Ternyata bisa aku ngetik part ini pake hp butut wkwk. Terima kasih do'anya ya.. stay safe!!
Ps:
Konflik sebenarnya akan segera dimulai, mohon bersabar teman-teman 😭🙏***
"Gila, ya... Hampir tiga harian mereka nggak keluar kamar. ML terus kayak kelinci." Bisik Rido, membuka percakapan di meja makan. Sudah hampir empat hari mereka terapung di lautan lepas. Ombak yang begitu ganas, membuat nahkoda kapal yang juga pemimpin pencarian korban jni memutuskan untuk mematikan mesin. Karena ombak yang begitu dahsyat hanya akan menghabiskan bahan bakar tanpa bisa melaju sesuai arah.
Fandi yang sedang asik memancing terkekeh.
"Ngomong ae kon ngiri sama mereka." (Bilang saja kamu iri sama mereka)
Rido mendengkus.
"Memang iri sih... Udah 3 Bulan nggak ketemu istri loh, Fan." Elak Rido nelangsa.
"Namanya juga masih muda, apalagi di pulau itu mereka didoktrin buat jadi kayak binatang yang selalu telanjang kemana-mana." Celetukan Pak Agus membuat seluruh awak kapal seketika jatuh berlutut.
Mereka semua terbatuk dengan darah segar yang menyembur dari seluruh lubang di tubuh mereka.
Lalu beberapa saat kemudian, kapal itu menjadi hening seketika.
Kecuali dua manusia yang sedang memadu kasih di dalam kamar, desahan dan erangan mereka masih sayup-sayup terdengar saling bersahutan.
***
Cahaya yang begitu terang membutakan mataku. Hanya suara-suara berisik yang masuk ke dalam gendang telingaku, tanpa bisa aku mengerti.
Sedetik kemudian kepalaku berdenyut hebat. Diikuti dengan suara seperti radio rusak yang memenuhi indra pendengaranganku.
Apa aku sedang tidur?
Aku tidak bisa merasakan apapun selain rasa sakit di kepalaku. Bahkan aku tidak kuasa untuk menggerakkan tanganku.
"Berisik." Gumamku lirih. Suara berisik seperti radio rusak masih mengganggu pendengaranganku.
Mataku berdenyut, sebuah titik gelap tiba-tiba muncul di depan sana. Cukup jauh, tapi aku merasa bisa menjangkaunya. Titik hitam itu semakin dekat. Hingga dalam hitungan detik aku merasa tersedot masuk ke dalamnya.
"Sayang... Kamu sudah sadar?" Kelopak mataku bekedut lalu membuka perlahan. Cahaya yang menyilaukan membuat mataku kembali terpejam.
"Pah... Anak kita sudah sadar." Aku mendengar suara Mamaku begitu dekat. Mama?
Kepalaku kembali berdenyut. Aku mencoba kembali membuka mata, berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk tiba-tiba ke dalam netra.
"Bagaimana keadaanmu, nak?" Tanya Papa dengan nada khawatir. Aku belum pernah mendapati nada khawatir dari mulut papa seperti ini sebelumnya.
"A..rgh.." aku mencoba menjawab namun suaraku enggan keluar. Air mata kemudian luruh di kedua pipiku.
Kurasakan Mama dan Papa menggenggam sebelah tanganku yang tidak terpasangi kabel infus.
"Pelan-pelan sayang.. kamu masih butuh istirahat. Papa dan Mama bersyukur sekali kamu bisa selamat. Jangan dulu pikirkan kejadian mengerikan yang sudah kamu alami."
Kejadian apa? Kurasakan kepalaku kembali berdenyut.
"Iya sayang, kamu harus fokus untuk penyembuhan kamu dulu. Biar Papa nanti yang urus semuanya." Ucap Mama yang kemudian disambung dengan datangnya tenaga kesehatan yang ingin memeriksa keaadanku.
"Sebaiknya biarkan Mbak Violetta istirahat dulu Bapak Ibu, kondisinya masih sangat lemah." Ucap seorang pria yang tidak bisa kulihat wajahnya. Tubuhku masih tidak bisa kugerakkan.
"Nanti kalau seluruh indra Mbak Violetta sudah responsif, baru boleh diajak bicara lagi. Mari Pak, Bu," Sepertinya dokter itu membawa orang tuaku keluar. Kini hanya ada aku sendiri di dalam ruangan serba putih ini.
Dengan tubuh yang belum bisa bergerak dan kepala yang terus berdenyut membuatku merintih hingga aku terlelap kembali.
***
Sementara itu.. di kamar yang lain dengan dominasi warna juga serba putih, Rimba duduk bersandar di atas bed VIP dengan beberapa aparat kepolisian dan tim dokter mengelilinginya. Di luar pintu sana para reporter sedang menunggu dengan tidak sabar, ingin tahu bagaimana kisah fantastis korban pesawat berbulan-bulan yang lalu bisa berhasil selamat.
"Kamu sungguh tidak ingat bagaimana kamu ada di kapal milik Tim SAR?" Tanya seorang pria dengan seragam kepolisian yang berpangkat paling tinggi di antara yang lain.
Rimba menggeleng pelan. Pria itu masih mencoba menyatukan puzzle ingatan di dalam memori otaknya. Namun belum berhasil.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan anggota kami? Bagaimana bisa mereka mati dengan kondisi yang sama dan hanya kalian berdua yang selamat?" Sambung seorang pria berkaus orange dengan berapi-api. Rimba masih tercenung dalam pikirannya sendiri.
Pria itu seperti hilang ingatan.
Terakhir kali yang ia ingat adalah tubuhnya yang terpelanting ke lautan bersama teman adiknya.
"Maaf, saya tidak ingat sama sekali." Kata Rimba akhirnya dengan suara lemah.
"Tampaknya kondisi psikologis Pak Rimba masih belum stabil. Mohon biarkan beliau istirahat lebih lama." Pinta seorang dokter dengan jas putihnya.
Rimba membuang pandangan ke arah pintu. Puluhan wartawan sudah saling berdesakan mengintip dari pintu yang memiliki sedikit bagian kaca transparan.
"Baiklah. Mohon informasikan kami segera jika ada perkembangan." Para rombongan berseragam polisi itu akhirnya pamit dan langsung diserbu para wartawan saat mereka keluar.
Rimba menghela nafas berat. Dia masih merasakan pening di kepalanya.
"Sakit kepala?" Tanya seorang suster. Dengan sigap ia kemudian menyuntikkan sebuah cairan ke selang infus yang masih melekat di pergelangan tangan Rimba.
"Tekan tombol dekat drawer jika butuh sesuatu, ya." Kata dokter itu lalu pamit pergi diikuti beberapa tenaga medis yang ikut membantu.
Akhirnya Rimba sendiri di ruangan ini. Ruangan serba putih yang sangat ia benci.
Beberapa saat kemudian kantuk memaksa Rimba untuk kembali terlelap.
***
Breaking News
Dua korban kecelakaan pesawat di perairan Papua ditemukan dalam kondisi selamat di kapal milik Tim SAR yang melakukan misi pencarian. Namun naas, awak kapal sekaligus anggota Tim SAR tersebut seluruhnya ditemukan tewas di dalam kapal tersebut dengan kondisi yang mengenaskan. Kami masih berusaha mencari informasi dari pihak berwenang mengenai kejadian ini, mohon untuk--- pip.
Aurora mematikan televisi dengan tergesa. Hampir saja ia tersedak ludahnya sendiri saat melihat kakaknya di televisi bersama sahabatnya dalam pakaian lusuh sedang dibawa ke dalam ambulance.
Aurora benar-benar tidak menyangka do'anya di kabulkan oleh Tuhan.
Tanpa menunggu lama, Aurora bergegas menelfon pamannya untuk meminta bantuan agar bisa segera bertemu dengan kakak satu-satunya tersebut.
Gadis berambut pendek itu sudah terisak dalam tangisan bahagia saat pamannya muncul dengan mobil SUV miliknya.
"Ayo berangkat." Seru Okto hanya dengan menurunkan jendela mobil. Aurora langsung masuk ke dalam mobil dan kembali merapalkan rasa syukurnya atas keajaiban yang benar-benar terjadi.
"Jangan lihat berita dulu ya, setelah ini." Kata Okto sambil menjalankan mobil. Aurora mengernyitkan dahi.
"Kenapa, paman?"
"Bukan hal penting. Fokus saja dengan kondisi kakakmu nanti."
***
TBC.
Ada pertanyaan nggak sejauh ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Terdampar (END)
RomanceVioletta tidak menyangka perjalanan study tour ke Australia yang sangat ia nanti-nantikan justru berakhir petaka. Pesawat yang mereka tumpangi hilang kontak dan jatuh di perairan Papua. Untungnya Violetta bisa selamat meski ia harus terdampar dengan...