung memang datang ke sini bersamaan. Yang terakhir si Irwan, langsung aku antar bertemu dengan mereka semua.

"Bangke lo, nggak usah ngomenin gue. Tahu sendiri si Rina kecantol ama juragan yang kagak berseri duitnya. Gue dilepeh."

Aji menanggapi ucapan Irwan yang langsung disambut gelak tawa sama mereka semua. Ada Irwan, Danu, Bagas, dan juga Mehdi. Semuanya memang teman satu angkatan dulu saat kuliah dan lanjut bertemu tiap kami naik gunung yang menjadi acara rutin minimal sebulan sekali.

Aku mengedarkan pandangan dan menangkap sosok yang seharusnya dia tidak ke sini. Aku langsung beranjak berdiri.

"Gue ke sana dulu. Nikmatin makanannya gaes."

"Yaaaa."
Mereka semua menjawab serempak. Aku langsung bergegas melangkah mendekati Nilam yang tengah berdiri persis di depan Kinanti.

"Bumi, ikut Mama sebentar. "

Tapi belum sampai aku di tempat Kinan, Mama sudah mencegatku.

"Tapi Bumi... "

"Temenin Mama bentar, itu ada Om Eri yang mau kenalan ama kamu. Inget kan? Anaknya Opa Ridwan."

Aku tidak bisa mengelak kalau Mama udah bilang minta ditemani apalagi mau dikenalin temannya Mama. Aku hanya menghela nafas dan menatap Kinan yang tampaknya sedang berbicara serius dengan Nilam. Aku harap, Kinan tidak berpikiran negatif dengan kedatangan Nilam ke sini.

******

"Kinan mana?"

"Ecie yang udah merindukan. Baru juga bentar ditinggal."

Godaan Bulan adikku membuat aku kini melepas kancing kemeja bagian atas. Gerah rasanya.

"Di luar nggak ada."

Tahunya ikut nemenin Mama jadi lama. Ada satu jam lebih dan saat aku kembali akan menemui Kinan, dia sudah tidak ada di tempatnya. Nilam juga sepertinya sudah pulang, karena aku sempat melihat tadi Irwan yang berjalan bersama ke mobil Nilam. Makanya aku langsung masuk ke dalam rumah dan menemukan Bulan yang sedang duduk selonjoran di karpet ruang tengah. Tamu memang sudah banyak yang pulang, tinggal saudara dekat yang masih asyik mengobrol.

"Mbak Kinan kecapean tuh. Kasihan. Makanya tadi Bulan anter ke kamar. "

Mendengar ucapan Bulan, aku langsung bergegas melangkah menuju kamarku. Mulai hari ini, Kinan sudah menjadi istriku dan tidur denganku di kamar. Setelah ijab tadi, Kinan juga sudah mengerti karena berganti pakaian di kamarku.

"Jangan digangguin loh, biar tidur."

Celetukan Bulan hanya aku tanggapi dengan lambaian tangan. Segera melangkah ke arah pintu dan membuka perlahan. Lampu kamar masih terang benderang, tapi Kinan sudah meringkuk di atas kasur dengan selimut tebal menutupi. Kedinginankah dia?

Perlahan aku masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu dengan perlahan. Ada rasa canggung saat ini. Aku takut, Kinan belum terbiasa denganku.

Saat sampai disamping tempat tidur, Kinan terlihat sudah tertidur pulas. Aku duduk di tepi kasur dan mengulurkan tangan untuk mengusap kepalanya. Dia tampak kelelahan.

"Maafkan aku. Maaf."

Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Karena semuanya masih terlalu awal untukku dan Kinan. Ini awal yang mungkin terbaik buat kita berdua. Aku menunduk dan mengecup pelipisnya.
Tanpa kata aku beranjak dari sisinya dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar ini. Melepas semua pakaian dan berdiri di bawah shower. Aku nyalakan air dingin yang langsung mengguyur seluruh tubuhku. Kalau harus merepih, di sinilah tempat ku. Setidaknya, di depan Kinan, aku tidak akan memperlihatkan kesedihanku.

******

Rintihan itu terdengar lirih, tapi aku bisa mendengarnya. Dalam kantukku, aku seperti dipaksa untuk terbangun. Lampu di kamar sudah aku matikan. Tapi rintihan itu membuat aku segera menyalakan lampu tidur. Malam telah larut dan saat aku menoleh ke arah Kinan, dia seperti kesakitan.

"Hei... Ada apa?"
Aku menggoyang bahunya dengan perlahan. Mata Kinan masih terpejam rapat. Tapi begitu mendengar suaraku, kelopak matanya perlahan terbuka. Ada sisa air mata di sudut matanya. Menangiskah dia?

"Ehmm... Enggak apa-apa."
Kinan tampak menggeleng tapi aku tahu dia berbohong.

"Ada yang sakit?"
Aku segera beranjak duduk dan kini mendekat ke arahnya. Kinan menggigit bibir nya dan membuatku mengusap, wajahnya yang ternyata sudah berkeringat dingin.

"Kamu kesakitan, Kinan."

Aku mencoba untuk meneliti lagi apa yang dia rasakan. Tapi sekarang Kinan, tampak mengaduh lagi lalu terisak pelan. Segera aku merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku. Dia tidak menolak.

"Mau ke dokter?"

"Eng.... Ngak usah. Nanti hilang sendiri."

Jawabannya membuatku terdiam. Aku tidak bisa melakukan apapun lagi. Dia masih menangis sampai isakan itu terhenti.

"Ma... S... "

Aku menunduk dan melonggarkan pelukanku. Menatap wajah Kinan yang sembab.

"Masih sakit?"

Dia menggeleng "kalau kedinginan memang seperti ini."

Aku paham yang dia maksud. Kakinya pasti.

"Maaf sudah membangunkan."

Dia menggeser tubuhnya dan membuat terlepas dari pelukanku. Aku sendiri tidak bisa melakukan apapun. Tiba-tiba, suasana menjadi canggung.

"Ya, sudah. Tidur lagi. Masih malam. "

Hanya seperti itu. Aku langsung berbaring lagi dan memejamkan mata. Aku tidak bisa menatap Kinan yang seperti ini. Kesakitan. Karena aku juga ikut merasakan sakitnya.

Bersambung

Hujan oh hujan bikin mager aja nih. Ketik aja deh. Dibaca dan divotemen ya oke cuss

Restu Bumi StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang