Dendam dan Harganya [September 2020]

12 1 0
                                    

Bebas, penuh semangat, tidak suka terikat, emosional, bisa sangat ragu-ragu, (sedikit) pendendam adalah beberapa sifat zodiak yang didominasi Venus dan kumiliki: Libra. Kalau hanya kusebutkan, mungkin kalian tidak akan percaya begitu saja. Maka, mulai dari sini, akan kuceritakan sedikit kisah tentangku—secara acak, karena ingatan manusia memang sering seperti itu, kan.

Kisah ini dimulai ... saat kelahiranku. Eh, bukan, itu terlalu jauh. Kisah ini dimulai saat aku berumur 8 tahun, duduk di bangku kelas 2 SD dan tinggal di sebuah kota yang tak terlalu padat di masa itu. Mama-Papa pada saat itu sering bepergian untuk dinas ke luar kota atau lembur sampai malam, kakakku yang umurnya berbeda 4 tahun denganku juga jarang di rumah karena mengikuti banyak kursus. Alhasil, aku sering dititipkan di rumah pamanku yang masih melajang.

Dalam seminggu, bisa tiga kali aku dititipkan di sana. Pada awalnya, semua baik-baik saja, aman, tentram, damai, terkontrol dan ... intinya semua baik-baik saja. Namun entah sejak kapan tragedi itu dimulai, hidupku menjadi penuh rasa gelisah, takut, tidak nyaman: pada pamanku. Waktu itu, aku tidak mengerti apa yang pamanku lakukan, dan baru paham sebutan 'pelecehan seksual' di usia 16 tahun. Tidak perlu kuceritakan secara detail kan, apa yang dia lakukan padaku? Sampai saat ini saja aku tidak menceritakan detail kejadian pada psikologku, mengingat kondisiku yang nampaknya belum stabil dan belum bisa memaafkan dia.

Demi Tuhan, 19 tahun sudah berlalu sejak kejadian itu, bukan, kejadian-kejadian itu—karena pamanku melakukannya berulang kali secara bebas dan tidak takut ketahuan oleh orang tuaku. Iya, 19 tahun sudah berlalu dan aku masih saja belum bisa memaafkannya. Aku belum bisa berbaik-baik saja dengan manusia bejat itu. Orang tuaku? Jelas tidak tahu menahu. Mana tega aku memberitahukan bahwa orang yang mereka percayai bisa sejahat itu padaku.

Aku hanya bisa sedikit mensyukuri bahwa kehidupan pamanku kini jauh dari kata sejahtera. Hahaha! Sudah kubilang kan, aku pendendam? Dan satu-satunya orang yang kudendami sepenuh hati adalah pamanku itu. Rasanya aku ingin menari-nari di atas ketidak bahagiaannya. Bayangkan, dia ingin punya anak lelaki, tapi kelima anaknya terlahir perempuan semua. Tentu saja, kudoakan nasib anak-anak perempuannya sama seperti nasibku: dilecehkan seseorang yang dia percayai. Sebenarnya aku sangat ragu untuk menjadi sejahat itu, tapi ... tak apalah. Kata Eka Kurniawan kan, seperti rindu, dendam harus dibayar tuntas. Eh, apa terbalik, ya?

Keadaan pamanku benar-benar tidak baik-baik saja. Saat ini dia tinggal di luar Jawa, jauh dari keluarga. Bahkan keluarganya saja kesal (atau benci?) padanya karena keegoisan dan kebodohan yang dia lakukan sendiri. Lihat, kan? Orang yang memang layak dibenci, tanpa aku bumbui pun memang sudah dibenci. Sejauh yang aku tahu, pamanku kabur dari kejaran hutang bersama istrinya, dan pihak bank yang menagih hutang itu tetap datang ke rumah kakekku. Ah, bagaimana aku tidak bahagia melihat dia sengsara?

Mungkin kalian yang membaca atau mendengar ceritaku, akan mengatakan bahwa aku perlu memaafkan dia dan hidup dalam dendam itu tidak baik. Hihi. Yang benar saja. Kalau kalian di posisiku, apa bisa semudah itu memaafkan?

"Tuhan Maha Pemaaf." Mungkin itu yang akan kalian koar-koarkan. Tapi kan, aku bukan Tuhan. Jadi maklumi saja kalau aku mendendam hanya pada satu manusia itu. Oh iya, aku tidak menceritakan kisah satu ini pada siapa pun, eh ya, kecuali kalian. Hukum di negeri ini rasa-rasanya belum berpihak pada penyintas kekerasan seksual. Jangan-jangan, yang ada, para 'penegak hukum' itu malah menikmati saat bertanya-tanya dan menyelidiki cerita kesaksian korban. Sudahlah, aku tak ingin tahu bagaimana cara kerja mereka. Toh aku hanya menyerahkan segala pada semesta. Biar semesta yang membalas dan mengirimkan dendamku dengan cara yang paling apik.

Apa aku benar-benar bahagia dengan mendendam seperti itu? Hmm, bahagiaku ada banyak cara. Tidak melulu aku harus berpegang pada dendam, kan? Lagipula, karena kejadian itu, kisah hidupku yang selalu bersinggungan dengan laki-laki tak pernah berjalan mulus. Ada harga yang harus aku bayarkan dalam kisah ini.

Forbidden LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang