Perjalanan [Februari 2019]

11 1 0
                                    

Cerita sedih tujuh kata: aku berdiri sepanjang perjalanan Pati menuju Semarang.

Bagaimana tidak sedih? Aku menunggu kedatangan bis di terminal sejak pukul delapan, mendapati bis yang tepat baru dua jam setelahnya. Padahal aku sudah menghindari kebodohan perjalanan yang lalu: berharap menaiki patas tapi ternyata bis tersebut hanya datang selepas pukul dua belas siang. Dua jam penantian yang agak sia-sia. Sekarang, aku tak lagi berniat menemukan patas. Namun, tetap saja menjelang pukul sepuluh aku baru berdesakan di dalam bis tarif biasa.

Aku tak lagi bercita-cita bisa duduk nyaman dalam bis patas, dan karena Tuhan itu Maha Asyik, maka aku mendapati diriku sekarang berdiri, berdesakan dan berebut oksigen dengan para penumpang lainnya. Supir masih berusaha membuat penuh bis yang sudah penuh ini, mencari penumpang dan meminta kami untuk makin merapat. Duh, memangnya bis ini kantong doraemon? Supirnya sih, enak, bisa duduk sendiri dan leluasa menghirup oksigen tanpa rebutan dengan puluhan manusia lain.

Tuhan memang Maha Asyik, bisa apa aku selain menikmati segala yang ada? Kekonyolan supir yang lupa kondekturnya belum naik—menyebabkan bis harus putar balik ke terminal, muka-muka masam penumpang yang berdesakan, anak kecil yang merengek minta menetek pada ibunya, lagu rohani dari pengamen yang suaranya tak lebih bagus dibandingku namun berpakaian lebih necis, kemacetan yang rasanya tiada akhir, goyangan-goyangan badan yang disebabkan rem dadakan dari supir dan lain sebagainya.

Dalam perjalanan Pati-Semarang ini aku berniat menemukan puisi-puisi yang mungkin saja terjatuh di sela-sela kaki para penumpang atau dari makian-makian supir karena ada motor yang menyalip sembarangan. Selain itu, sebenarnya aku juga sedang ingin kabur dari realita yang membuat pusing. Tadinya aku berencana pergi ke Tangerang, namun apa daya isi dompetku, bisa ke Semarang tiga hari saja sudah untung-untungan.

Bukan puisi yang kutemukan, malah rasa kantuk yang menghampiri. Tak tidur semalaman ternyata bikin keadaanku makin kacau. Lucu juga, berniat mendamaikan diri dari masalah keluarga, pekerjaan dan teman-teman yang entah masih bisa kusebut teman atau tidak, malah makin ambyar karena perjalanan yang ... asyik ini. Lagu "Let's Not Fall in Love'' dan guncangan tidak lembut dari bis ini meninabobokanku dengan segera.

Guncangan lagi.

Guncangan yang membuatku tersadar dari tidur-tidur ayam, terkejut. Baru beberapa menit aku tak sadarkan diri, tapi terasa begitu lama. Aneh juga, sebab sejak tadi sama sekali tak ada penumpang yang turun sepanjang perjalanan ini.

"Mbak, maaf, mau tanya. Perjalanan ke Semarang masih berapa lama lagi ya, kira-kira?"

Perempuan yang berdiri di sampingku hanya menatapku datar sebelum menjawab, "perjalanan sudah selesai, Mas. Kita tidak sampai ke tujuan." (*)

Oh.

***

Judul berita esok pagi di koran-koran:

"Hindari Motor, Bis Surabaya-Semarang Menabrak Truk Pengangkut Kayu"

... Semua penumpang tewas karena kecelakaan beruntun.

***

(*) dialog ini diambil dari cerpen Alvaro MenenDesleal berjudul Rute.

Cerpen ini sudah pernah terbit di Antologi Narasi Baru Festival Literasi Tangerang 2018

Forbidden LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang