BUMI 13 DILEMA

2.2K 696 35
                                    

"Kamu nggak kasihan sama Nilam?"

Pertanyaan itu sejak tadi mengganggu pikiranku. Meski aku sendiri sudah memantapkan hati untuk tidak mengurus lagi segala urusan tentang Nilam. Hanya saja aku bukan manusia yang tidak punya hati. Sebenarnya, aku ingin tidak perduli, saat Nilam jatuh tak sadarkan diri. Toh dia sudah tidak ada hubungan apapun denganku. Sedangkan di satu sisi, ada Kinan, istriku yang juga sedang kesakitan.

Tapi, saat akhirnya semuanya sampai di rumah sakit, dan Nilam juga sedang dalam perawatan, aku dipanggil oleh papanya. Yang mengajakku berbicara berdua, dan aku benar-benar shock saat mendengar kalau Nilam mengidap kanker. Papanya bercerita kalau Nilam memang tidak ingin membuatku bersedih, maka hubungan kami harus berakhir. Nilam tidak mau aku bersedih setelah mengetahui sakitnya. Ini masih belum bisa aku cerna. Karena selama kami dalam hubungan, yaitu menjadi sepasang kekasih dan juga menjadi tunangan, Nilam tidak pernah menampakkan rasa sakitnya. Dia itu ceria dan bahkan wanita terkuat yang pernah aku kenal. Kami putus pun, Nilam mengatakan kalau dia tidak mencintaiku. Tidak ingin menjadikan hubungan kami toxic. 

Tapi setelah mendengar semua ini, aku merasa tertekan. Memang, rasa cinta kepada Nilam sudah pudar. Jauh sebelum aku melamar Kinan, hanya saja rasa kemanusiaanku kini yang mengusikku.

"Mas, kenapa belum tidur?"
Pertanyaan itu membuatku tersadar. Aku menoleh ke arah Kinan yang terbangun malam ini. Dia masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya terlihat begitu pucat. Aku beranjak dari dudukku di sofa dan melangkah mendekatinya. Menunduk dan mengecup keningnya. Hanya Kinan yang bisa mendamaikan hatiku saat ini.

"Jagain kamu."
Akhirnya aku menarik kursi dan duduk di sana. Membenarkan selimut yang menutupi tubuh Kinan.

"Aku udah nggak apa-apa, kok. Besok pulang aja ke rumah ya?"
Dia mengatakan itu dan aku menggelengkan kepala.

"Masih harus istirahat di sini, Dokter ingin juga memberikan terapi untuk kaki kamu."

Wajah Kinan berubah muram, dia bahkan kini menggelengkan kepala "Mau sampai kapan pun terapi, kakiku udah nggak bisa pulih lagi kan, Mas? Udah diamputasi juga, cuma bisa jalan pakai kaki satu."

Aku memejamkan mata dan menghela nafas mendengar ucapan putus asa Kinan. Dia perlu penguat. Aku mengulurkan tangan dan menggenggam jemarinya. Hangat terasa.

"Setidaknya, nanti kaki kamu tidak sakit lagi. Aku tersiksa melihat kamu kesakitan."

Ada keterkejutan di wajah Kinan. Dia sepertinya selama ini butuh hal ini. Kekuatan dan dorongan agar dia tidak merasa putus asa.

"Tapi Mas..."

"Aku ada di sini dan akan menemani kamu melawan ini semua. Rasa sakit dan semuanya."

Kinan tidak menjawab, tapi aku tahu dia masih belum percaya denganku. Aku masih butuh waktu yang panjang untuk menguatkannya dan membuat dia percaya kalau aku tulus dengannya.

******* 

"Maksudnya Nilam mengidap kanker? Dan kamu yang disuruh bertanggung jawab atau gimana? Nggak masuk akal."

Pagi ini, Papa mengajakku berbicara berdua. Aku berpamitan kepada Kinan untuk berangkat ke kantor sebentar. Untung ada Bulan yang mau menemani Kinan.

"Iya, Pa."

Papa kini menggelengkan kepala mendengar ceritaku. Aku memang sering berbagi cerita dengan papa, setidaknya beliau lebih bisa memberi nasihat yang bijaksana. Karena pengalaman beliau pasti lebih banyak daripada aku.

"Atas dasar karena Nilam mencintai kamu?"
Aku hanya menghela nafas mendengar ucapan Papa. Memang seperti itulah yang disampaikan orang tuanya Nilam. Padahal Nilam sendiri juga tidak mau merepotkanku. Pusing kalau seperti ini.

"Kamu masih cinta juga sama Nilam?"

"Enggak Pa."

Jawabanku cepat dan tegas saat papa kini beranjak berdiri dan mendekatiku yang duduk di sofa.

"Aku udah nggak ada perasaan apa-apa. Hanya saja, kita sebagai manusia mempunyai rasa kemanusiaan. Bagaimanapun Nilam bukan orang jahat."

Papa menganggukkan kepala, beliau ikut duduk di sebelahku. 

"Tapi keluarganya Nilam, salah meminta kamu untuk bertanggung jawab. Kalau tentang pengobatan, Papa bisa bantu. Papa punya teman dokter yang ahli di bidang ini. Papa akan bantu, hanya saja papa tetap tidak setuju kalau kamu harus menikah dengan Nilam."

Aku menganggukkan kepala. Tidak pernah terlintas di pikiranku akan menikahi Nilam. Bahkan tidak pernah juga terlintas untuk memiliki dua istri. Cukup Kinan saja.

"Bumi juga tahu Pa, istri Bumi cuma Kinan. Titik."

Papa langsung menoleh ke arahku dan menepuk bahuku. "Ini baru anak Papa."

Tapi beliau kemudian mengerutkan keningnya "Masalah Kinan bagaimana? Dia tidak terganggu dengan semua ini?"
Aku menghela nafas lagi "Sepertinya Kinan masih belum percaya sama aku Pa. Dia masih banget terlalu canggung kepadaku. Ini PR buatku."

Papa tersenyum "Masalah kepercayaan itu memang sulit, dulu Papa juga sulit sekali membuat mama kamu untuk percaya kepada papa kalau papa hanya mencintai mama kamu. Karena papa cuek, papa pendiam dan seperti tidak perduli sama mama kamu. Maka perlu waktu yang panjang Bumi, untuk membuat hati seorang wanita itu percaya."

Aku mengerti. Perjalanan cinta papa dan mama juga tidak mudah. Sempat mendengar sedikit cerita mereka. Semoga aku juga bisa sekuat papa untuk membuat mama percaya. Aku akan berbuat apapun untuk membuat Kinan mengakui kalau aku memang suami dan pria yang tidak akan berpaling darinya.

BERSAMBUNG

KALAU ADA YANG BELUM TAHU INI CERITA SEQUELNYA SNOW PRINCE YA CERITANYA PAPA DAN MAMANYA BUMI. 

Restu Bumi StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang