"Kamu ngapain di sini?"
Aku terperanjat melihat wajah Abian. Aku melirik ke sekitarku, aku sangat yakin bahwa aku tidak berada di poli saraf. Beberapa bulan belakangan nyeri haidku tidak seperti biasanya. Memang sakit, tetapi sangat jarang sesakit tiga bulan belakangan.
"Seharusnya saya yang tanya kamu ngapain di sini?"
Masih terekam jelas di ingatanku kalau Abian adalah seorang dokter saraf, bukan kandungan. Aku tidak menyangka bahwa aku akan bertemu Abian di poli obgyn.
Abian melirikku dengan tatapan yang sulit aku artikan, "Kamu.."
"Saya apa? Jangan ngadi ngadi ya."
"Makanya kamu jawab, biar saya enggak berasumsi. Kamu mau apa di sini?" tanya Abian dengan raut wajah yang sedikit lebih serius.
"Menurut kamu?"
"Jangan memutarbalik pertanyaan saya, Wanda."
"Saya--"
Belum juga aku menjawab pertanyaan Abian, seorang wanita paruh baya dengan ramahnya menyapa Abian.
"Dokter Abian ya? Benar kan?"
"Apa kabar Bu Lasmi?" balas Abian dengan nada yang tak kalah ramah. Pantas saja Abian populer. Selain pintar, dia ramah dan tampan. Kalau kata emak-emak sih calon menantu idaman zaman now.
"Baik dok, ini saya sudah bisa jalan." ujar wanita paruh baya yang kuketahui bernama Lasmi dengan sumringah. Ia menghentak-hentakkan kakinya dengan gembira.
"Wah, untunglah Bu. Semoga sehat terus ya. Jangan lupa obatnya terus dikonsumsi ya Bu."
"Iya Dok, makasih banyak ya. Saya sudah lama mau berkunjung untuk bilang terima kasih, tapi seperti biasa Pak Dokter sulit ditemui."
"Enggak usah repot-repot Bu, memang sudah tugas saya."
Aku tersenyum tipis mendengar percakapan Abian dan Bu Lasmi. Menjadi dokter memang tidak mudah, tetapi menjadi suatu kebahagiaan tersendiri ketika bisa bermanfaat untuk orang banyak. Aku sangat menghargai dan salut dengan profesi Abian, Abian memikul beban dan tanggung jawab yang begitu besar di pundaknya sebagai seorang dokter.
"Lihat saya biasa aja dong, jelas banget kalau tatapan kamu berbinar." bisik Abian di sela-sela pembicaraannya dengan Bu Lasmi.
Aku memalingkan wajahku, "Siapa yang lihatin kamu? Saya lihat tembok kok."
"Oh iya, dokter sudah punya istri? Sayang sekali, padahal saya mau mengenalkan dokter dengan cucu saya. Cantik loh dok."
Abian tersenyum canggung seraya sesekali melirikku, "Saya sudah punya pasangan, Bu. Meskipun dia judes, tapi cukup imut kalau lagi pakai daster."
Aku menginjak kaki kanan Abian tanpa ampun, "Sudah bosan hidup ya?"
Abian meringis sakit sembari mencubit pipiku, "Bosan kalau enggak ada kamu."
Aku sempat lupa dengan kehadiran Bu Lasmi yang sepertinya daritadi menyaksikan pertengkaran kecil aku dan Abian.
"Mau temani istrinya periksa kandungan ya dok? Kapan nikahnya dok? Kok saya enggak diundang." tanya Bu Lasmi seraya melihatku dengan tatapan tidak menyenangkan. Jelas dia tidak senang, calon menantu idamanannya sudah aku curi. Diam-diam aku merasa puas dengan tatapan iri Bu Lasmi.
"Loh, dokter Abian? Dokter sudah punya istri ya?"
Kali ini bukan berasal dari suara Bu Lasmi, melainkan ibu-ibu lainnya yang menghampiri Abian. Tidak cuman satu, tetapi tiga orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Impressive Partner
ChickLit"Abian, saya enggak bisa masak." "Jangan bohong." "Saya enggak bisa cuci piring." "Memang kamu enggak punya tangan?" "Saya pemalas, jorok, dan enggak disiplin." "Belajar." "Kenapa harus saya sih?" "Karena memang harus kamu." Hidup Wanda semakin...