Aku tersenyum kecil memandangi kartu undangan yang akan segera dikirimkan untuk orang-orang terdekat yang akan menghadiri pesta pernikahanku dan Mas Rimba. Mama, Papa dan Vidi adikku akhirnya kembali ke Indonesia untuk menghadiri pernikahanku. Saat pertama kali bertemu setelah sekian lama, Vidi langsung memelukku erat dan menangis karena baru tahu berita tentangku. Aku memakluminya, karena orang tuaku pasti menyembunyikan kabar buruk itu darinya. Viridian Zaffre Hasaka atau yang lebih akrab dipanggil Vidi adalah tipikal anak kebanggaan keluarga. Dan dia menjadi anak paling disayang orang tuaku karena riwayat auto imun yang menyerangnya dulu saat masih kecil. Jadi, mungkin orang tuaku hanya tidak ingin Vidi kepikiran dan justru jatuh sakit di Korea sana.
"Kamu suka undangannya?" Tanya Mas Rimba. Saat ini aku dan Mas Rimba sedang keluar rumah dengan Mas Rimba yang menyetir untuk mengantarkan surat undangan secara langsung kepada orang-orang terdekat kami.
"Suka. Tapi kenapa designnya kayak tiket pesawat gini?"
"Karena..." Mas Rimba menggantung kalimatnya. Dengan satu tangan yang bebas dari stir mobil, Mas Rimba menggenggam tanganku.
"Kita jadi terikat setelah kecelakaan pesawat itu. Saya ingin menjadikannya momento, bukan hanya sebagai musibah yang telah kita lewati, tetapi juga akhir bahagia yang nanti kita jalani." Mas Rimba tersenyum lembut sekilas. Aku hanya mengulum senyum mendengar alasannya yang tidak terpikirkan sama sekali olehku.
"Kalau warnanya? Kenapa harus merah gini sih? Kan Wedding itu identik sama warna-warna klasik seperti putih, gold, krem, atau pink."
"Coba tebak kenapa." Mas Rimba mengerling jail. Membuatku jadi curiga, jangan-jangan kali ini alasannya super random atau receh karena Mas Rimba kan secara usia sudah masuk kategori bapak-bapak muda, meskipun masih hot tentunya.
"Karena cinta Mas Rimba ke aku lagi membara?" Ucapku asal, menyerah sajalah biar Mas Rimba cepat ngasih tahu alasan sesungguhnya.
"Bukan sesuatu yang insightful sih artinya, nama kita Rimba dan Violetta, Kalau disingkat jadi RV. Red velvet. Udah gitu aja." Jelas Mas Rimba dengan tawa kecil karena berhasil membuatku tidak terkesan. Lalu aku mencebikkan bibir, sedikit kecewa karena artinya tidak sedalam yang kuharapkan.
"Yang penting kamu suka kan, sama designnya?" Mas Rimba mengacak poniku sekilas, lalu kembali serius menyetir. Mobil Mas Rimba kini berbelok masuk ke daerah perumahan elit kawasan Surabaya, Royal Garden.
"Dompetnya ada di Mas Rimba, kan?" Tanyaku memastikan. Setelah kejadian aku pingsan ketika melihat foto yang ada di dalam dompet Bu Sheila, Mas Rimba memaksa ikut untuk mengembalikan dompet ini, sekaligus mencari tahu siapa orang yang ada di foto tersebut.
"Ada."
Mas Rimba menurunkan jendela dan tersenyum tipis pada security yang berjaga di kediaman Bu Sheila dan Pak Dava.
"Yuk." Mas Rimba membukakan pintu mobil untukku. Dengan satu tangan ia menggandengku, dan tangan yang lain ia menyerahkan kunci mobil kepada bapak-bapak security untuk memarkirkan kendaraan kami. Karena aku bisa melihat banyak mobil berbeda warna dan merk di garasi rumah Pak Dava.
"Gede banget ya Mas, rumah Pak Dava sama Bu Sheila." Gumamku lirih.
"Iya, ntar habis ini Mas Nabung, biar bisa bikin rumah lebih gede dari ini. Kalau perlu Mas Bikinin yang lebih tinggi kayak rumah pohon yang ada di mimpi kamu itu." Kata Mas Rimba dengan ekspresi datar. Aku mengelus lengan atas Mas Rimba dengan tawa kecil.
"Aku kan bukan lagi ngode, Mas. Situ over-thinking banget sih." Balasku dengan cengiran.
Mas Rimba merapikan kembali poniku, lalu kami segera berjalan menuju pintu rumah mewah Pak Dava. Pintu raksasa bewarna putih gading itu langsung terbuka. Bu Sheila rupanya sudah mengetahui kedatangan kami.
"Akhirnya sampai juga. Tadi macet?" Sambut Bu Sheila dengan nada sumringah. Aku mengangguk kecil lalu menyalimi Pak Dava yang notabene adalah kepala sekolahku dulu dan Bu Sheila yang justru mengajakku untuk berpelukan.
"Selamat datang di rumah kami." Pak Dava menjabat tangan Mas Rimba. Selanjutnya kami dibawa ke ruang tamu yang berhadapan langsung dengan kolam renang outdoor.
"Gimana, persiapan pernikahan kalian? Ada yang bisa Ibu bantu?" Tanya Bu Sheila dengan semangat empat lima. Aku ikut tersenyum lebar karena melihat tingkah guruku satu ini.
"Tinggal fitting aja kok Bu, semua udah Mama urus." Jawabku.
"Kamu jangan banyak pikiran ya, sayang. Bilang sama Bu Sheila kalau kamu butuh sesuatu." Bu Sheila menggenggam tanganku erat. Aku pun mengangguk sopan, meski pada kenyataanya aku sangat tidak enak hati terus-terusan merepotkan.
"Oh ya, dompet Bu Sheila jatuh di rumah Violetta tempo hari. Mohon maaf, kami melihat isinya." Kata Mas Rimba menyerahkan sebuah dompet lusuh berwarna coklat pada Bu Sheila. Aku menelan ludah saat melihat dompet itu lagi.
"Dan Violetta pingsan setelah melihat foto seseorang di sana. Kalau boleh tahu, itu siapa ya Bu?" Sambung Mas Rimba, kali ini ia merapatkan duduknya dengan ku. Tangannya yang besar melingkari pinggangku.
Bu Sheila menatap lama dompet di tangannya. Ekspresinya yang semula ceria kini berubah suram. Ada emosi besar yang selama ini ia simpan sehingga membuatnya seperti sulit berkata-kata.
"Dia, Frans. Kakak pertama Sheila yang menghilang dalam kecelakaan kapal lima tahun yang lalu." Pak Dava yang menjawab. Aku dan Mas Rimba saling berpandangan.
"Apakah... kecelakaan itu juga terjadi di perairan Papua?"
"Sayangnya ya. Karena itu, saat Sheila ditugaskan menemani keberangkatan study tour itu, dia mengundurkan diri karena dia punya trauma dengan kendaraan yang menyebrangi pulau." Pak Dawa merangkul Bu Sheila. Bu Sheila mengangkat wajahnya untuk menatapku.
"Jangan-jangan... kalian bertemu dengan Abang saya saat kalian menghilang?" Tanya Bu Sheila dengan setitik harapan yang tersisa di matanya. Aku dan Mas Rimba menggeleng pelan.
"Maaf Bu, kami benar-benar tidak bisa mengingat apapun setelah kecelakaan itu." Mas Rimba yang menjawab.
"Tapi saya seperti pernah melihatnya, Bu." Sahutku cepat. Lalu Bu Sheila terisak, air matanya tumpah di bahu Pak Dava.
"Semoga benar Abang saya masih hidup, entah di mana." Kata Bu Sheila sambil menerima tisu yang kuulurkan. Pak Dava masih setia mengelus punggung Bu Sheila, menenangkan sang istri yang biasanya ceria kini terlihat begitu tak berdaya.
"Terima kasih sudah mengembalikan ini." Bu Sheila mengelus dompetnya seraya tersenyum getir.
"Sama-sama Bu, Saya uga berharap Abangnya Bu Sheila suatu saat nanti akan kembali seperti saya dan Mas Rimba." Kataku dengan senyum tulus.
Setelah Bu Sheila tenang, Pak Dava kemudian mengalihkan topik yang berat ini dengan persiapan pernikahanku dan Mas Rimba Minggu depan. Setelah makan siang bersama, kami pun pamit dan tak lupa memberikan surat undangan untuk Bu Sheila dan Pak Dava.
***
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terdampar (END)
Storie d'amoreVioletta tidak menyangka perjalanan study tour ke Australia yang sangat ia nanti-nantikan justru berakhir petaka. Pesawat yang mereka tumpangi hilang kontak dan jatuh di perairan Papua. Untungnya Violetta bisa selamat meski ia harus terdampar dengan...