Perempuan Dengan Bibir Segelap Darah [Juli 2017]

7 0 0
                                    


Tahukah kamu, lelaki mampu ereksi hanya jika perasaan dan imajinasinya menikmati?

- Beni Dewa


"Kau datang lagi?"

"Tentu," ujarku, memasuki kamar yang temaram beraroma mawar dengan sedikit musk. "Tidak bosan denganku, kan?"

"Justru kau menarik," jawabmu. Dan aku lebih tertarik memandangimu lama-lama. Tubuh yang begitu alahai, dibalut gaun malam berwarna hitam yang menurutku sedikit lebih sopan, dibanding perempuan lainnya di tempat ini. Rambutmu yang kecoklatan kau gelung sedemikian rupa, meninggalkan helai-helai yang jatuh mesra di tengkukmu. Bibirmu yang, ah, membuatku candu menghisapnya dengan syahdu.

"Tapi tempat ini kan tidak murah? Dan tampaknya kau tidak seperti kecebong bodoh lainnya; yang suka menghamburkan uang untuk menghamba pada selangkangan di sini."

"Harga yang kubayarkan tidaklah sepadan dengan waktu yang kuhabiskan denganmu, Lycra. Dan aku memang tidak menghamba selangkangan. Aku hanya menghamba kamu."

Aku memelukmu. Kau mengecup bibirku. Aduh.

"Tadinya, kupikir kau salah memilih kamar. Khusus gay, tiga lantai di ruang bawah tanah," bisikmu di leherku.

"Sialan. Aku lelaki tulen." Kau tersenyum. Cantik.

"Lantas kenapa kau tidak menyerangku seperti lelaki lainnya? Aku tahu, kepalamu dibawah sana sudah mengeras," rayumu. "Apa aku kurang menarik? Kalau memang begitu, kenapa tidak kau coba saja dengan yang lain?"

"Tidak, bukan begitu, Lycra. Kau-"

"Lalu kenapa? Kenapa kau hanya memilih menu fellatio saja selama ini padahal membayar untuk menu lengkap? Kau pikir aku berpenyakit atau apa?"

"Ly, dengarkan ak-"

"Tapi mungkin itu yang membuatku selalu menerimamu. Lelaki yang berpayah-payah membuang uang hanya untuk berbincang dengan seorang geisha, di saat yang lain ingin menuntaskan birahinya dengan bibirku yang kedua." Kau memainkan putingku. Menjilatnya dengan perlahan.

Aku menikmati saat dirimu melepaskan gaun hitamnya perlahan. Mengurai gelungan rambut. Lagi, kutatap kalung pendek di lehermu. Sudah berulang kali aku melihatnya, namun tak pernah kutanyakan alasan kau memakainya. Kau satu-satunya perempuan tempat ini yang mengenakan choker di leher. Jaman dulu, hal itu memang menandakan bahwa seseorang sedang menjajakan dirinya.

Aku mengecup lehermu. Tenang.

"Kau tidak penasaran dengan kalung leherku, Alex?"

"Kalau kau ingin bercerita, aku siap mendengarkan."

Kau tersenyum.

"Aku tak akan heran jika banyak perempuan muda, dari kalangan baik-baik yang mengantri untuk kau persunting." Hening. Matamu menatap mataku. Dalam. "Choker hitam ini, hanyalah pertanda kabungku atas bebas yang terenggut. Tubuhku terikat di tempat ini, sebebas apa pun jiwaku memberontak."

"Gaun-gaunku yang bernuansa gelap, dominan hitam dan beberapa merah darah; juga salah satu bentuk kabungku. Perjuangan dalam lingkar setan yang tak pernah mati. Mempercantik diri, berebut lelaki. Memuaskan birahi yang seperti tak pernah ada matinya. Tapi, bukankah hidup seperti diperkosa takdir? Agar tidak sakit, ya jangan melawan. Ikut nikmati saja," lanjutmu, getir.

"Hatimu, juga terikat? Atau ia adalah satu-satunya kebebasan yang kau miliki?"

"Hatiku milikku sendiri, Lex."

"Tak maukah kau berbagi denganku?" Aku memeluk. Kau malah tertawa.

"Punya apa kau hingga berani berkata seperti itu?" Kau menarik kepalaku mendekat, ke dadamu yang membusung indah.

"Cinta."

Dan kau makin tergelak. Bangsat.

"Kita hidup di jaman segala membutuhkan uang, Lex. Kau lupa, untuk bertemu denganku saja kau harus bayar mahal. Bagaimana kau ingin membeliku yang merupakan aset terbesar tempat ini?"

"Tapi uang bukan segalanya, Ly."

"Tapi untuk makan butuh uang. Untuk hidup butuh uang. Sabun yang kau pakai tiap hari untuk onani juga dibeli pakai uang, kan?"

Aku diam. Kau diam.

"Jadi kau mau fellatio atau tidak?" tawarmu, memecah hening.

"Aku mau menikahimu."

"Alex!" sergahmu gusar. Aku tahu yang selanjutnya akan kau katakan. Tentang pandangan orang. Tentang keluargaku. Masa lalu. Perbedaan. Penerimaan. Dan hal-hal lainnya yang sebenarnya bisa kita lalui jika kau sungguh ingin. Peduli setan denngan semuanya! Tapi tidak denganmu, mungkin itu hanya alasan karena kau terlanjur betah di sini. Kemewahan yang bisa kau dapatkan hanya dengan berbaring seperti makanan penutup di atas ranjang. Beradu kelamin dengan setiap lelaki yang datang.

Kau tidak mau bercinta, lantas kenapa kau datang? Tanyamu, pertama kali aku merengkuh tubuhmu. Dulu.

Bercinta itu butuh keikhlasan, jawabku.

Kalau begitu, kenapa ke sini?

Untuk meredam rindu yang tumpah ruah di dada, menggila.

Kau tertawa.

Rindu? Kita baru pertama bertemu, ucapmu.

Tidak, aku sering melihatmu membantu tua renta menyeberang jalan. Atau sekadar memberi makan kucing-kucing liar, batinku.

Dan aku sudah jatuh cinta padamu; jawabku.

Kau tertawa, tertahan. Lagi.

Kau hanya seorang pelanggan, Tuan. Sama seperti lainnya. Jadi, mari kita selesaikan urusan malam ini seperti lainnya.

Aku tidak ingin disamakan dengan mereka. Mari kita berbincang saja, Nona. Tentang dirimu, masa lalumu, dan rencana-rencana milikmu. Atau tentang bobroknya pemerintahan kita saat ini. Tentang munafik-munafik terhebat di televisi. Atau tent-

"Lex?" Kau membuyarkan lamunanku. Aku memandang tubuh perempuan yang setengah telanjang dalam pelukku. Kau. Bibir berwarna oxblood; merah darah yang gelap, merekah menggoda tepat di depan bibirku. Sampai saat ini, sejak awal, aku tak pernah rela membayangkan dirimu dijamah oleh peluh lelaki lain. Dan aku tidak sanggup mengikhlaskan diriku sendiri untuk berkelamin dengannya. Aku tidak mampu menghina tubuhmu dengan tubuhku. Jangan.

"Ayo, menikah denganku," bisikku. Aku merasakan tubuh yang menegang. Melepas pelukku, kau beringsut menjauh.

"Pergilah."

"Kumohon."

"Jangan meminta hal yang mustahil, Alex!"

Aku luka melihat luka di matamu yang elok.

"Sabtu depan aku datang lagi," kataku, sebelum menutup pintu. Kau menangis. Aku tahu.

***

Selang tujuh hari kemudian, berita koran di Minggu pagi sungguh membuat heboh. Seorang putra bangsawan terhormat, Sir Alexandre Fabian Raymond ditemukan mati bunuh diri di gereja, bersama seorang perempuan yang diketahui orang-orang adalah pelacur kelas atas bertarif mahal.

***

Kalau kau memang pangeran kuda putihku, jadikan aku Julietmu, Alex.

Forbidden LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang