Restu 10

2.4K 798 47
                                    

Aku tahu ada yang mengusik Bumi, sejak aku memberikan undangan warna biru itu kepadanya. Nilam. Wanita yang sangat baik kepadaku itu akan menikah. Harusnya aku merasa lega. Tapi entah kenapa aku malah terusik. Karena aku tahu, Bumi masih ada rasa dengannya. Buktinya, sejak malam itu, Bumi menjadi lebih pendiam lagi.

Kami masih berbicara, tapi hanya seperlunya saja. Bahkan aku tidak berani menanyakan apapun tetang pernikahan Nilam itu kepada Bumi. Aku tahu batasannya.

"Kinan, udah makan?"
Pertanyaan Mama membuat aku tersadar dari lamunan. Siang ini, Bumi memang mengajakku ke rumah keluarganya. Dia beralasan akan lembur atau bahkan tidak pulang hari ini karena pekerjaan, maka dia tidak tega meninggalkanku di rumah sendirian. Padahal bagiku tidak masalah.

"Udah, Ma."
Aku tersenyum saat mengatakan itu. Mamanya Bumi memang sangat baik dan bahkan aku seperti anaknya sendiri. Sama seperti Bulan.

"Nginep sini kan? Mama udah beresin kamarnya. Tadi Bumi bilang mungkin nggak pulang. Kamu udah tahu?"

Aku menatap Mama yang kini duduk di depanku. Kami berada di ruang keluarga, di mana aku sejak tadi hanya menonton televisi. Ingin membantu Mama di dapur saja aku tidak boleh.

"Iya, Ma."

Aku kembali mengiyakan, karena Bumi memang sempat mengatakan itu kepadaku sebelum dia berpamitan untuk bekerja.
Mama mengulas senyumnya dan mengusap bahuku dengan sayang.

"Harus sabar ya? Bumi emang kerjaannya begitu. Kadang malah nggak pulang sampai 3 hari. Tapi di sana dia punya kamar sendiri gitu. Yah pekerjaannya memang menuntutnya begitu. Kinan harus mengerti ya?"

Kembali, aku hanya menganggukkan kepala. Aku tahu kapasitasku sebagai istri Bumi. Aku sudah merasa bersyukur dia mau menikahi ku.

"Kinan tahu kok, Ma. Lagipula, Kinan juga seneng di sini nemenin Mama. "

Ada senyum terulas lagi. Saat Mama akan mengatakan sesuatu. Dering bel pintu depan terdengar. Mama mengernyitkan kening tapi kemudian beranjak berdiri.

"Sebentar ya. Mama lihat siapa yang datang."

Aku mengangguk dan menatap Mama, yang sudah melangkah dan menyingkap tirai, pembatas ruang keluarga dan ruang tamu. Sesaat kemudian aku mendengar suara dua orang yang saling menyapa.

"Lama nggak ketemu, Jeng."

"Iya. Maaf. Kami ke sini mau menanyakan sebenarnya Bumi dan Nilam itu ada apa?"

Jantungku berdegup kencang mendengar pembicaraan itu. Siapakah yang datang? Ini ada hubungannya dengan Nilam? Untuk sesaat perasaanku terusik. Tapi aku memutuskan untuk tidak menduga-duga dan beranjak berdiri dengan mengenakan tongkat. Lebih baik aku tidak mencuri dengar pembicaraan ini.

🍒🍒🍒🍒

Aku menghabiskan waktu ku berkutat dengan laptop yang aku bawa. Meneruskan menulis novel yang sempat tertunda. Tadi, Mama bahkan membawakan makanan ke dalam kamar. Karena tidak mau menggangguku. Sore hari, saat semua sudah di rumah terkecuali Bumi, aku memutuskan ikut bergabung di ruang keluarga.

Bulan juga ada dan menemaniku. Tapi kemudian pembicaraan menjadi lebih berat dan aku...

"Nilam memang akan menikah, Ma. Kenapa Mama baru tahu?"

Papa yang duduk di sofa seberangku kini menatap Mama. Awalnya kami hanya membicarakan pernikahan artis yang ada di televisi tapi kemudian Mama tiba-tiba mengatakan kalau tadi siang kedua orang tua Nilam datang ke rumah dan mengatakan Nilam terpaksa menikah. Semua itu karena Bumi yang meninggalkannya. Apakah memang benar?

"Mama udah tahu Pa, tapi Jeng Rina tuh bilang karena Nilam patah hati sama Bumi gitu. Terus nyalahin Bumi kenapa nggak nikahin Nilam. Ih Mama sebel, anak kita yang dijadikan kambing hitam."

Aku hanya diam mendengar ucapan Mama. Papa kemudian menganggukkan kepala.

"Papa udah tanya langsung ke Bumi. Mereka udah putus sebelum Bumi mutusin nikah sama Kinan. Maaf ya Kinan, kamu harus ikut dalam pembicaraan ini."

Papa menatapku dengan pandangan sungkan. Aku menggelengkan kepala dan mencoba untuk tersenyum.

"Nggak apa-apa, Pa. Kinan juga tahu kok."

"Mas Bumi nggak salah ih. Orang Bulan juga tahu Mbak Nilam nya udah mutusin Mas Bumi dari lama. Masa sekarang dia yang disalahin?"

Itu celetukan Bulan dan Papa mengiyakan.

"Lha nggak tahu itu. Tadi mereka sempat mengatakan kecewa sama Bumi. Pokoknya ini Mama nungguin Bumi pulang mau Mama interogasi."

Dan aku juga menunggu Bumi.

Sampai akhirnya malam telah larut dan kami semua sudah masuk ke dalam kamar. Aku yang gelisah, benarkah Bumi di kantor atau sedang...

Ponselku berdering saat aku merebahkan diri di atas kasur. Nama Bumi terlihat di layar.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Kinan, kamu belum tidur?"

Suara Bumi terdengar lelah di ujung sana.

"Ini baru mau tidur. Mas nggak pulang?"

"Maaf. Pekerjaanku belum selesai padahal besok harus sudah diminta klien. Aku nginep di sini. Kamu lekaslah tidur."

Jawaban Bumi membuat aku terdiam.

"Kinan... "

"Ya, Mas. "

"Udah ya. Aku masih banyak kerjaan... "

'Bumi kamu mau teh apa coklat hangat? '

Sebelum panggilan terputus, aku bisa mendengar suara wanita di ujung sana. Siapakah?

Bersambung

Dekbay lagi pilek nih jadi ketiknya sambil momong... Yuk ramein

Restu Bumi StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang