ARUNIKA DAN SWASTAMITA

217 45 0
                                    

Cerita karya Ani Umaroh

Asal sekolah SMK Negeri 1 Karangdadap


SSA

Laut adalah salah satu elemen semesta yang paling ku sukai, begitupun dengan langit. Dua perpaduan nama tersebut bisa menciptakan hujan yang derai-derainya sampai ke kepalaku. Irama yang indah menuai berkah dari Tuhan pemilik segala. Selaras dengan lisanku mengucap doa ketika hujan turun diatas gelaran sajadah biru langit, sembari menikmati kekhususan dalam bait-bait rindu syahdu kepada sang pencipta. Kemudian tanpa sadar, merambat kepada--ciptaannya. Makhluk sejenis Adam yang waktu lalu mengayunkan tulip serta tangkainya bermekaran sehingga hatiku sudah seperti hamparan tanah basah Istanbul Maret itu.

Serta dengan sebongkah diksi yang diubahnya menjadi rona senja di pipiku.

Tentang hari itu, sebuah cerita menuai sajak rindu dari kalbu.

Aku mengenalnya sebagai pemuda pintar nan santun di bawah atap semesta sejajar dengan awan jingga yang menyelimuti desaku, usai dari permasalahan yang menyurut selepas argumen darinya yang membuatku menatap terpana.

Hari itu dimana orang-orang dari desaku menyuarakan teriakan lantang penuh amarah satu sama lain. Ketenangan yang sempat terhenti, kedamaian yang sempat melipir kosong dan suasana hangat yang sempat mendingin seperti cuaca desa saat malam hari. Kendati hari itu, aku menyadari bahwa amarah tidak akan menyelesaikan apa-apa. Bahwa sebenarnya yang dibutuhkan adalah mendengar dan memaknai serta memahami tentang satu kepala manusia yang pastinya berbeda-beda dengan kepala manusia lainnya.

Seperti kata Abdullah Gymnastiar bahwa, "Siapakah orang yang kurang ilmu? Dialah orang yang mengandalkan otot dan amarah dalam menyikapi segala sesuatu." Aku mengingat sebait itu saat dia menghipnotis beberapa pasang mata dengan kalimat singkat penuh makna.

***

Desa Sukamulya, tidak banyak yang berubah sejak aku mengenalnya sebagai desa diatas awan, diantara dataran tinggi pulau Jawa yang suhunya bisa mencapai 0° CC pada pagi hari apalagi jika curah hujan mengguyur. Ditumbuhi dengan berbagi macam sayur mayur khas daerah pegunungan, sebagian besar mata pencarian warga desa ini adalah peternak dan petani.

Contoh saja belakang rumahku yang banyak ditumbuhi berbagai sayuran seperti, kentang, selada, kubis, wortel, sawi dan masih banyak lagi. Jalan desa ini memang agak sedikit naik turun dikelilingi bebatuan kecil. Hamparan perkebunan teh juga akan memanjakan mata jika kalian mengunjungi desaku. Jika ingin lebih melihat ciptaan Tuhan yang lebih indah lagi, dari tempatku tinggal perlu beberapa kilometer kebawah untuk melihat air yang dengan terjun bebas kebawah, air yang dingin dan udara sejuk langsung menusuk lapisan kulit.

Dengan suara gemericik khas air terjun serta irama alam yang menyenangkan. Aku sangat suka duduk di batu dekat air terjun sambil sima'an kala mentari masih tersungkup mesra di atas langit sana. Menghirup udara subuh sambil memandang ke atas ketika cahaya surya bergetar dan mentari muncul malu-malu dari bilik awan. Bersama kawan dekatku---Jaslyn namanya. Dia akan mendengarkanku membaca kitab suci Al-Qur'an sambil memainkan butir-butir air. Walaupun kami berbeda, maksudnya agama kami berbeda, Jaslyn tetap menjadi teman yang baik sekalipun tempat dan ibadah kami tidak sama. Penduduk desa ini memang tidak semuanya beragama Islam, disini juga ada gereja untuk ibadah umat Kristiani.

Pendidikan agama di sini sangat dipentingkan, maka hal yang lumrah jika setiap rumah warga ada anggota yang menghapal Qur'an. Saat itu aku bisa baca huruf abjad itu sekitar umur 12 tahun, kalau sekarang kadang belum lancar juga. Suasananya pun akan terasa lebih adem dan ayem, kadang malam pun masih ada rumah warga yang menggunakan obor atau sebacam damar untuk menerangi ruang dalam rumah mereka. Teknologi seperti handphone canggih masih jarang. Ada memang. Tetapi kebanyakan para anak juragan kebun dan ternak yang mempunyainya.

SSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang