Bumi 09

2.5K 824 46
                                    

"Lo beneran nggak bisa ikut? Padahal kan kapan hari lo udah pengen summit ke sana."
Pertanyaan Bram, salah satu teman naik gunung kini mulai mengusik ku. Padahal, sejak aku memutuskan untuk menikahi Kinan, aku sudah mundur dari hobiku itu. Sudah saatnya juga menata diri dan serius.

"Sori, Bram gue udah pensiun."

Aku menjawab dan menyesap kopi pahit yang tersaji. Malam ini, aku menyempatkan diri untuk datang ke cafe yang biasanya tempat nongkrong dengan  teman-teman, termasuk Irwan dan juga...

"Ah lo nggak asyik. Eh iya lo kan baru aja nikah, sori kemarin nggak bisa datang." Bram sudah menyela pikiranku dan membuat aku kembali fokus ke arahnya. Kenapa juga baru ada aku dan dia? Aku sebenarnya tidak nyaman dengan Bram, sejak pertama kali kenal dia sudah banyak berbicara dan pernah mengganggu hubunganku dengan...

"Bini lo ajak aja. Romantis lagi suasananya kalau naik bareng bini. Pengantin baru juga."

Lagi. Dia menblokir pikiranku dengan celotehan nya. Aku benar-benar tidak nyaman.

"Atau jangan-jangan lo udah nggak naik gunung karena takut sama bini lo? Kagak boleh naik gunung? Ah cemen lo, ama istri aja takut."

Cukup.

Aku beranjak dari kursi dan membuat Bram menatapku.

"Mau ke mana?"

Aku mengeluarkan uang dan meletakkan ke atas meja.

"Gue lupa, hari ini ada urusan. Kalau anak-anak datang bilang aja gue yang traktir malam ini."
Setelah mengatakan itu, aku pergi begitu saja. Tidak peduli dengan seruan Bram yang membuat beberapa pengunjung cafe menoleh ke arahku. Persetan dengan itu semua. Aku salah sudah ke sini malam ini.

#######

23.00

Langkahku terhenti saat melihat televisi masih menyala dan Kinan meringkuk di atas sofa putih. Dia menungguku?

Perasaan bersalah menghinggapi ku. Saat masuk ke dalam rumah, aku mengira Kinan sudah tertidur pulas di dalam kamar, seperti biasa. Aku melanjutkan langkahku dan kini berjongkok di depan Kinan. Wajahnya terlihat damai dalam tidurnya yang pulas. Bibirnya setengah terbuka tapi dia tampak manis. Kubenarkan selimut yang menutupi tubuhnya.

Sejak ucapan dia tentang masih belum mempercayaiku dalam artian aku pasti akan menyesal kemudian hari karena menikahi wanita seperti dirinya, disitu harga diriku terusik. Aku mulai mendiamkannya meski aku tidak marah dengannya. Sikapku membuat Kinan makin menjauh dan dia sepertinya juga takut kepadaku. Aku salah.

Kuusap rambutnya dan membuat matanya yang terpejam itu tiba-tiba membuka. Masih terlihat sangat mengantuk tapi kemudian Kinan sadar kalau aku sudah di rumah.

"Mas... "

Dia berusaha bangun, aku membantunya untuk duduk. Dia tampak gugup saat membenarkan rambutnya yang berantakan itu.

"Ini udah larut. Kenapa nggak tidur di kamar?"

Kinan kini menatapku dan menunjuk undangan warna merah di atas nakas dekat dengan sofa.

"Ehm itu, aku dapat undangan nikah. Kayaknya untuk Mas."
Aku mengernyitkan kening mendengar ucapannya. Kuulurkan tangan untuk mengambil undangan itu dan membukanya. Nama Nilam tertulis di sana. Menikah?

"Mbak Nilam yang mau nikah?"
Dia bertanya kepadaku dan aku hanya menggelengkan kepala.
Kenapa Nilam menikah secepat ini?

"Aku nggak tahu."
Aku meletakkan kembali undangan nikah milik Nilam itu. Aku harus menghubunginya. Meski aku tahu, aku tidak berhak untuk menanyakan hal ini, tapi kalau ini hanya pelarian Nilam tentu saja itu tidak baik. Aku dan Nilam sudah lama dekat  dan aku tahu kalau dia sebenarnya tidak mau menikah secepat ini. Pasti ada sesuatu.

"Aku ngantuk, kita tidur."

Seperti ada yang ingin dikatakan Kinan, tapi kemudian dia hanya mengangguk kan kepala. Aku membantunya untuk berdiri dan mengambilkan tongkat yang dipakainya untuk bantuan berjalan. Sampai di dalam kamar, aku berpamitan untuk membersihkan diri terlebih dahulu.
Saat aku kembali, Kinan sudah tertidur pulas. Aku naik ke atas kasur dan berbaring di sebelahnya. Selalu suka menatap wajah Kinan yang polos seperti ini.

Suara dering ponsel membuatku menoleh ke arah nakas di mana tadi gawaiku kuletakkan di sana. Panggilan dari Irwan membuatku menjawab panggilan itu.

"Halo."

"Bumi, kenapa lo nggak ikut kumpul? Di sini rame bahas nikahnya Nilam. Lo beneran nggak tahu? Nilam kayaknya sedih banget pas ngasih undangan. Dia kenapa sih? Buru-buru banget mau nikah, calonnya lo udah tahu kan?"

Aku tidak sempat membaca nama calon suami Nilam tadi "gue belum baca."

"Pantes lo tenang-tenang aja. Si Baskara... Cowok itu Bumi. Bukannya dia cowok yang dulu mau kurang ajar sama Nilam?"

Shit.

Aku tahu siapa Baskara. Pria yang sejak dulu mengganggu Nilam. Bahkan ada satu masa Nilam pernah akan dilecehkan oleh pria itu. Dan sekarang Nilam akan menjadi istrinya?

"Baskara? Yang bener?"

"Ck. Lo tuh ya. Makanya ngumpul sini, jadi tahu info. Bumi, gue tahu lo udah nggak berhak buat urusin hidup Nilam. Tapi setidaknya lo harus peduli, Nilam kayaknya lagi depresi atau frustasi gitu."

Aku terdiam mendengar ucapan Irwan. Haruskah aku peduli dengan Nilam?

Bersambung

Sepilaaah ini yuk ramein lagi

Restu Bumi StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang