9: Suku Qriqoa

14.7K 811 24
                                    

Hai... Jangan lupa follow dan vote dulu sebelum baca. Komen juga dong, tulis jam berapa kamu baca part ini 😊

***

"Kau tidak perlu khawatir. Kekasihmu akan sembuh dalam waktu kurang lebih seminggu." Dokter Frans mengerling jail pada Rimba yang matanya terus mengawasi pergerakan Violetta di atas ranjang kayu. Rimba membalas kerlingan mata dokter Frans dengan senyuman kaku.

Dokter Frans memberikan cairan obat yang telah ia racik pada Violetta. Gadis itu meminum obatnya cepat, kemudian ia segera meminum air untuk menghilangkan rasa obat yang pahit dan sedikit berbau menyengat.

"Terima kasih, dok." Violetta mengembalikan mangkuknya.

"Sama-sama."

"Oh ya, kalian sudah harus telanjang sebelum kepala suku datang."

"Apakah kami benar-benar harus telanjang, dok? bagaimana kalau nanti kedinginan?" Tanya Rimba.

Dokter Frans menganggukkan kepala maklum. Dulu saat ia pertama kali menjejakkan kaki di tempat ini juga mempertanyakan hal ini. Bahkan ia sempat akan diusir segera saat ia bertemu dengan kepala suku.

"Yes. Absolutely. Kalian harus mengikuti aturan kesetaraan di tempat ini, yaitu dengan menanggalkan seluruh atribut pakaian dan aksesoris yang melekat di tubuh. Itu sudah aturan mutlak di tempat ini, kalau tidak mau mengikuti.. kalian akan diusir." Violetta menelan ludahnya gugup.

"Kalian tidak usah khawatir, suku Qriqoa memiliki ramuan ajaib penangkal panas dan dingin."

"Ramuan ajaib?"

"Ah... sebelum itu, I think.. kalian harus mandi yang benar. Karena... kalian sangat... dekil." Kata dokter Frans dengan seringaian dan nada penuh penekanan di kata terakhir.

"O-okay... sepertinya kami memang harus mandi." Rimba mengamati pakaian lusuh yang ia dan Violetta kenakan. Hampir satu bulan mereka mandi tanpa sabun dan shampoo. Mereka hanya menggunakan tanaman-tanaman herbal yang mereka jumpai sebagai pengganti produk-produk tersebut.

"Tapi, sebelum itu. Saya boleh tanya sesuatu dok?"

"Go ahead. Tanya saja, di kawasan ini semua bebas bertanya."

"Apa... dokter Frans membawa alat komunikasi atau semacamnya?"

"Tidak. Saya tidak membawa barang-barang pribadi satupun ke tempat ini. Hanya saja, saya membantu penduduk di sini mendapatkan barang-barang kebutuhan bersama dari pulau Jawa dengan kapal." Jawaban dokter Frans sempat membuat Rimba kecewa dan berubah berbinar saat oa mendengar kalimat terakhir.

"Kapal dok? Kami boleh menumpang kembali ke pulau Jawa?" Tanya Rimba penuh harap.

"Tentu saja. Rencananya saya juga akan kembali ke Jawa. Tetapi.. kapal yang menjemput saya cuma bisa beroperasi kurang lebih lima bulan lagi."

"Lama banget, dok." Violetta menimpali dengan raut tidak puas.

"Ya... mau bagaimana lagi. Untuk bisa sampai ke pulau ini sangat tidak mudah, tahu. Kapal harus memilih hari yang tepat untuk melewati pusaran air ganas yang mengelilingi pulau ini. Dan hari yang tepat itu hanya ada 3 hari dalam satu tahun. Keren, kan?" Jelas dokter Frans dengan ekspresi angkuh.

Dalam hati, Violetta mempertanyakan alasan dokter Frans melakukan penelitian di tempat aneh ini. Namun ia menyimpan pertanyaan itu untuk nanti, karena waktu mereka berada di sini akan sangat panjang.

"sqaqyqaqnqgq..." Seorang wanita cantik berkulit eksotis masuk ke ruangan.

"Yes, baby.. aku sudah selesai." Dokter Frans menyambut wanita itu dengan pelukan dan membawa wanita itu duduk di pangkuannya. Dan, ya.. keduanya sama-sama telanjang. Violetta segera mengalihkan tatapannya dari adegan 21+ yang sedang berlangsung.

"Perkenalkan, wanita cantik ini adalah istriku, Qasha. Dia adalah anak kepala suku Qriqoa yang ke-dua." Dokter Frans memperkenalkan istrinya yang sedang menciumi lehernya pada kedua tamu asing yang sedang salah tingkah di ruangan ini.

"Hahaha... tidak usah malu begitu. Di sini mempertunjukkan affection itu sudah lumrah dan jadi budaya. Kalian harus cepat membiasakan diri." Dokter Frans terkekeh geli sambil tangannya mulai mengelus sensual perut istrinya yang sedikit membuncit.

"..."

"Oke oke.. saya akan pergi dari sini, kalian segeralah membersihkan diri dan tanggalkan baju-baju kalian." Dokter Frans bangkit dengan Qasha yang masih menempel erat seperti anak koala.

"Kalian akan betah tinggal di sini. Saya jamin." Dokter Frans mengedipkan sebelah matanya kemudian keluar ruangan, meninggalakan Rimba dan Violetta yang wajahnya sudah memerah salah tingkah.

***

"Kita nanti beneran sehari-hari telanjang begini, Mas?" Tanya Violetta seusai mandi bersama Rimba. Dengan telaten Rimba mengeringkan tubuh Violetta menggunakan handuk kering yang diberikan oleh orang pedalaman yang sebelumnya bersikap ramah saat menangkap mereka dengan jaring. Tadi orang itu menyebutkan Qota sambil menunjuk dirinya sendiri, sehingga Violetta dan Rimba berasumsi bahwa nama pemuda itu adalah Qota.

"Kita nggak punya pilihan lain."

"Tapi aku malu, Mas. Dan takut juga kalau dilihiatin cowok-cowok di sini."

"I'll protect you. Tenang aja. Yang harus kamu khawatirin justru aku yang nggak bisa nahan diri saat melihatmu telanjang 24/7." Rimba memeluk tubuh telanjang Violetta dari belakang. Gadis itu menahan nafasnya. Wangi sabun yang menguar dari Rimba membuatnya deg-degan.

"Kalau Mas Rimba yang lihatin aku sih nggak masalah." Violetta melepas pelukan Rimba kemudian berbalik. Kini mereka berdua saling berhadapan. Violetta yang tingginya hanya sebatas pundak Rimba sedikit mendongak untuk bisa menatap mata Rimba.

"Let's survived until the end." Bisik Violetta lantas berjinjit mengecup bibir Rimba lembut.

Malam harinya Rimba dan Violetta diantar menghadap ke kepala suku dengan tanpa berpakaian.

Seorang pria tua berambut silver dengan kulit hitam dan mata bewarna biru terang menyambut keduanya dengan ramah.

Kepala suku bahkan menjamu mereka dengan hidangan selayaknya festival. Daging bakar, ikan, kepiting, sate gurita, hingga kalkun asap semua tertata rapi di sebuah meja panjang.

Rumah kepala suka terletak di bangunan rumah pohon yang paling tinggi. Beberapa tetua juga ikut hadir di sana. Bapak-bapak yang sebelumnya memimpin jalan Rimba dan Violetta juga ada di sana, sedang minum-minum dengan wajah gembira.

"Kepala suku bilang, kalian telah diterima tinggal disini secara resmi. Tetapi kalian harus segera menikah,   Di sini pria dan wanita tidak diperkenankan melajang saat umurnya sudah 16 tahun." Dokter Frans menerjemahkan ucapan kepala suku.

"Bagaimana caranya kami menikah? Di sini tidak ada kantor urusan agama, bukan?" Tanya Mas Rimba yang angguki Violetta dengan antusias. Meskipun dia sangat menyukai Rimba, gadis itu belum siap bila harus menjadi seorang istri yang berat tanggung jawabnya.

Dokter Frans tersenyum simpul.

"Saat kalian ada di Roma, berperilakulah selayaknya orang Roma."

"Ungkapan tersebut juga berlaku di tempat ini. Di sini menikah tidak memerlukan formalitas dengan pemerintah pun dengan agama. Suku Qriqoa memiliki hukum adatnya sendiri."

Kepala suku yang tidak mengerti hanya menyimak pembicaraan orang-orang asing di hadapannya dengan senyum berwibawa.

Sedangkan Violetta, gadis itu masih terlihat gugup dan tidak nyaman bertelanjang diri di depan banyak orang.

Apalagi beberapa tetua tampak santai mengamati tubuhnya sejak awal kedatangan mereka.

"Kapan kami akan dinikahkan?" Tanya Rimba lagi sambil menarik Violetta ke belakang tubuhnya. Menghalangi tatapan lapar dari para tetua yang terang-terangan mengamati tubuh keduanya.

Dokter Frans berdiskusi sebentar dengan kepala suku, kemudian beralih kembali pada Rimba.

"Semakin cepat maka semakin baik. Besok malam, tepat malam bulan purnama. Kita akan melakukan festival pernikahan kalian berdua." Kata dokter frans serius.

Violetta meremas genggaman tangan Rimba dan dibalas dengan remasan yang sama.

***
TBC.

Terdampar (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang