Restu 14

2.4K 841 73
                                    

Kakiku masih terasa sakit disaat tertentu, tapi alhamdulilah semuanya berkurang setelah aku setuju dengan melanjutkan terapi. Dulu, aku pernah tapi kemudian putus asa karena semuanya tidak berguna. Aku tetap tidak bisa pulih utuh. Dalam artian, toh aku sudah cacat. Tidak mungkin aku bisa berjalan dengan normal. Aku benar-benar pernah berada di periode itu.
Lalu ketika ada yang memberi semangat, aku bisa bangkit lagi. Sampai akhirnya penyemangatku dua-duanya meninggalkanku. Almarhum Ayah dan juga tunanganku.

Sekarang, aku mulai membangun rasa percaya diri lagi lewat Bumi. Meski tidak secara langsung, tapi dia menyemangatiku lewat tindakannya.

Beberapa hari di rumah sakit membuat aku bertekad untuk tidak merepotkan Bumi lagi. Karena aku tahu, Bumi sangat sibuk dengan pekerjaannya tapi dia masih sempat menjagaku. Bahkan hanya pulang ke rumah untuk mengambil baju ganti itupun tidak lebih dari 30 menit. Dia tidak pernah memperlihatkan kesibukannya di depanku. Hanya saja aku tahu, tengah malam saat aku terbangun, Bumi sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dia atas meja yang ada di depan sofa dia tampak serius. Aku jadi merasa menjadi orang yang merepotkan nya.

Dan akhirnya aku diperbolehkan pulang setelah setuju menjalani terapi yang sudah dijadwalkan. Wajah Bumi bahan  tampak cerah saat aku mengiyakan. Dia benar-benar terlihat senang.

Aku mulai melepas tameng di tubuhku. Aku mulai belajar menerima dengan ikhlas kalau semua perhatian Bumi itu tulus. Aku harus belajar memandang bukan dari sudut dimana aku melihat Bumi mengasihaniku. Aku belajar membuat percaya bahwa Bumi sayang sama aku. Walaupun itu masih sulit. Aku masih butuh waktu.

"Kinan, kamu jangan terlalu lelah. Kata mama kamu sudah 3 jam di depan laptop. "

Suara itu membuat aku menoleh. Sejak pulang ke rumah, aku memang mulai meneruskan proyek novel ku yang memang sudah diminta penerbit. Menulis satu-satunya cara membuat jiwaku tenang.

Bumi baru saja masuk ke dalam kamar. Rambutnya acak-acakan tapi malah menambah wajahnya terlihat tampan. Dia memang sudah berangkat bekerja lagi.

"Aku enggak lelah kok, Mas."

Saat dia mendekat, aku mengatakan itu. Tapi Bumi malah menggelengkan kepala.

"Ada apa kamu dengan laptop? Kamu betah banget di depan laptop kamu itu. Tapi nggak betah di dekatku."

Salah satu alisnya terangkat. Dia duduk di tepi kasur yang memang dekat dengan meja yang sedang aku pakai untuk bekerja ini. Aku jadi salah tingkah mendengarnya mengatakan hal itu.

"Aku enggak... Ehm maksudnya aku enggak merasa nggak betah... "

Ah pipiku terasa panas saat ini. Bumi tersenyum tipis. Jenis senyum yang memang datang dari hati. Bukan senyum basa basi. Dia lalu mengulurkan tangan untuk mengusap kepalaku membuat jantungku berdegup kencang.

"Iya aku tahu. Sekarang mau nemenin aku nggak?"

Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaannya.
"Ke mana?"
Bumi beranjak dari duduknya lalu malah berdiri di belakang kursi roda yang aku duduki. Dia menjauhkanku dari meja. Padahal layar laptopku masih menyala.

"Aku malas suruh nemenin temennya mama. Sama kamu ya?"

Kami memang kembali ke rumah orang tua Bumi. Padahal aku ingin berada di rumahku kembali. Tapi Bumi beralasan aku tidak boleh sendiri lagi. Dia tidak mau mengambil resiko aku sakit lagi.

"Tapi Mas, aku nggak... "

Dan ucapanku terhenti saat tiba-tiba dikecup olehnya. Saat aku menoleh ke kiri, Bumi sudah membungkuk dan nafas hangatnya menerpa samping wajahku. Jantungku berdegup begitu kencang.

