Setelah melalui berbagai macam pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk mengabulkan permintaan Abian. Sejujurnya aku sudah sangat menahan diri dalam menghadapi Abian. Tak bisa aku pungkiri bahwa hatiku tidak mungkin tidak goyah terhadap pria tampan, cerdas, dan kaya seperti Abian. Selama ini aku hanya berusaha bersandar pada logika dalam menghadapi Abian. Sangat gawat kalau aku pakai hati dalam menghadapi Abian.
"Ya ampun, bukannya itu mantan pacar Abian ya?"
"Dokter Dina sudah pulang dari studi? Bukannya seharusnya masih satu tahun lagi ya?"
"Loh, aku pikir dokter Abian sama Mbak Wanda soalnya mereka akhir-akhir ini dekat."
"Aku pernah lihat Wanda sama dokter Abian makan bareng."
"Kasihan ya Mbak Wanda jadi pelarian dokter Abian selama dokter Dina di luar negeri."
Sesaat setelah aku keluar dari ruangan untuk makan siang, telingaku tidak berhenti mendengar bisik-bisik yang topik dari pembicaraan mereka mengarah kepadaku, Abian, dan satu nama asing yang tidak kukenal.
Aku berusaha untuk tidak terlalu mempedulikan ucapan orang-orang yang tertuju kepadaku. Beberapa dari mereka bahkan menatapku dengan pandangan kasihan.
Tebakanku mungkin saja nama asing tersebut merupakan salah satu mantan Abian. Abian kan sering tebar pesona, jadi aku tidak terlalu memusingkan hal tersebut.
Setelah menyantap makan siang, aku memutuskan untuk segera mencari kue dan hadiah untuk Abian. Setidaknya selama ini Abian sudah bersikap baik, tidak ada salahnya juga aku membalas perbuatan baik Abian.
Aku memilih kue rasa stroberi dengan tulisan 'Selamat Ulang Tahun Pak Tua' di atasnya. Abian itu sangat menyukai segala makanan yang manis, sangat berbeda denganku yang tidak menyukai makanan manis. Buah favoritnya pun stroberi dan warna kesukaannya merah muda. Aku tahu kedua hal tersebut dari Ibunya Abian.
Aku membelikan jam tangan untuk Abian sebagai hadiah. Setelah aku pikir-pikir, jam tangan Abian nampak sudah lama dipakai dan sudah lama tidak diganti.
"Farhan, dokter Abian ada di ruangannya?"
Aku menanyai salah satu perawat pria yang juga lumayan sering bekerja dengan Abian bernama Farhan.
Farhan menganggukkan kepalanya, "Ada Wan, tapi..."
"Kenapa?"
"Dokter Abian enggak sendirian di dalam ruangannya."
"Oh ya? Sedang ada tamu ya?"
"Iya. Kamu sudah dengar kan yang di dalam ruangannya itu siapa?"
Aku menggelengkan kepalaku, "Siapa? Spill dong. Aku enggak tahu nih."
"Wan, saran aku kayaknya kamu jangan sampai kemakan rayuan dokter Abian. Meskipun kompeten, dokter Abian lumayan terkenal sering gonta-ganti pacar. Dua tahun yang lalu, dokter Abian sempat dekat dengan salah satu dokter bernama Dina. Hubungan mereka lumayan lama, hampir satu tahun lebih. Buat kami yang tahu track record percintaan dokter Abian, lama waktu tersebut merupakan suatu pencapaian yang luar biasa." jelas Farhan.
Meskipun seorang pria, ternyata Farhan menyimpan banyak informasi. Lucu juga melihat Farhan yang ternyata sangat mengikuti perkembangan gosip di rumah sakit.
Sebenarnya aku tertegun mendengar penjelasan Farhan. Entah kenapa aku merasa ada perasaan sesak yang seharusnya tidak aku boleh aku rasakan.
Abian tidak pernah menceritakan hubungannya bersama perempuan bernama Dina.
"Enggak kok, aku sama dokter Abian bestie."
Farhan tersenyum lega mendengar jawabanku, "Bagus deh. Aku izin lanjut kerja ya, Wan."
"Siap, makasih Farhan."
Aku memutuskan untuk tetap datang ke ruangan Abian. Aku meyakinkan diriku bahwa aku hanya berniat memberikan kue dan hadiah untuk Abian. Aku tidak peduli dengan kisah Abian dan perempuan di ruangan tersebut.
Iya, aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin kue dan hadiah yang sudah aku beli sia-sia.
Aku mengetuk ruang kerja Abian sebelum membuka pintu. Sudah tiga ketukan, tidak ada tanggapan dari pemilik ruangan. Setelah berpikir panjang, akhirnya aku memilih untuk membuka pintu tersebut.
"Wanda?"
Aku tersenyum kecut melihat adegan tidak senonoh yang ditampilkan oleh dua sejoli di hadapanku. Bibir Abian dan perempuan itu saling bersentuhan, tangan perempuan itu melingkar manis di tengkuk Abian.
Aku berusaha menahan perasaan tidak menyenangkan yang menjalar di sekujur tubuhku. Sepertinya aku tidak berhasil menahan hatiku saat berhadapan dengan Abian.
"Maaf mengganggu aktivitas kalian." ucapku dengan nada setenang mungkin sembari berusaha menahan agar suaraku tidak terdengar parau.
Abian segera melepas pelukan wanita itu dan menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.
"Santai Abian, saya enggak sedang menangkap penjahat."
"Mas, dia siapa?"
Perempuan yang sepertinya bernama Dina itu menatap tidak suka kehadiranku. Sedangkan Abian tampak salah tingkah menghadapi situasi ini.
"Bukan siapa-siapa." jawab Abian.
"Saya hanya teman Abian, Mbak. Tenang saja."
Sejujurnya aku kecewa ketika Abian mengatakan bahwa aku hanyalah bukan siapa-siapa. Ia tidak membelaku yang notabenenya perempuan yang akan dia nikahi.
Sadarlah, Wanda. Abian tidak memiliki kewajiban untuk membela dan kamu juga tidak punya hak untuk dibela. Kamu hanya orang asing yang tiba-tiba hadir di kehidupan Abian.
"Bunga kamu yang di meja saya sudah saya simpan dengan baik." ucapku yang sengaja dibuat ambigu dengan niat agar wanita tersebut salah paham dengan hubungan aku dan Abian.
Aku tidak tahu apa yang salah denganku hari ini, tetapi aku sangat tidak senang dengan kehadiran perempuan yang mengecup bibir Abian.
"Wanda, saya minta kamu keluar dari ruangan saya. Nanti saya akan menjelaskan mengenai situasi ini ke kamu."
"Enggak perlu. Kamu tidak ada kewajiban untuk menjelaskan apapun kepada saya. Saya hanya ingin mengantar kue dan hadiah. Namun, nampaknya sudah ada yang membuat kejutan ulang tahun sesuai permintaan kamu. Kalau tahu seperti ini, saya tidak perlu repot-repot membeli kue dan hadiah."
Mataku melirik meja Abian yang di atasnya terdapat kue tart beserta lilin yang sudah ditiup. Lagi-lagi aku tersenyum miris.
"Wanda, cukup."
"Apanya yang cukup? Bahkan saya belum memulai. Abian, saya tahu dari awal kamu tidak berniat serius. Tapi saya tidak akan berhenti. Kamu yang memulai, jadi kamu yang harus tanggung jawab. Saya tidak peduli dengan hubungan kamu dan wanita ini. Pernikahan kita akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Saya sangat paham bahwa penyakit ayah saya sudah semakin buruk. Saya tidak ingin memperburuk keadaan, saya tidak bisa mempertaruhkan kebahagiaan ayah saya."
Aku menarik napas cukup panjang sebelum kembali bersuara, "Saya tidak akan mengganggu hubungan kalian. Saya tidak butuh cinta, saya hanya butuh kebahagiaan ayah saya."
"Wanda, tolong jangan bicarakan hal ini di depan Dina. Kita bisa bicarakan hal ini di lain kesempatan. Tidak di depan Dina."
Aku tersenyum miris, "Kenapa? Kamu takut?"
"Wanda!"
Hari ini merupakan kali pertama Abian membentakku. Sikap dia selama ini kepadaku ternyata hanya omong kosong belaka. Bodohnya aku jatuh dalam pesona Abian. Tanpa aku sadari ternyata aku sudah menaruh hati kepada Abian.
"Selamat ulang tahun, Abian." ujarku yang kemudian menaruh kue dan hadiah.
"Silakan dilanjutkan aktivitasnya. Jangan lupa kunci pintu." ucapku lalu bergegas pergi dari ruangan Abian.
Aku menertawai diriku sendiri yang bodoh. Ternyata kisah cinta pertamaku tidak seindah harapanku. Cinta pertamaku tidak lain dan tidak bukan hanyalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Sungguh miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Impressive Partner
Chick-Lit"Abian, saya enggak bisa masak." "Jangan bohong." "Saya enggak bisa cuci piring." "Memang kamu enggak punya tangan?" "Saya pemalas, jorok, dan enggak disiplin." "Belajar." "Kenapa harus saya sih?" "Karena memang harus kamu." Hidup Wanda semakin...