13: Unexpected

12.1K 510 16
                                    

Seberapa berat kehidupan yang kita jalani, waktu tetaplah harus berjalan maju. Dan kita hanya harus berfokus dengan apa yang bisa kita kontrol agar tidak malah depresi.

Beberapa minggu telah berlalu tanpa terasa. Kini aku sudah mulai beradaptasi dengan budaya suku Qriqoa yang tidak sama lazimnya dengan hidup di Surabaya.

Siang hari aku ikut membantu Kak Qasha membuat kudapan yang dijual di restoran bawah tanah milik dr. Frans. Sedangkan Mas Rimba akan membantu dr. Frans mengumpulkan akar dan daun-daunan herbal di hutan.

Lalu setiap malamnya aku akan memenuhi kebutuhan Mas Rimba agar tetap dalam kondisi normalnya. Ya, kami harus bercinta setiap malam jika tidak ingin Mas Rimba kelaparan san berubah menjadi makhluk yang tak berjiwa.

Aku melakukannya dengan tulus. Dan yang membuatku sangat senang adalah Mas Rimba jadi sangat memanjakanku setelah itu.

"Kita pergi ke pantai yuk hari ini?" Mas Rimba menghampiriku yang sedang duduk menyendiri memandangi hutan belantara yang menyejukkan mata.

"Ngapain, Mas?" Tanyaku sedikit malas. Jujur, aku masih lelah setelah digempur Mas Rimba semalaman. Bahkan paginya pria itu masih minta tambah.

Nikmat sih, tapi aku takut. Karena selama melakukan "itu", Mas Rimba selalu mengeluarkannya di dalam.

"Jalan-jalan." Jawab Mas Rimba, sukses membuatku tergiur.

Dan di sinilah kami sekarang, berada di bibir pantai yang letaknya berlainan dengan pantai di mana kami dulu terdampar.

Pantai ini jaraknya cukup dekat dengan perkampungan suku Qriqoa, apalagi ada jalan pintas yang bisa ditempuh jika lewat jalan bawah tanah.

Tidak ada banyak perbedaan pantai ini dengan pantai tempat kami terdampar. Pasir putih, laut biru kehijauan yang bening dan beberapa sampah yang tersebar di beberapa titip bibir pantai. Sepertinya sampah dari laut Jawa terbawa arus kemari. Buktinya, kami menemukan sampah-sampah dengan logo yang kami kenal.

"Mas, itu apa?" Tanyaku sambil menunjuk ke arah lautan.

Mas Rimba menyipitkan matanya, mencoba mengamati dengan lebih jelas.

Kami saling berpandangan beberapa saat.

"Itu kapal, kan Mas?" Tanyaku lagi memastikan. Mas Rimba mengangguk, mengonfirmasi bahwa penglihatanku bukanlah halusinasi.

"Mungkin nggak ya Mas, kita numpang sampai Surabaya?"

Mas Rimba mengedikkan bahu.

"Kita tidak tahu pasti, itu kapal asing atau milik penduduk di sini." Ucapan Mas Rimba membuatku menghela nafas panjang. Jangan terlalu berharap, Vio. Batinku pada diri sendiri.

"Masih 4 bulan lagi. Sabar ya.." Mas Rimba menarikku masuk ke dalam pelukannya. Membuat perasaanku terasa lebih baik.

Perlahan kapal tanpa bendera itu menepi. Kemudian beberapa orang yang berpakaian serba hitam turun dari kapal.

"Kami dari tim SAR. Apa kalian..  mungkin adalah korban jatuhnya Pesawat 4 bulan lalu?" Tanya salah seorang dari mereka. Membuatku dan Mas Rimba saling tatap tak percaya.

"Kalian benar-benar dari tim SAR?" Tanyaku kembali memastikan.

Kemudian salah satu dari mereka maju menyerahkan kartu tanda pengenal.

Mereka benar dari tim SAR. Ya ampun, bagaimana bisa? dr. Frans pernah bilang mustahil untuk sampai ke pulau ini dengan selamat tanpa mengenal betul hari yang memungkinkan untuk dilakukan perjalanan. Apa mungkin...

Aku masih saling tatap dengan Mas Rimba.

Kemudian seorang anggota paling muda bersuara.

"Mas, Mbak, kalian nggak pengen pakai baju dulu kah?" Kata orang itu dengan tangan menutupi wajah meski jemari tangannya saling berjarak mengintip.

Terdampar (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang