1: A Nightmare

43.8K 1.8K 10
                                    


"VIO!! Bangun!!" Setengah sadar aku terbangun dari tidur. Telingaku menangkap suara-suara panik yang membuatku dalam sekejap langsung membuka mata. Sahabatku, Aurora menggenggam tanganku dan kakaknya kuat-kuat. Dapat kurasakan telapak tangannya sudah basah berkeringat.

"Kayaknya pesawat ini mau jatuh deh, Vi." Aurora menatapku dengan airmata yang sudah mengalir deras. Bertepatan dengan itu, kurasakan badan pesawat yang kami tumpangi mendadak menukik turun di atas perairan. Kuduga kapten pilot ini berusaha pendaratan darurat di laut. Sayangnya dalam waktu cepat sayap sebelah kiri, tepat di mana tempat dudukku berada patah dan membuat kami semua berteriak ketakutan karena langsung berhadapan dengan laut lepas.

"Cepat pakai life vest!" Seruku. Membuat Aurora tersadar dari rasa panik. Para pramugari sedang sigap membantu para penumpang di bagian depan dan belakang mengenakan alat keselamatan bewarna kuning ini.

"Vi... aku nggak bisa."
"Cepat tukar tempat duduk dengan Mas. Kamu pake vestnya." Mengetahui ada yang salah dengan alat keselamatan sang adik, Rimba dengan cepat berpindah posisi ke tengah dan memberikan vest miliknya pada sang adik. Melihat juga sisi jendela samping Violet sudah telepas saparoh membuat udara menerpa kencang ke dalam pesawat.

"Mas!!! Aurora takutt!"

"Kalian genggam tanganku kuat-kuat."

Aku mau tak mau menggenggam tangan kakak sahabatku kuat-kuat.

"Ya Tuhan... Apa aku akan mati hari ini?" Aku menutup mata kuat-kuat dan dalam sepersekian detik aku merasakan kegelapan yang menghantam.

Tempat dudukku dan kakak Aurora terhempas ke luar laut lepas.

***

"Unghh...." Aku mengerang lemah. Rasanya badanku seperti remuk diseluruh bagiannya.

"Uhuk.." Aku terbatuk.

Kurasakan asin dilidahku. Air laut?

Mendadak ingatan mimpi buruk itu menghantamku kembali. Ya. Saat ini aku menjadi korban kecelakaan pesawat saat akan study tour ke Australia.

Kupaksakan mataku terbuka. Silau. Cahaya matahari yang sedang terik langsung menyengat mataku, mambuatku buta untuk sesaat.

"Sa-kit." Erangku berusaha duduk. Hingga kusadari sesosok manusia-tepatnya lelaki dewasa tengah memelukku erat.

Ya ampun. Mas Rimba.

Aku segera memeriksa hidungnya. Hangat.

"Syukurlah." Sebuah mukjizat kami berdua berhasil selamat, apalagi dengan hempasan yang begitu kencang hingga seat kami terlepas begitu saja. Seperti permainan lego favorit adikku.

Mengingatnya aku langsung panik. Bagaimana kabar orang tua dan adikku sekarang? Pasti mereka sedang khawatir.

Ah.. tapi itu bisa kupikirkan nanti. Untuk sekarang aku harus bertahan hidup. Bersama Mas Rimba yang sepertinya butuh pertolongan segera.

Kuamati kondisi Mas Rimba yang masih bernapas putus-putus melewati mulutnya.

Apa ia sedang kesulitan bernapas?

Aku mencoba bangkit berdiri, melepaskan belitan kaki Mas Rimba di kakiku.

Meski kesakitan, aku bersyukur tubuhku tidak ada yang kurang satupun. Pun dengan Mas Rimba, kakak sahabatku.

Aku mencoba membetulkan posisi Mas Rimba menjadi terlentang. Lalu mengingat-ingat pelajaran PMR tentang P3K.

Pertama, pastikan kondisi korban.

Aku menepuk-nepuk pipi mas Rimba. Memastikan kesadarannya. Tangannya bergerak meraih tanganku yang masih menepuk-nepuk pipinya.

Ah, dia masih sadar.

Kedua, Eh.. apa sih yang kedua?

Mendadak aku blank. Selanjutnya apa sih?

Ah, CPR. Kulihat mas Rimba masih kesulitan bernapas. Aku harus menolongnya.

Ku luruskan kepala lelaki itu kemudian mengangkat dagunya.

Ini nggak masalah kan, kalau aku yang ngasih napas buatan?

Kudekatkan mulutku dengan miliknya. Kemudian mulai memberikannya nafas buatan.

Bibir Mas Rimba penuh dan kenyal. Rasanya enak banget.

Astaga. Pikiranku. Ini kondisi darurat, Violetta!!!

Bisa-bisanya aku mikirin hal-hal kotor di saat genting begini.

Ketika aku hendak memberikan napas buatan untuk keempat kalinya, sebuat telapak tangan besar menahan dahiku.

"Cukup." Mas Rimba menatapku dengan raut pucat. Kondisinya lebih parah dariku. Tentu saja, bila mengingat saat kecelakaan itu, dia memberikan life vestnya pada Aurora.

Ah, Aurora. Semoga gadis itu juga selamat.

"Hah.. hah.. hah.." Mas Rimba mengatur nafasnya yang masih belum teratur. Sepertinya dia masih shock setelah terombang-ambing di lautan entah berapa jam hingga berakhir terdampar di pulau entah-berantah ini. Denganku. Sahabat adiknya yang paling ia sayangi. Bagaimana tidak, sebulan sebelum keberangkatan dia sudah menyiapkan tiket untuk bisa mengikuti adiknya study tour karena takut adiknya diganggu cowok-cowok saat jauh darinya. Singkat kata, Mas Rimba ini siscon. Possessive banget sama adik perempuannya.

"Kita selamat?" Gumam Mas Rimba lirih, namun aku mendengarnya.

"Di mana adikku?" Tanya Mas Rimba terlihat panik.

Aku menggeleng pelan. Jujur, aku juga kepikiran.

"Jadi cuma kita berdua yang terdampar di sini?" Sepertinya ia teringat bahwa kursi kami berdualah yang terlempar ke lautan. Kami terpisah dari Aurora dan rombongan sekolah kami.

"Iya Mas, memang cuma kita berdua yang terdampar. Tapi kita harus survived." Seruku berusaha optimis, menyembunyikan ketakutanku sendiri.

Mas Rimba bangkit duduk. Tangannya yang besar meraihku ke dalam pelukan hangatnya.

"Kita pasti selamat dan kembali ke Surabaya." Bisik Mas Rimba seraya menguraikan pelukannya.

****

Terdampar (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang