Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Bumi begitu ingin bertanggung jawab kepadaku. Sikapnya juga begitu baik, bahkan dia rela meninggalkan rumah keluarganya yang besar dan megah itu untuk tinggal di sini. Rumah peninggalan Bapak yang kecil dan hanya ada dua kamar. Sungguh, aku merasa tidak enak dengan kebaikan Bumi.
Selama ini hidup dalam duniaku sendiri, keluarga dari kedua orang tuaku juga merundungku karena kecacatan ku ini. Setiap orang yang melihat pasti akan merendahkanku. Begitu banyak rundungan dan juga hinaan yang aku terima selama ini sehingga aku tidak menyangka ada orang sebaik Bumi. Sikapnya sepertinya sangat tulus. Meski dia terkesan dingin, atau bicara seperlunya kepadaku, tapi aku tahu dia peduli.
Hari ini, sudah 5 hari kami di sini. Kami sudah mulai dengan kesibukan masing-masing. Bumi sudah bekerja dari jam 7 pagi mulai berangkat dan pulang setelah isya' tapi itu tidak menentu. Aku tahu kesibukan nya menjadi seorang arsitek apalagi dia memiliki perusahaan sendiri.
Sedangkan aku, sejak kakiku diamputasi satu, aku mulai berkutat dengan hobiku. Menulis. Awalnya hanya sekedar menuangkan semua perasaanku di kertas kosong, kemudian Bapak melihatku dan membaca tulisan ku. Dari beliau lah aku mulai terdorong menulis sebuah novel fiksi. Karena memang hobiku membaca dan aku sudah ratusan novel yang aku koleksi, maka perlahan aku menulis.
Tadinya aku hanya iseng ikut lomba sebuah penerbitan buku. Lalu setelah sekian lama mencoba, aku akhirnya memenangkan kategori favorit pembaca. Dari situlah, aku mulai kenal dengan dunia literasi. Mempunyai teman menulis dan pembaca di dunia maya. Aku bahagia dengan duniaku. Bahkan novelku dikontrak salah satu penerbitan mayor. Sudah berhasil bertengger di toko buku. Hanya saja mereka semua tidak tahu jati diriku aslinya. Aku menggunakan nama pena dan aku tidak pernah memberikan nama asli dan juga menunjukkan jati diriku yang sebenarnya.
Sehingga antara dunia maya dan dunia nyata aku adalah sosok yang berbeda. Aku seperti mempunyai dua kepribadian, dan aku tidak berani menyatukannya. Kalau di dunia maya, aku penulis yang banyak digemari pembaca, bahkan novelku ada yang menjadi bestseller. Tapi di dunia nyata aku hanya seorang wanita yang cacat dan tidak bisa apa-apa.
Miris.
Aku ingin menjadi diriku di dunia maya. Yang ceria dan menyapa pembaca dengan riang. Bahkan editorku sendiri, selama ini mengenalku sebagai pribadi yang riang dan ceria. Bukan diriku yang sekarang. Terlalu insecure dengan lingkungan sekitarku. Karena efek perundungan sejak dulu, membuat aku trauma dengan semuanya.
"Kamu dari tadi di sini?"
Suara itu mengagetkanku. Aku benar-benar lupa waktu. Ini sudah malam dan aku asyik menulis. Sekarang aku berada di dalam kamar Bapak. Sejak Bapak tiada, aku menjadikan kamar ini menjadi ruangan menulis ku. Ada laptop yang aku beli dari hasil penjualan novelku dan kugunakan sebagai alat menuangkan semua daya khayalku."Mas Bumi."
Aku menoleh ke belakang di mana Bumi sudah bersandar di ambang pintu kamar. Dia terlihat lelah, kemejanya sudah dikeluarkan dari ban celana panjangnya, rambutnya terlihat acak-acakan. Aku merasa menjadi istri yang tidak becus kalau seperti ini. Suami pulang dan aku tidak menyambutnya.Aku berusaha meraih tongkat dan mencoba untuk berdiri, tapi Bumi langsung melangkah mendekatiku.
"Jangan terburu-buru."
Dia memperingatkanku dan langsung menyentuh lenganku untuk membantuku berdiri. Aku masih begitu canggung dengan sentuhan tangannya."Ehm maaf, Mas. Aku lupa sekarang sudah malam."
Bumi tidak menatapku, dia malah kini menatap laptop yang ada di atas meja dan masih menyala."Kamu menulis?"
Tentu saja fakta aku seorang penulis dia belum tahu. Aku langsung panik dan mematikan laptop dan menutupnya. Aku belum siap.
"Ehm hanya iseng."
Jawabanku membuat Bumi mengernyitkan kening. Tapi kemudian dia beralih menatapku."Kamu sudah makan?"
Kuanggukan kepala mendengar pertanyaannya. Dia terlihat kecewa, lalu menyugar rambutnya."Ehm aku makan sendiri kalau begitu."
Aku langsung menangkap ucapannya yang hanya terdengar lirih itu.
"Aku bisa makan lagi kok, Mas."
Pipiku terasa panas setelah mengatakan hal itu. Aku menunduk dan menghindari tatapan Bumi. Jantungku sudah berdegup kencang."Bener? Aku beli nasi goreng dua."
*****
Dan di sinilah kami berada saat ini. Di meja makan kecil di ruang tengah rumahku. Duduk berhadap-hadapan. Bumi sejak tadi mengambilkanku piring, air minum bahkan ingin menyuapiku. Tapi aku menolaknya.
"Enak nggak?"
Dia menyuapkan nasi goreng ke mulutnya lalu bertanya kepadaku.
"Enak."
Ada senyum kecil di ujung bibirnya tapi kemudian wajahnya berubah biasa lagi. Lalu dia makan dengan lahap dan kami tidak bicara. Hanya menikmati makanan malam ini."Kinan."
Setelah beberapa saat, dia bersuara dan aku mendongak menatapnya.
"Ya?"
Bumi tampak mengalihkan tatapan setelah netra kita bertemu. Aku sendiri juga tidak bisa menatapnya lama. Canggung.
"Bisakah kita menjadi teman? Aku tidak mau kamu menatapku seperti ini. Ehmm.. " Bumi mengusap lehernya dan tampak kesulitan mengucapkan sesuatu. Tapi kemudian dia berdehem "aku tidak akan menyakitimu, kalau itu yang kamu takutkan. Aku juga punya adik perempuan, lahir dari seorang perempuan, jadi... " Bumi kembali berdehem sebelum mengucapkan "Aku di pihakmu. Aku suamimu dan akan selalu begitu."
Bersambung
Mas Bumi mah buat hati eneng jadi kebat kebit iniiihh...
Yuk ah ramein lagii..
KAMU SEDANG MEMBACA
Restu Bumi Story
RomanceBumi tidak menyangka kalau bantuannya terhadap seseorang akan membawanya untuk bertanggung jawab menikahi seorang wanita yang tidak dikenalnya. Bahkan, dia harus menerima semuanya meskipun wanita itu tidak sesuai dengan kriteria nya. Bumi harus me...