Jangan lupa vote dan follow sebelum baca ya.. biar makin semangat aku nerusin cerita ini. ☺️
***
"Hari ini kita mau makan apa, Mas?" Tanyaku iseng.
"Kamu pengennya apa? seafood? steak? atau salad aja?" Mas Rimba menaik-turunkan alisnya. Sengaja menggodaku. Sejak hari pertama kami terdampar, apa yang kami makan memang tidak jauh dari ikan, kerang, daun-daunan, pisang, dan kalau sedang beruntung kami bisa makan ayam. Untung saja Mas Rimba sudah ahli membuat api dari gesekan batu, sehingga kami sudah tidak lagi memakan apapun tanpa dimasak.
"Lagi pengen yang kuah-kuah, Mas." Kataku sambil memijat bahu Mas Rimba yang keras dan kecoklatan. Pria ini bukannya terlihat kumel setelah terdampar di pulau terpencil gini, justru dia makin terlihat gagah dan kekar. Ini pasti karena Mas Rimba jadi lebih sering olahraga sendiri karena saking gabutnya tidak ada yang bisa kita lakukan.
Lantas, apa saja yang kulakukan selama mas Rimba berolahraga? Tentu saja aku jadi penonton setia. Memandangi tubuh atletis Mas Rimba sungguh menyenangkan. Apalagi saat ia berkeringat. Mengingat ini adalah kesempatan yang langka untukku memandanginya seperti itu. Kalau di Surabaya? Aku hanya bisa tersenyum pahit mengingat interaksi kami yang sangat minim.
"Oke, nanti coba mas carikan sesuatu untuk bikin sup." Aku mengangguk semangat.
"Mendadak aku jadi rindu royco, Mas." Tiba-tiba aku teringat bubuk MSG yang sangat kusuka sejak masih kecil. Bahkan terkadang aku dan temanku memakannya diam-diam sebagai cocolan gorengan. Pantas saja otakku kadang tidak bekerja dengan benar. Apalagi jika berhadapan dengan Mas Rimba. Rasanya pengen menyerahkan jiwa raga terus padanya. *Eh
"Dasar generasi micin." Mas Rimba menarik tanganku dari bahunya hingga aku terhuyung jatuh dalam pangkuan pria itu.
"Memangnya Mas Rimba nggak suka micin?"
"Nggak tuh." Aku menyipitkan mata tak percaya. Mana ada manusia di bumi yang nggak suka penyedap rasa makanan satu ini?
"Kan aku sukanya kamu." Eh. Udah berani gombalin perawan sekarang ya, Mas Rimba.
"Idih, gombal." Aku memukul dadanya main-main. Mas Rimba tersenyum simpul menangkap jemariku dan mengelus punggung tanganku lembut lalu menarikku ikut berdiri.
Jantungku jadi berdebar. Tatapanku tertuju pada bibir tebal nan empuk milik Mas Rimba.
"Mas, aku boleh cium?" Aku mendongak. Menatap Mas Rimba serius. Consent itu penting.
"My pleasure." Sedetik kemudian bibir kami menyatu. Tanganku merambat memeluk leher Mas Rimba dan meremas rambutnya yang tebal sedikit kasar.
"Unghh.."
Tubuh Mas Rimba yang cukup menjulang membuatku harus berjinjit untuk terus mencecap bibirnya.
"Yang bener ciumnya dong, Mas." Protesku karena Mas Rimba memutus ciuman kami. Mas Rimba terkekeh geli melihat raut kesal di wajahku.
"Gemes banget sih." Mas Rimba malah mencubit kedua pipiku.
"Mas... Aku masih mau cium." Rengekku manja. Namun pria tampan di depanku justru tertawa.
"Peluk aja deh ya.. Mas mau cari bahan makanan dulu. Ntar kalau ciumannya diterusin, kita malah nggak jadi makan." Mas Rimba merengkuhku dalam pelukannya. Pelukan ala beruang yang sudah jadi favoritku tiap malam.
"Hmm.." Balasku setengah enggan kemudian membalas pelukan Mas Rimba sama eratnya.
***
"Waahh... Malam ini kita pesta sup jamur." Seruku girang melihat apa saja yang dibawa Mas Rimba dalam sebuah wadah yang terbuat dari sulur tanaman.
"Ini kan, yang kamu mau?" Mas Rimba mengacak rambutku gemas.
"Makasih, Mas."
"Sama-sama."
"Aku aja yang masak deh Mas. Mas Rimba duduk aja yang manis, tiduran juga boleh. Dijamin masakan chef Violetta pasti enak." Aku mengangkat jempolku penuh percaya diri.
Mas Rimba mengulas senyum simpul.
Baiklah, saatnya chef Violetta beraksi.
Dengan cekatan aku segera mengolah jamur-jamur beraneka bentuk yang ditemukan Mas Rimba. Semuanya bewarna kecoklatan, semoga saja tidak ada jamur beracun di antaranya. Karena setauku tanda jamur beracun itu dari warnanya yang cerah.
Tanpa fikir panjang, aku segera membersihkan jamur-jamur itu dengan air sungai yang sudah disiapkan Mas Rimba.
Saat aku hendak mencari batu untuk membuat api, Mas Rimba ternyata sudah lebih dulu menyiapkan perapian sebagai kompor. Aku tersenyum melihatnya begitu cekatan menyiapkan semuanya untukku.
"Udah.. mas tiduran aja sana. Biarin aku yang masak untuk malam ini." Seruku saat Mas Rimba mencoba mengambil alih panci stainless steel penyok yang kami temukan di pantai.
"Aku bisa bantuin kamu jadi asisten chef."
"Nope. Mas Rimba istirahat aja, ya.." Usirku sambil mendorong tubuhnya yang besar menjauh.
"Ok. Tapi kalau kamu butuh bantuan, langsung panggil aku." Ucapnya dengan serius. Aku hanya merotasikan mata dan berbalik kembali meneruskan masak.
Dengan segala keterbatasan, aku berhasil memanaskan air sampai mendidih. Kemudian aku memasukkan beberapa kerang untuk membuat kuah kaldu, kemudian kumasukkan aneka rupa jamur yang sudah aku suwir-suwir sehingga nantinya akan lebih mudah dimakan. Apalagi ada satu jamur yang lebih besar dari yang lain. Warnanya juga lebih hitam. Saat pertama kali aku melihatnya, otakku langsung traveling kemana-mana karena bentuknya yang sangat mirip dengan kejantanan pria. Please don't judge me!
Sepertinya masakanku sudah matang. Dengan semangat aku berjalan menuju gua dan mendapati Mas Rimba sedang tertidur berbantalkan lengan.
"Mas.." Panggilku pelan di telinganya. Tidak ada reaksi.
"Mas Rimba.." Ku elus pipinya perlahan. Wajah Mas Rimba saat tidur sangat menggemaskan. Tidak ada aura dingin sama sekali yang bisa kudapati seperti saat ia membuka mata. Mas Rimba yang kukenal sebelum terdampar di pulau ini jarang sekali terlihat peduli dengan sekitarnya, tatapannya dingin, dan hanya bicara seperlunya. Sangat berbeda sosoknya dengan Mas Rimba yang sekarang.
"Vi.." Erang Mas Rimba saat terbangun dengan wajahku yang begitu dekat dengan wajahnya.
"Makan dulu yuk, mumpung masih panas supnya."
"Oke." Mas Rimba bangkit dengan memelukku.
Tanpa banyak kata, kami segera menyantap sup jamur ala kadarnya yang kumasak.
"Enak." Bola mata Mas Rimba membesar lalu menoleh ke arahku.
"Kamu pinter banget masaknya." Puji Mas Rimba tulus.
"Hehehe.." Aku tersipu dengan pujiannya. Kemudian kami meneruskan makan hingga tandas seluruhnya.
"Makasih masakannya." Mas Rimba mengulurkan tangannya untuk mengelus rambutku.
"Setelah ini, biar aku aja yang masak ya Mas. Mas kan udah capek nyari bahan makanan kita." Mas Rimba selama ini selalu mencegahku untuk ikut melakukan sesuatu semenjak kami menemukan tempat ini.
"Baiklah... Kita kerjakan sama-sama." Mas Rimba mengelus pipiku lembut.
"Deg." Sentuhan Mas Rimba membangkitkan sesuatu yang asing dari tubuhku. Tiba-tiba saja tubuhku menggigil dan aku merasakan geli di bawah sana. Dan Gatal.
"M--Mas... Sepertinya ada yang nggak beres sama badan aku." Aku merapatkan kakiku. Sesuatu mengalir di bawah sana. Aku merasa basah. Tapi bukan mens.
"Kamu kenapa, Vi?" Mas Rimba berseru panik.
"Nghh.. Mas. Panas.." Erangku sambil menghambur ke pelukan Mas Rimba.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Terdampar (END)
Lãng mạnVioletta tidak menyangka perjalanan study tour ke Australia yang sangat ia nanti-nantikan justru berakhir petaka. Pesawat yang mereka tumpangi hilang kontak dan jatuh di perairan Papua. Untungnya Violetta bisa selamat meski ia harus terdampar dengan...