"Temani aku, please."

#####

Ternyata yang dimaksud Bumi sahabatnya Mama Olivia adalah mama dari Mbak Nilam. Aku tidak tahu harus bagaimana, karena sejak tadi sampai di ruang tamu ini, aku hanya menjadi pendamping Bumi. Meski ada mama Olivia juga di sini.

"Tante bukannya memaksa kamu, hanya saja yang dikenal Nilam dan yang bisa membujuk Nilam cuma kamu, Bumi. "

Aku sejak tadi sudah kehilangan kepercayaan diri, sejak mengetahui Nilam ternyata mengidap kanker. Dan orang tua Nilam meminta Bumi untuk menikahi Nilam hanya untuk membuat Nilam bahagia.
Haruskah aku egois? Rasanya begitu sakit, meski aku tahu aku sudah menjadi istri sah Bumi.

Tapi Bumi, juga hanya kasihan menikahi ku. Sekarang, mantan tunangannya sedang sakit. Dia yang sangat baik tidak mungkin mengabaikan hal itu.

"Jeng, rasanya kok enggak etis kalau dibahas di sini. Apalagi, ada Kinan. Dia menantuku dan aku juga harus menjaga perasaannya. "

Mama Olivia yang mengatakan itu. Aku hanya terus menunduk dan meremas kedua jemariku di pangkuan. Aku tidak berani mengangkat wajah.

"Tapi aku udah putus asa, Liv. Nilam sepertinya sudah tidak mempunyai semangat hidup. Bahkan menikah dengan entah itu siapa namanya, hanya untuk membuat orang- orang tidak merasa iba kepadanya. Aku nggak kuat Liv. "

Tangisan mamanya Nilam terdengar. Tapi tiba-tiba ada yang mengurai remasan jemariku. Sejak tadi, Bumi memang hanya diam dan duduk di sampingku. Dia tidak mengatakan apapun. Lebih banyak Mama Olivia yang menjawab.

"Tante, saya mungkin mencintai Nilam, saya juga sangat prihatin dengan berita ini. Saya ingin memberikan yang terbaik untuk Nilam."

Aku langsung mengangkat wajah dan menatap Bumi. Dia sedang menatap lurus ke depan. Di mana mamanya Nilam memang duduk di seberang kami. Ekspresinya datar.

"Tante juga tahu kamu masih mencintai Nilam. Kamu perduli sama Nilam. Jadi mau ya nikah sama Nilam?"

Tenggorokanku tercekat dan air mata sudah menggenang di pelupuk. Aku menarik nafas mencoba untuk menenangkan hatiku yang tiba-tiba terasa perih.

Bumi hanya tersenyum tipis. Tapi Mama Olivia sudah terlihat panik.

"Bumi... Kamu nggak boleh menduakan Kinan."

Aku sudah kehilangan rasa percaya diriku lagi. Aku juga tidak boleh egois. Tidak. Nilam orang baik. Denganku dia juga terlihat tulus. Bertemu beberapa kali, Nilam tidak pernah memperlihatkan kalau dia cemburu dengan keberadaanku.

"Saya belum selesai Tante. Mungkin itu yang akan saya katakan, saat tahu kondisi Nilam. Tapi bukan sekarang. Kalau saja Nilam jujur dengan saya saat kami masih menjalin hubungan, saya akan sekuat tenaga membuat Nilam tidak putus asa. Saya akan menikah dengan Nilam dan akan merawatnya. Tapi... "
Genggaman di tanganku terasa kuat saat Bumi tiba-tiba menoleh ke arahku. Aku tidak mau dia melihat mataku. Menunduk adalah caraku saat ini. Tapi tak terasa air mata sudah menetes dan membasahi tangan Bumi.

"Sekarang saya sudah menikah. Bahkan saat putus dengan Nilam, dia sudah ikhlas, saya juga ikhlas. Tidak ada apapun lagi. Saya sudah memiliki Kinan sebagai wanita yang harus saya lindungi, cintai, dan temani sampai akhir hayat. Tidak ada yang lain. Jadi maaf... Saya tidak bisa menerima usul Tante. Saya akan mengusahakan apapun untuk pengobatan Nilam. Hanya sebatas itu."

Bersambung

Mau maraton update nih ramein dulu

Restu Bumi StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang