19. Marselio Vernando.

3.4K 361 75
                                    

Setelah mengucapkan maaf pada bunda dari mantan kekasihnya, Marselio segera berpamitan untuk pulang, jam sudah menunjukkan sembilan lewat 10 menit. Marselio tidak enak sendiri sebab berkunjung tapi mendekam di kamar hanya berdua, tanpa berbicara dengan bunda. Semoga saja bunda tidak tersinggung dan Hanan berbaik hati menjelaskan kenapa mereka harus berbicara di kamar berdua seperti tadi, dan Marselio harap bunda juga paham bagaimana masalah anak muda yang tengah mereka hadapi.

Pikiran Marselio sedikit tenang, ia lega sebab sudah bertemu dengan Hanan yang berusaha ia temui 2 hari belakangan, bahkan kedua teman anak itu enggan membantu untuk mempertemukan keduanya. Ia juga lega sebab semuanya bisa di terima dengan mudah, meski Marselio sedikit kecewa pada dirinya sendiri karena melepaskan Hanan begitu saja. Ia yang meminta anak itu untuk memutuskannya, jadi dengan itu Marselio harus belajar mengikhlaskan diri.

Pilihan yang ia ambil dan pilih ia rasa sudah benar, sebaiknya ia melepas semuanya untuk belajar memperbaiki diri, seperti apa yang ia katakan pada Hanan nanti. Mungkin nanti, saat waktunya tepat ia akan meminta Hanan untuk kembali bersama dengannya. Marselio hanya meyakinkan dirinya, mengatakan pada dirinya, bahwa ia haruslah sabar untuk sampai pada tahap yang ia inginkan dan harapkan.

Catherine dan Hanan berhak bahagia dan mendapatkan jauh yang lebih baik di banding dirinya.

Marselio menarik napasnya dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan, jujur saja ketika ia melakukan itu perut nya sakit bukan main. Rasa ngilu sehabis di pukuli sang papa habis-habisan kemarin adalah penyebabnya.

Ia memasuki rumah besar ini, langkahnya terasa berat sekali. Apalagi ketika suara baritone itu berhasil membuatnya terpaku pada tempatnya. Marselio lalu menoleh ketika namanya di panggil dengan satu-satunya orang yang ia takuti di rumah ini. Ya, Marselio takut, bukan segan. Papa nya terlalu buas hanya untuk di segani semata.

"Iya, Pa?"

"Dari mana kamu?"

"Rumah temen."

"Gak usah bohong!"

Marselio diam, ia mengatakan sebuah kejujuran. Oleh karena itu ia tidak tahu harus membela diri bagaimana lagi di hadapan kepala keluarga ini.

"Denger Marsel. Karena beasiswa kamu di cabut gak ada lagi kuliah gratis. Kamu.. harus cari uang sendiri untuk membiayai kuliah kamu. Masih untung Papa mau membela kamu biar gak di keluarkan." Katanya kelewat tegas. Dan Marselio hanya mengangguk bentuk ia setuju untuk membiayai biaya sekolahnya sendiri.

"Berhenti main-main! Kamu harus berguna kalau jadi anak Papa!" Lalu pria berumur yang masih terlihat awet muda dan tampan itu segera berlalu memasuki kamarnya kembali. Dengan begitu Marselio bernapas lega, atau lebih tepatnya membuang napas lelah karena setelah ini beban hidupnya akan segera bertambah.

Ya, tidak masalah. Hitung-hitung cari pengalaman dalam dunia pekerjaan.

Kaki pemuda Vernando itu kembali ia gerakkan menuju kamar miliknya yang terletak di lantai dua. Kepala pusing dan ia belum makan sama sekali sedari siang tadi. Terlalu banyak memikirkan beban dalam hidupnya.

Bukan tanpa alasan Marselio berbuat demikian; bermain-main dengan perempuan/laki-laki yang mencintainya atau menaruh rasa padanya. Hal itu di sebabkan karena hubungan kedua orang tuanya yang tak baik sejak ia duduk di bangku SMP tingkat akhir.

Mama yang menghiati Papa, padahal Marselio tahu Papa nya itu begitu mencintai Mama. Entah atas dasar apa Mama melakukan hal itu kepada Papa, berselingkuh dan memilih pria lain dari pada Papa yang rela memberikan segalanya. Hingga pada saat dirinya duduk di bangku SMA tingkat dua, ia mendengar bahwa Mama juga Papa sudah bercerai. Sejak saat itu Mama tidak pernah terlihat kembali bahkan untuk bertanya kabar mengenai anaknya yang ia tinggalkan bersama dengan mantan suaminya.

[END] It's Okay, Kak.. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang