ENDLESS

160 34 2
                                    

Cerita karya Salma Kamelia

Asal sekolah MAN 1 Kota Pekalongan

                SSA              

TRIIING... TRIIING...

"Yey...!!"

"Yuhu...!!!"

Bel yang sudah ditunggu-tunggu akhirnya berbunyi. Teman-teman sekelasku langsung berhambur keluar memadati kantin untuk mengisi perut mereka, namun ada juga yang memilih tinggal di kelas untuk memakan bekalnya atau bermain game di handphone, seperti laki-laki yang duduk dibangku pojok sana. Setelah menolak ajakan makan bersama Will—teman sebangku, ku putuskan untuk menghampiri orang itu yang tengah fokus dengan nintendo di tangannya.

"Hai!"

Dia berjengit, apa dia tidak sadar aku berdiri disampingnya? Kulihat matanya melirik kanan-kiri sebentar sebelum akhirnya membalas sapaanku. Apa dia kira aku hantu?

"Ku lihat belakangan ini kau jarang makan di kantin, bahkan hampir tak pernah keluar kelas saat jam istirahat, kenapa?" Aku mengambil posisi duduk berhadapan dengannya.

Dia menekan pause pada gamenya. "A-ah itu... akhir-akhir ini aku agak malas ke kantin, makanya aku bawa roti dari rumah. Kau sendiri tidak ke kantin? Biasanya kau pergi dengan si kacamata itu."

"Maksudmu Will? Dia mengajakku tadi, tapi tidak jadi, aku ingin mengobrol denganmu. Seminggu lagi ujian kelulusan dimulai, tapi kau masih sempat-sempatnya bermain nintendo, bagaimana jika aku yang menggantikan peringkat satu-mu? Hahaha..."

Raut wajahnya berubah, apa dia tidak tahu jika aku hanya bercanda?

Laki-laki itu tersenyum smrik. "Siapa yang peduli dengan peringkat satu sekarang? Orang tuaku sudah meninggal, jadi tidak ada lagi yang menekanku untuk selalu menjadi yang pertama. Silakan saja kau dan si kacamata itu berebut tempatku, yah... walau kalian pasti akan kesulitan. Sebelum itu, kau harus lewati si kacamata itu dulu untuk mengalahkanku." Dengan santainya dia melanjutkan bermain game.

Sialan! Sombong sekali dia. Memang benar jika Will lebih pintar dariku, ia berada diperingkat dua selama ini dan aku ada dibawahnya. Bisa dibilang kita rival selama ini. Jika saja aku tak mendengar ucapan tentang kedua orang tuanya yang sudah meninggal, sudah pasti aku pergi dari tempat ini sekarang juga dengan menyumpah serapahi orang ini. Tentu saja aku terkejut, selama ini dia selalu tertutup untuk urusan pribadi, bahkan teman mengobrol pun sepertinya tidak punya, entah mungkin karena dia duduk sendiri atau memang dirinya sengaja untuk membatasi diri. Sedikit rasa kasihan kutatap dirinya.

"Jangan menatapku seperti orang menyedihkan, aku ngga butuh dikasihani."

Aku menghelas nafas kesal, sifat menyebalkan inilah yang membuatnya tidak punya teman. Aku tak ingin mengulik-ngulik lagi tentang orang tuanya, toh kita juga tidak dekat. Responnya yang biasa-biasa saja membuatku tak merasa bersalah karena sudah menyinggung mereka. Ku lirik jam tangan di tangan kiri, sudah lima menit aku duduk dan mengobrol dengannya, masih ada sisa waktu sepuluh menit sebelum bel berbunyi. Aku beranjak dan sedikit merapikan ujung baju, bermaksud menyudahi obrolan random ini.

"Baiklah, aku pergi dulu. Terimakasih, senang berbincang denganmu."

"Tunggu—" Aku menoleh, menunggu kelanjutan ucapannya.

"Kau yakin hanya berbincang?"

Aku menatap matanya selidik, mencari maksud lain dari pertanyaannya itu. Memang ada hal lain apa yang harus kulakukan?

"Baiklah, kalau begitu nanti malam aku akan berkunjung ke rumahmu."

"Kenapa?"

"Entah, anggap saja aku ingin berbela sungkawa terhadap orang tuamu yang sudah meninggal."

SSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang