Mataku beberapa kali kedapatan beradu pandang dengan manik mata milik Abian. Lima belas menit yang lalu kami bertiga sama-sama telah tiba di restoran tempat kami akan bercengkrama perihal kerja sama. Sejujurnya ada kebanggaan tersendiri melihat Abian menjadi sukses dalam kurun waktu satu tahun. Ia menjadi dokter handal sekaligus pemilik rumah sakit yang lumayan terkenal di Indonesia.
Dina memang bisa mengubah Abian menjadi lebih baik.
"Terima kasih Abian. Saya harap kerja sama kita dapat berjalan dengan lancar." ujar Wildan.
"Saya harap juga begitu." balas Abian sembari tersenyum tipis.
"Kamu masih aktif menjadi dokter?" tanya Wildan.
Abian menganggukkan kepalanya, "Tidak sepadat jadwal dulu."
"Saya dengar anak kamu cantik sekali. Siapa namanya? Jihan ya?"
Aku terperanjat mendengar celotehan basa-basi Wildan.
Abian tersenyum tipis, "Ya, putri yang sangat manis."
Aku tersenyum kecut mendengar pernyataan Abian.
"Apa kabar Wanda? Tidak saya sangka pertemuan kembali kita di sini." ujar Abian.
"Saya malah berencana tidak ingin melihat wajah anda."
Tangan Wildan mengusap pelan puncak kepalaku, "Kamu jangan marah-marah nanti cepat keriput."
Aku memanyunkan bibirku mendengar ucapan Wildan, "Bapak lebih keriput."
Sekilas aku melirik Abian yang menampilkan raut wajah tidak senang atas perlakuan Wildan kepadaku. Mungkin hanya perasaanku saja, tetapi wajah itu jelas bukan raut wajah bahagia.
"Bapak, mau makan apa nanti?" tanyaku sembari membuka lembar demi lembar buku menu.
"Kamu yang masak saja bagaimana?" jawab Wildan.
Aku mengernyitkan keningku, "Kita kan sudah di restoran mahal, buat apa mau makan masakan saya?"
"Soalnya masakan kamu enak, saya ingin makan di rumah kita." ujar Wildan.
Abian nampak terkejut mendengar kalimat akhiran kita di percakapan aku dan Wildan.
"Saya ingat dulu ada yang bilang tidak bisa masak kepada saya." timpal Abian.
Wildan menggenggam jemari tangan kananku, "Dia sepertinya tahu saya tidak suka makan di luar, jadi belajar masak dengan sangat baik."
"Wanda seorang sekretaris atau asisten rumah tangga?" sarkas Abian.
Sebetulnya aku sangat tersinggung dengan perkataan Abian.
"Pendamping rumah tangga?" jawab Wildan.
Aku sudah tahu akhir pembicaraan ini akan seperti apa. Wildan tidak akan berhenti mengolok-olok aku dan Abian.
"Wanda, sepertinya kita butuh waktu untuk berbicara berdua. Kamu tidak keberatan kan Wildan?" tanya Abian.
Wildan menaikkan bahunya, "Selagi Wanda tidak masalah, saya tidak masalah."
Aku tertegun sebentar, menimbang beberapa kali sebelum memutuskan untuk menanggapi ajakan Abian.
"Saya tidak ingin bertemu Abian." ucapku dengan tegas.
Abian melirik dengan tatapan memohon kepadaku, "Sebentar saja.."
Setelah terdiam cukup lama, aku memberikan anggukan kepalaku. Wildan yang paham dengan kesediaanku untuk menemui Abian langsung beranjak pergi meninggalkan kami berdua.
"Ada perlu apa? Waktu saya enggak banyak." ucapku dengan nada yang terkesan sangat dingin.
Abian berpindah tempat duduk di sampingku, ia memperlihatkan foto di dalam layar ponselnya, "Lucu ya?"
Aku tersenyum kecil, perempuan mungil itu memang sangat menggemaskan.
"Cuma mau pamer anak?"
Abian menggelengkan kepalanya, "Dina meninggal setelah melahirkan Jihan."
