16 : Bad News

5.5K 742 129
                                    

"Wanda..."

Telingaku beberapa kali menangkap suara milik Abian yang saat ini sepertinya sedang berusaha menenangkan aku yang sudah nampak linglung.

"Kita enggak bisa home care lagi, Wan. Ayah kamu harus segera dibawa ke rumah sakit. Saturasinya sudah enggak stabil, Wan."

Tanpa tenaga aku menganggukkan kepalaku. Tubuhku bergetar melihat ayahku yang secara perlahan mulai kehilangan kesadaran. Wajah ayahku sangat pucat.

Dua jam yang lalu aku menghabiskan waktuku sendiri di perpustakaan. Aku mematikan telepon genggam dengan harapan tidak mendapat gangguan dari siapapun. Aku hanya ingin membaca dengan tenang.

Namun, ternyata tiga puluh menit setelahnya suster di rumah menelepon aku berkali-kali mengabarkan kondisi ayahku. Pada akhirnya suster tersebut menghubungi Abian karena tidak segera mendapat tanggapan dariku. Setiba aku di rumah, Abian sudah siap dengan mobil ambulans untuk membawa ayahku ke rumah sakit.

"Wanda, jangan panik. Ayah kamu akan baik-baik saja." ujar Abian beberapa kali sembari menepuk pundak aku.

"Saya enggak tahu harus bagaimana Abian."

"Ada saya."

Sesederhana itu jawaban Abian, tetapi entah kenapa sangat menenangkan hatiku.

Sesampainya di rumah sakit, Abian mengurus semua keperluan ayahku. Mulai dari administrasi rumah sakit hingga menghubungi dokter paling kompeten untuk mendampinginya menjadi dokter ayahku.

Aku melirik beberapa kali dokter maupun perawat bolak-balik mengambil alat untuk dipasangkan di tubuh ayahku. Aku terus melihat ke arah monitor berharap kondisi ayahku bisa kembali stabil.

Aku menggenggam erat jari jemari ayahku, berharap dia mendapat sedikit kekuatan untuk bertahan. Paling tidak dia tidak merasa sendiri saat melawan rasa sakitnya. Awalnya, genggaman tangan ayahku terasa sangat lemah hingga membuatku tidak bisa menahan air mataku.

"Stabil. Kondisi pasien mulai stabil." ujar Abian seraya tersenyum.

Aku mulai merasakan ayahku membalas genggaman tanganku. Ayahku menengok ke arahku dan tersenyum kecil melihat wajah sembabku yang penuh dengan linangan air mata.

"Pasien butuh istirahat Wan, jangan terlihat sedih depan ayah kamu. Takutnya beliau kepikiran." ujar Abian sembari menuntunku keluar ruangan.

"Ayah hebat, makasih ya sudah bertahan sejauh ini. Wanda bangga sama ayah. Sekarang ayah istirahat dulu ya, pasti capek kan dari tadi. Enggak apa-apa kok, kata Abian ayah bakal cepat sembuh." bisikku kepada ayah sebelum pergi ke luar untuk membasuh wajahku.

💜💜💜

Aku mendengar suara samar-samar memanggilku dengan volume sedikit keras.

"Mbak! Keluarga pasien Bapak Farhan bangun mbak!" Suara orang itu menggoyang-goyangkan tubuhku.

"Iya, kenapa Mbak?" aku menjawab dengan parau. Ternyata aku ketiduran. Aku melirik arlojiku yang ternyata aku baru tertidur tiga puluh menit. Pantas saja kepalaku saat ini terasa sangat berat.

"Mbak mohon untuk ke ruangan pasien. Ada yang ingin dijelaskan oleh dokter." ujar perawat yang membangunkan aku.

Aku memilih untuk bungkam meskipun sebenarnya ada banyak pertanyaan dalam benakku. Aku tak berani bertanya dan bergegas pergi ke ruangan ayahku.

Aku melihat angka saturasi ayahku sangat tidak stabil.

"Dok, Ayah kenapa?"

Dokter memberiku beberapa dokumen yang biasa menjadi kerjaan sehari-hari ku. Lembar persetujuan untuk melakukan tindakan medis kepada pasien atau biasa lebih dikenal dengan istilah informed consent.

"Seperti yang sudah Mbak lihat kalau Ayah Mbak kondisinya sangat kritis. Kami akan mengambil tindakan berupa pemasangan ventilator oksigen untuk menstabilkan saturasi pasien. Akan tetapi, risikonya pun sangat besar. Namun kalau dibiarkan, saturasi Bapak juga tidak stabil dan mengancam nyawa. Kalau Mbak bersedia, silakan tanda tangan." ujar dokter yang terdengar seperti mimpi buruk bagiku.

Aku melihat ayahku sedang kesakitan, aku sangat gemetar membayangkan ayahku akan dipasangkan alat bantu pernapasan tersebut. Mengingat risikonya pun cukup besar.

Namun, pada akhirnya aku memutuskan untuk menandatangani dokumen tersebut dengan harapan bahwa ayahku bisa kembali pulih. Dokter yang menangani ayahku meminta aku untuk berbicara kepada ayahku karena takut bahwa ini akan menjadi kesempatan terakhirku. Air mataku langsung tumpah mendengar ucapan dokter.

Ayahku masih nampak berusaha untuk meyakinkan aku bahwa dia baik-baik saja. Matanya berusaha menenangkan aku yang sudah nampak kacau. Walaupun dalam kondisi sesak, tetapi ia tetap berusaha merespons setiap ucapanku.

Sementara aku terus menguatkan ayahku, dokter dan perawat menyiapkan beberapa peralatan yang akan digunakan. Aku terus menelepon Abian, tetapi tidak kunjung mendapat jawaban. Aku tidak tahu harus menghubungi siapa dan tidak tahu harus bertindak seperti apa. Aku sangat kacau dan tidak siap.

"Baik, kami akan melakukan prosedur pemasangan ventilator oksigen ke pasien." ujar dokter.

Aku berbisik ke telinga ayahku, "Wanda percaya sama apapun keputusan Ayah. Ayah tetap harus semangat ya. Wanda minta maaf belum bisa jadi anak yang baik, Ayah tahu kan Wanda sangat sayang Ayah."

Aku tidak tahu bahwa kalimat tersebut menjadi percakapan terakhir aku dan ayahku.

"Wanda, are you okay?"

Beberapa perawat dan dokter yang mengenalku langsung menghampiri saat mengetahui kabar tersebut, mereka berusaha menenangkan aku yang sudah hilang arah.

"Abian mana?" tanyaku.

"Saya sudah coba hubungi Abian, tapi enggak ada balasan dari dia." ujar salah satu perawat pria.

Aku tertegun melihat tubuh kaku ayahku terbaring di atas ranjang rumah sakit. Aku menutup mata ayahku dengan perlahan, meskipun tanganku masih bergetar hebat.

"Ayah, istirahat dengan tenang ya."

Seketika kepalaku terasa sangat berat dan pandanganku mulai kabur. Aku memegang kepalaku yang terasa sangat pusing. Perlahan pandanganku mulai buram dan seperti tak ada tenaga untuk menopang tubuhku.

"Wanda!"

"Wanda, kamu kenapa?"

Samar-samar aku mendengar beberapa suara memanggil namaku. Kemudian aku tidak sadarkan diri.

***
Hai, aku pikir tidak ada lagi yang tertarik untuk membaca cerita ini. Ternyata masih ada yang mau membaca, terimakasih yaa! Aku akan berusaha untuk menamatkan cerita ini. 2022 sudah hampir di penghujung hari. Semoga kalian masih dalam keadaan sehat dan bahagia yaa!

I love you 3000!💜

My Impressive PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang