Aku memperhatikan tubuhku di pantulan cermin yang terletak di sudut kamarku. Pipiku tampak lebih berisi dari sebelumnya, tubuhku lebih gempal dari satu tahun yang lalu. Senyumku perlahan pudar ketika menyadari perubahaan tidak baik yang terjadi pada tubuhku selama satu tahun terakhir. Memang satu tahun belakangan, aku memiliki kecenderungan untuk makan berlebihan dengan harapan agar aku bisa melupakan kenangan yang tak ingin aku ingat itu. Ketika stress, porsi makanku menjadi sering tidak terkendali.
Sejujurnya apabila diingat kembali pertemuan terakhirku dengan Abian ialah saat aku menyumpahinya dengan kalimat kebencian. Setelah kejadian itu, dia pergi dengan langkah gontai seakan memberikan isyarat sudah menyerah terhadapku. Setelah dua minggu pertemuan kami, aku mendapat kabar bahwa ia menikah dengan Dina. Sungguh perasaanku saat itu sangat hancur, bahkan aku tak bisa menggambarkan betapa kecewanya aku kepada Abian.
Setelah satu bulan seusai kepergian ayahku, aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku dan memulai kehidupan baruku sebagai sekretaris di Singapura. Aku mendapat pekerjaan itu dari salah satu kenalanku yang membutuhkan seseorang sekretaris untuk atasannya. Tanpa berpikir panjang aku langsung menerima tawaran itu mengingat pikiranku saat itu hanya ingin meninggalkan kota itu secepatnya.
Aku mengganti pakaianku yang mulai terasa sempit dengan blouse yang baru aku beli minggu lalu.
Gendut saja, aku tetap manis..
Aku bergegas keluar dari apartemenku dan menggunakan transportasi umum menuju bandara. Setelah satu tahun berkutat di negeri orang, aku ditugaskan kembali ke Indonesia selama enam bulan untuk menemani direktur perusahaan melakukan ekspansi ke Indonesia. Perusahaan tempat aku bekerja bergerak dalam dunia kesehatan, tepatnya bagian alat bantu kesehatan dan farmasi.
Wildan, nama pria yang sudah menjadi atasanku selama satu tahun terakhir. Orang tuanya berkebangsaan Indonesia meskipun sudah berganti menjadi warga negara Singapura, makanya ia fasih berbahasa Indonesia.
"Hey, kamu kenapa murung sekali?" tanya Wildan menyambut kedatanganku.
"Soalnya sudah lihat muka Bapak pagi ini." jawabku bercanda.
Seperti biasa, Wildan tertawa mendengar candaanku. Meskipun sepuluh tahun lebih tua, ia tidak seperti atasan kolot yang suka memerintah sekretarisnya dengan semena-mena.
"Jadwal saya hari ini apa saja Wanda?"
"Jam 4 sore nanti ada pertemuan dengan direktur rumah sakit Harapan Jaya Pak. Pertemuan casual saja."
"Okay, by the way you look cute wearing that outfit."
"Thank you Sir, I know."
(Terima kasih, saya tahu.)"Saya enggak suka dipanggil Sir."
"That's why I call you Bapak."
(Maka dari itu saya panggil kamu Bapak)"Bapak enggak cool, tapi lebih baik daripada Sir."
Begitulah percakapanku dengan Wildan. Ia tak mau hubunganku dengan dia terkesan sangat formal, meskipun pada faktanya memang hubungan antara atasan dan bawahan biasanya formal. Awalnya aku segan untuk berlaku santai kepadanya, saking dekatnya aku dan Wildan bahkan kerap kali dianggap pasangan oleh rekan kerja kami.
"Wake me up when we arrive."
(Bangunkan saya ketika kita tiba)"Siap Boss!"
Dia tersenyum sebelum dalam hitungan detik tertidur pulas. Wildan sepertinya menganggapku teman yang menyenangkan karena hanya denganku ia bisa bebas berbicara bahasa Indonesia.
💜💜💜
"Bau Indonesia memang beda ya." celetuk Wildan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Impressive Partner
ChickLit"Abian, saya enggak bisa masak." "Jangan bohong." "Saya enggak bisa cuci piring." "Memang kamu enggak punya tangan?" "Saya pemalas, jorok, dan enggak disiplin." "Belajar." "Kenapa harus saya sih?" "Karena memang harus kamu." Hidup Wanda semakin...