23: Bubur

9.7K 727 27
                                        

Double update loh ni... Kuy follow sama komen dulu. 😘

***

"Violetta... Violetta.." Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Ini mimpi. Aku tahu itu, karena aku kembali ke tempat ini. Sebuah tempat yang akhir-akhir ini selalu ada di dalam mimpiku.

Di atas rumah pohon raksasa, aku melihat hutan yang begitu luas mengelilingiku. Kali ini, langit berubah malam. Cahaya sinar rembulan bersinar lembut memberikan penerangan.

Dalam mimpi aku bisa mencium aroma laut yang pekat. Lalu seseorang kembali memanggilku. Lalu aku berpindah tempat. Kali ini aku berbaring di atas pelataran batu. Rasa dingin seperti menyetrum kulitku. Bukan dari batu yang menjadi alasku berbaring, namun sebuah telapak tangan besar tengah mengelus lembut betisku.

Tak ayal, suara erangan keluar dari bibirku. Siapa? Aku mencoba bangkit untuk melihat siapa yang sedang meraba tubuhku, namun tiba-tiba sebuah cahaya menyilaukan menerpa wajahku. Dan aku terbangun.

Di sisi tempat tidurku ada Mas Rimba yang sedang terlelap dengan sebelah tangan menyangga kepala. Rambutnya sedikit berantakan dan lengan kemejanya sudah digulung sedikit, menandakan ia terburu pulang dari kantor agar bisa segera ke sini. Pasti Aurora yang menghubunginya.

Kuubah posisiku menjadi miring, agar bisa menatapnya lebih nyaman.

Namun, saat aku membuat gerakan berbalik Mas Rimba justru terbangun. Pria itu mengerjapkan matanya, berusaha menghilangkan kantuk. Aku melirik nakas, sudah pukul 11 malam. Lama juga aku tertidur.

"Kamu sudah bangun?" Tanya Mas Rimba dengan suara beratnya. Telapak tangan Mas Rimba yang besar mendarat di pipiku, mengelusnya lembut. Aku memejamkan mata untuk meresapi kenyamanan yang diberikan Mas Rimba untukku.

"Hmm." Gumamku mengiyakan. Mas Rimba lalu berpindah duduk di tepi ranjangku.

"Ada yang sakit?"

"Nggak ada."

"Mau makan sesuatu?" Tanya Mas Rimba lagi. Kulirik nakasku yang sudah penuh dengan piring buah dan roti. Sepertinya itu ulah Aurora. Dia yang paling gemar membawakan makanan saat aku sakit.

"Aurora tadi yang beli dari minimarket."

"Aurora mana?" Tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Mas Rimba barusan.

"Sudah pulang, besok dia sekolah. Saya yang akan menjagamu di sini." Kata Mas Rimba enteng. Aku mengernyitkan dahi.

"Nanti kalau digrebek warga, gimana?" Kekhawatiranku membuat Mas Rimba tertawa.

"Saya sudah izin Mama Papa kamu, Violetta." Mas Rimba meraih tanganku lalu mengecup di punggung tangan. Darahku berdesir, ada rasa geli menjalar hingga perutku saat merasakan kecupan Mas Rimba bertahan cukup lama.

"Kalau kamu, ngasih izin nggak kalau saya jagain kamu di sini sampai besok?" Goda Mas Rimba dengan senyum miring.

"Kalau aku nggak bolehin juga Mas Rimba tetep nungguin, kan?" Sahutku kalem.

Mas Rimba tertawa kecil, sepertinya dia gemas denganku.

"Kok tahu sih?" Selorohnya, kali ini sambil mencubit pipiku pelan.

"Makan dulu, ya. Saya suapin." Mas Rimba bangkit keluar kamar. Beberapa menit kemudian dia kembali membawa bubur ayam yang masih hangat, sepertinya dia baru saja memanaskannya di microwave.

"Kamu suka buburnya diaduk atau nggak?"

"Aku nggak suka bubur." Ekspresi Mas Rimba langsung berubah kecewa. Aku tertawa kecil melihatnya.

"Tapi pengecualian deh buat malam ini." Tambahku sambil meraih sebelah tangannya untuk segera duduk.

"Nggak usah diaduk aja tapi. Perutku masih mual, Mas."

Dengan senyum lega, Mas Rimba mulai menyuapiku bubur. Sesekali Mas Rimba akan bercerita tentang pekerjaannya di kantor. Tanpa terasa aku sudah menandaskan satu mangkuk bubur itu sendirian. Aku sedikit terkejut dengan itu, karena selama ini aku tidak pernah menghabiskan makananku sendiri.

"Kenapa?" Tanya Mas Rimba bingung. Aku menggeleng pelan.

"Hmm... Aneh aja, kalau disuapin Mas, aku bisa habis makannya." Kataku jujur. Mas Rimba malah terkekeh.

"Kamu lagi ngasih kode biar saya suapin terus?"

Aku mengangguk. Kami tertawa bersama. Malam ini entah kenapa aku merasa begitu bahagia. Dadaku terasa penuh oleh kehangatan yang diberikan Mas Rimba Malam ini.

***

Pagi ini aku terbangun dengan tangan besar Mas Rimba melingkar di perutku. Semalam Mas Rimba memang sudah meminta izinku untuk ikut tidur di ranjang yang sama, dia juga berjanji untuk benar-benar menjagaku malam ini.

Tetap saja, aku merasa terkejut. Seorang pria dewasa menempel begitu erat dengan tubuhku. Well.. meski di ingatanku yang hilang seharusnya kami pernah lebih intim daripada ini. Tetap saja, mentalku masih mental gadis perawan yang tidak berpengalaman dengan laki-laki. Apalagi dengan pria dewasa begini.

Kubalikkan tubuhku hingga berhadapan dengan dadanya yang terlihat sedikit berbulu karena kancing kemejanya sudah terlepas setengahnya. Aku menelan ludah gugup.

Aroma wangi parfum dan khas tubuh Mas Rimba membuatku mulas. Darahku seperti bergejolak ingin menyentuh otot Mas Rimba yang masih tersembunyi di balik kemeja.

"Morning." Suara serak Mas Rimba mengagetkanku.

"M-morning, Mas." Balasku dengan terbata. Aku menunduk malu. Berharap Mas Rimba tidak menyadari ekspresi mupeng-ku saat melihat tubuhnya.

"Kamu bangun tidur tetap cantik, ya." Mas Rimba menduselkan wajahnya di ceruk leherku. Membuatku sesak napas.

Aku nggak menyangka Mas Rimba seluwes itu menyanjung wanita.

"Masa sih?" Tanyaku dengan rona merah di pipi. Ini masih pagi, astaga.

"Boleh minta morning kiss?" Tanya Mas Rimba, kini wajahnya sudah sejajar dengan wajahku.

Aku mengangguk ragu.

Mas Rimba tersenyum asimetris lalu menempelkan bibirnya di bibirku. Lalu sedetik kemudian ia melepasnya. Aku menatapnya tak puas. Mas Rimba hanya terkekeh.

"Jangan lama-lama. Takut keterusan. Inget kata dr. irsyad." Ujar Mas Rimba dengan seringai jail.

Lalu tngan Mas Rimba turun mengelus perutku dari luar baju, membuat rasa nyaman memenuhi hatiku kembali.

Melihatku memejamkan mata, tangan besar Mas Rimba menyibak bajuku lalu mengelus lembut perutku secara langsung.

"Saya nggak ingat bagaimana kita melakukannya, tapi saya meyakini satu hal. Saya mempunyai ikatan kuat dengan yang ada di sini." Mas Rimba bangun lalu mengecupi perutku berkali-kali. Aku meremas Rambut tebal Mas Rimba. Membiarkannya terus di sana, hingga ia kembali berbaring kembali.

"Kamu mau menikah dengan saya secepatnya?" Tanya Mas Rimba, kali ini dengan sebuah kotak berudu bewarna perak yang ia ambil dari kantong celananya.

"Mas bawa-bawa itu sambil tidur?" Tanyaku malah salah fokus.

"Iya, semalam kelupaan." Mas Rimba tertawa kecil.

"Iya Mas, ayo kita menikah cepat-cepat. Aku udah nggak tahu mau ngapain lagi di rumah ini." Kataku berubah murung. Jujur, setelah mendapat surat pengeluaran dari sekolah, aku jadi kepikiran tentang masa depanku. Apalagi aku merasa orang tuaku sudah menyerah terhadapku. Sekali lagi, aku menjadi anak paling tidak berguna di rumah ini.

"Mulai detik ini, kamu tanggung jawab saya. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Kita akan selesaikan masalah ini satu per satu." Bisik Mas Rimba seraya memelukku erat.

***
TBC.

Ps: Yang pengen beliin aku tools menulis, yuk kasih tip atau beli karyaku di KaryaKarsa. Beberapa ribu rupiah darimu akan sangat membantu produktivitasku. Hehe.. agak sedih tadi sempet ilang ketikannya gegara hp error. 😭

Voucher diskon "janganlupafollownoismela" juga masih berlaku loh 💙

Terdampar (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang