Kalau aku boleh menyebut nama seseorang yang menurutku berkepribadian labil, maka aku akan dengan lantang menyebut nama Abian. Seminggu yang lalu dia masih bersikap sangat baik padaku, selalu mengucapkan kata-kata manis yang hampir saja membuatku melayang. Akan tetapi, akhir-akhir ini julukan dokter berwajah malaikat berhati iblis itu sungguh pantas disematkan kepada Abian. Dia selalu mencari-cari kesalahan yang sebenarnya menurutku bisa dibicarakan dengan baik-baik.
"Apa lagi?" tanyaku yang sudah mencium aroma tidak menyenangkan ketika melihat perawat bernama Henny datang ke ruang kerjaku.
"Dokter Abian minta kamu ke ruangan dia Wan. Enggak menerima penolakan, begitu katanya."
Aku memejamkan mataku dan mulai menarik napas dalam-dalam kemudian hembuskan secara perlahan. Ulangi hingga tiga kali sampai aku merasa amarahku sudah cukup teredam dengan baik.
"Salah saya apa lagi?"
Henny mengangkat bahunya tidak tahu, "Jangan lupa ya Wan. Entar kalau kamu enggak datang, saya yang dimarahin. Masih ada banyak pasien yang perlu saya cek, saya permisi."
"Kamu cari gara-gara sama dokter Abian, Wan?" tanya Dirga yang sepertinya merasa iba.
"Dia yang enggak ada kerjaan nyari masalah."
"Sabar ya Wanda."
Aku membalas ucapan semangat dari Dirga dengan senyum tipis, bahkan untuk tersenyum pun aku tidak sanggup. Setelah menyelesaikan beberapa surat, aku bergegas pergi menuju ruangan Abian.
"Kenapa lagi sih Abian?!"
Suaraku yang semula meninggi secara perlahan mulai mengecil ketika melihat Abian dengan komputer yang masih menyala dan beberapa buku yang berserakan di atas meja tengah memejamkan matanya. Sepertinya ia tertidur saat sedang mempelajari penyakit yang diderita pasien-pasiennya.
Aku pun dengan berhati-hati membereskan beberapa buku yang tercecer dengan tidak cantik di mejanya. Tak lupa aku juga membenarkan letak pembatas buku sebelum aku menaruh kembali buku-bukunya ke rak buku di ruang kerjanya.
Aku mengambil bantal dari ruang perawat dan membetulkan posisi tidur Abian agar ia bisa tidur lebih nyaman. Lalu aku pun ke kantin sebentar untuk makan sebelum kembali memasuki ruangan Abian.
"Wanda?"
Aku menoleh ke arah sumber suara, "Apa?"
"Sudah berapa lama saya tertidur?" tanya Abian.
"Dua puluh empat jam."
"Bohong."
"Seharusnya kalau dari waktu setelah jam praktik, sudah satu jam tiga puluh menit."
Abian memberikan tanda melalui tangannya agar aku mendekat.
"Mau apa?"
"Jangan jauh-jauh, sini sebentar."
"Enggak mau, saya alergi sama orang yang tiba-tiba manis, terus berubah menjadi tiba-tiba sadis."
Abian memandangku dengan tatapan tajamnya yang sebenarnya tatapan itu sedikit berhasil mengintimidasi aku untuk menuruti kemauannya
"Kenapa sih Abian?"
"Saya bukan vampir, bukan juga zombie. Enggak bakal gigit kalau kamu dekat dengan saya." ujar Abian.
Aku pun mengambil botol air mineral yang sebelumnya aku beli, "Minum dulu."
"Tumben baik. Enggak dikasih racun kan?"
"Saya enggak bodoh, Abian. Saya enggak mungkin membiarkan kamu keracunan di rumah sakit."
Abian yang merasa ucapanku terdengar cukup masuk akal pun tanpa ragu langsung meneguk air mineral yang aku berikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Impressive Partner
ChickLit"Abian, saya enggak bisa masak." "Jangan bohong." "Saya enggak bisa cuci piring." "Memang kamu enggak punya tangan?" "Saya pemalas, jorok, dan enggak disiplin." "Belajar." "Kenapa harus saya sih?" "Karena memang harus kamu." Hidup Wanda semakin...