Aku tertegun mendengar penuturan Abian, otakku membeku seolah-olah tidak bisa berfungsi dengan baik setelah mendengar pernyataan tersebut.
"Saya baru tahu selama kehamilan Dina, dia mengidap kanker otak. Dia bersikeras untuk tidak minum obat dan kemoterapi demi menyelematkan Jihan. Dia meminta saya untuk menjadi suaminya agar Jihan bisa mendapat kehidupan yang layak. Saya tahu saya salah, Wanda. Saya tidak bisa memberitahu kamu karena saya tahu kamu pasti akan menunggu saya, saya tidak mau menyusahkan kamu apalagi saat itu kamu baru saja kehilangan ayah kamu. Saya berhutang banyak dengan kebaikan Dina. Dina membantu saya melewati masa-masa kelam saya. Saya tahu saya dimanfaatkan, tetapi saya tidak berbuat banyak mengingat kebaikan dia." ucap Abian.
"Saya tahu kamu akan sangat membenci saya. Saya tidak berusaha untuk meminta belas kasihan kamu, tetapi selama satu tahun ini saya sangat merindukan kamu, Wanda."
Aku menyeka paksa air mata yang mulai mengalir di kedua pipiku, "Saya benci sekali dengan kamu, Abian."
Abian memegang telapak tanganku, "Saya tahu saya sangat banyak menyakiti hati kamu, Wanda."
"Kamu tahu, tetapi kamu mengabaikan perasaan saya."
"Saya hanya tidak ingin menyakiti hati kamu lebih dalam lagi."
"Kamu lucu, Abian."
Tak lama setelahnya aku dan Abian seakan tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Kami hanya saling memandang satu sama lain tanpa bersuara hingga suara dering telepon genggamku berbunyi nyaring.
"Sepertinya pertemuan kita cukup sampai di sini."
"Siapa yang menghubungi kamu?"
"Pak Wildan, dia sudah merengek lapar."
Abian memandangku dengan raut wajah tidak suka, "Kamu ada hubungan apa dengan Wildan?"
"Rekan kerja." jawabku singkat.
"Terlalu akrab untuk hanya sekadar rekan kerja." balas Abian.
"Lagi pula hubungan saya dan Pak Wildan mau seperti apa dan bagaimana, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kamu."
"Saya tidak akan menyerah, Wanda. Sudah cukup satu tahun saya kehilangan kamu."
"Saya sudah tidak peduli lagi dengan semua urusan kamu."
Abian mencubit pipi kananku, "Jangan nakal. Saya tidak suka kamu terlalu dekat dengan atasan kamu itu. Dari gayanya saja sudah jelas kalau dia tertarik dengan kamu."
"Saya tidak berniat untuk memiliki pasangan duda."
"Jangan salah, duda keren seperti saya selalu menjadi incaran." ujar Abian dengan narsis.
"Abian kalau kamu sekali lagi mengacaukan hidup saya dengan segudang alasan kamu, saya tidak akan pernah memaafkan kamu."
"Saya janji."
"Saya tidak butuh janji kamu."
"Besok kita berkunjung ke makam ayah kamu yuk?"
"Besok saya memang mau berkunjung sama Pak Wildan."
Abian lagi-lagi memandangku dengan tatapan tidak suka, "Buat apa? Kenapa Wildan harus ke sana?"
"Karena dia tidak pernah menyakiti hati saya, saya ingin mengenalkan dia kepada ayah saya."
"Wanda..."
"Saya pergi."
Abian memegang pergelangan tanganku seakan mencegahku untuk beranjak pergi, "Jangan lupa buka blok WA saya."
"Kalau ingat." ucapku lalu melepaskan pegangan tangan tersebut dan melengos pergi meninggalkan Abian.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Impressive Partner
Chick-Lit"Abian, saya enggak bisa masak." "Jangan bohong." "Saya enggak bisa cuci piring." "Memang kamu enggak punya tangan?" "Saya pemalas, jorok, dan enggak disiplin." "Belajar." "Kenapa harus saya sih?" "Karena memang harus kamu." Hidup Wanda semakin...