Bumi 07

2.6K 892 39
                                    

"Kamu beneran mantap?"

Aku menatap pria yang begitu aku hormati selama ini. Papa.
Beliau adalah panutanku sejak aku kecil. Papa kalau kata orang adalah sosok yang dingin dan tidak terlalu perduli dengan sekitarnya. Tapi bagiku, beliau sosok yang sangat bertanggung jawab kepada anak dan istrinya. Papa adalah role mode ku.

"Iya, Pa."
Kuanggukan kepala sekali lagi menjawab pertanyaan Papa. Beliau lalu bersedekap dan kini menatapku lekat.

"Baiklah. Semoga kamu bisa bertanggung jawab."

Aku tahu makna dari ucapan Papa itu. Sedikit tapi penuh makna. Bertanggung jawab. Aku memang mulai belajar untuk melakukan itu semua. Terutama untuk istriku. Kinan.

"Tapi Pa, aku boleh minta sesuatu?"

Papa mengernyitkan kening mendengar permintaanku lagi. Karena setelah semua keinginanku beliau turuti ; menikah mendadak dengan Kinan, keluar dari rumah utama dan hidup di rumah Kinan, dan sekarang ada permintaan lagi dariku.

"Tentang?"

Aku beranjak berdiri dari duduk ku yang ada di depan Papa. Sebenarnya, pagi ini aku menyempatkan diri untuk datang ke kantor Papa. Menemui Papa secara serius dan hanya berdua. Karena aku tahu ini urusan sesama pria. Meski Mama juga boleh mendengar, hanya saja tidak terlalu etis untuk dibicarakan di depan Mama.

"Nilam."
Papa langsung mengerti arah pembicaraan ku. Beliau akhirnya menghela nafas, ikut berdiri bersamaku dan memasukkan kedua tangannya ke saku celananya.

"Jangan sakiti wanita. Itu pesan Papa.".

Aku tahu apa yang kulakukan sejak awal memang sudah menyakiti hati seorang wanita. Nilam. Wanita yang tegar dan mandiri, dulu aku mengaguminya karena itu. Sebenarnya, Nilam seorang yatim piatu. Dia dari kecil diasuh di panti asuhan. Sampai menginjak usia remaja, dia diadopsi oleh keluarga Om David, sahabat Mama.
Kami mulai dekat dan akhirnya saling memiliki ketertarikan.

Sebenarnya, keputusanku untuk menikah dengan Kinan, bukan hal yang mengejutkan untuk hubunganku dan Nilam. 1 bulan sebelum ini, hubungan kami sebenarnya sudah selesai. Nilam yang meminta, dia beralasan aku dan dia tidak cocok menjadi sepasang kekasih. Karena sudah sering bersama dan itu hanya kebiasaan. Hanya saja, keluarga besar belum ada yang tahu. Aku dan dia masih bertunangan. Mama yang sangat bahagia sebenarnya.

"Aku akan bicara sama Om David, Pa. Aku belum resmi meminta maaf karena aku dan Nilam tidak jadi menikah. Tapi Nilam bekerja di sini. Di perusahaan Papa, aku harap Papa jangan singgung aku lagi di depan Nilam ya? Aku takut, Kinan akan merasa tersisih. Bagaimanapun, Nilam sudah menjadi keluarga kita sejak lama, Pa."

Papa menganggukkan kepala, beliau mendekatiku dan menepuk bahuku "Papa akan ingat itu."

. Papa memang terbaik untukku.

*****

Setelah dari kantor Papa, aku berangkat kerja. Aku memang tidak bekerja di perusahaan Papa. Aku ingin mandiri, sejak kuliah pun aku sudah bisa membiayai kuliahku sendiri. Meski Papa dan Mama tetap memberikan uang kepadaku, semua itu aku simpan. Setelah lulus, aku dan beberapa teman mendirikan sebuah perusahaan jasa arsitek. Kebetulan aku seorang arsitek dan lebih tepatnya khusus untuk jasa aristek bidang desain komersial. Lebih berkutat skala proyeknya mendesain bangunan tipe komersial, seperti mall, gedung perkantoran, rumah sakit dan sejenisnya.

Dengan ketekunanku dan beberapa rekanku, akhirnya perusahaan ku sekarang sudah bisa bersaing dengan perusahaan ternama lainnya. Bersyukur dengan itu semua. Hanya saja, jam kerjanya tentu saja sesuai apa yang dikerjakan. Aku kadang betah tinggal di kantor sampai larut, bahkan tidak pulang. Tapi sekarang, aku sudah mempunyai istri dan itu memaksaku untuk pulang lebih awal. Seperti malam ini.

"Assalamualaikum."

Aku masuk ke dalam rumah, suasana begitu sepi. Karena rumah keluarga Kinan ini berada di ujung yang belakangnya tanah kosong dan agak jauh dari tetangga. Aku berpikir, kenapa Kinan bisa betah tinggal di sini?
Sudah 2 hari ini kami menetap, dia sepertinya sangat senang ketika aku mengatakan kita tinggal di sini.

"Kinan."

Aku metakkan tas kerjaku di atas meja. Lalu melangkah menuju ruang tengah tempat biasanya Kinan duduk di sofa dan depannya ada televisi.
Tapi tidak ada siapapun di sini. Aku segera bergegas ke kamar dan lagi-lagi tidak menemukan Kinan. Rasa khawatir ku mulai memuncak. Tentu saja, Kinan seorang diri dan dia...

"Kinan... "
Aku sedikit berteriak memanggilnya. Dan tiba-tiba dari kamar mandi yang ada di seberang dapur, Kinan keluar. Dia tertatih karena menggunakan tongkat untuk menopang kakinya.

"Mas, udah pulang?"

Aku segera mendekatinya dan kini mencekal lengannya. Takut kalau dia terjatuh.

"Kenapa memakai tongkat? Kata kamu belum terbiasa lagi?"
Pertanyaanku membuat Kinan tersenyum tipis. Raut wajahnya memang selalu saja muram. Aku tahu dia memang masih berduka.

"Harus dibiasakan lagi, Mas. Kalau pakai, kursi roda, aku, nggak bebas. Apalagi sendiri dan... "
Dia menghentikan ucapannya lalu menatapku "Mas nggak usah khawatir. Aku nggak apa-apa."
Jawabannya membuatku menghembuskan nafas. Entah kenapa aku tidak suka dengan jawabannya itu.

"Kalau begini, lebih baik kita tinggal di rumah Mama. Setidaknya ada Mama dan Bulan yang bisa jagain. "

Ucapanku membuat Kinan kini menghela nafasnya "Jangan kasihani aku, Mas. Aku bisa kok. Buktinya selama 21 tahun hidupku, aku bisa mandiri. Memang ada Bapak tapi kan, semuanya aku lakukan sendiri. Aku nggak mau, Mas Bumi hanya merasa kasihan terus kepadaku. Jangan Mas. Itu membuat aku makin merasa tidak enak. Mas Bumi sudah mengorbankan hidup Mas demi menikah denganku."
Aku mengernyitkan kening mendengar ucapan Kinan. Aku berkorban? Memangnya aku merasa seperti itu?

Bersambung

Nggak usah nulis next aja pasti dilanjut kok. Vote dan komen ke cerita yuk biar semangat

Restu Bumi StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang